Tafsir Bias Politik Identitas

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 24 Desember 2022


Sudah menjadi kesimpulan umum bahwa di satu sisi politik identitas memang bisa mempersatukan orang-orang yang memiliki identitas yang sama, baik agama, suku, ras dan etnis. Sementara di sisi lain, politik identitas juga kerap menjadi bumerang yang dapat merusak relasi sosial antar indentitas berbeda. Dalam kondisi ini, tafsir terhadap politik identitas menjadi paradoksal sehingga penilaian kepada frasa ini pun kian ambigu dan bahkan bias.

Namun demikian, secara sosiologis kita tidak bisa begitu saja terbebas dari politik identitas sebab rasa primordialisme mayoritas masyarakat Indonesia masih begitu lekat. Hal ini diperparah dengan kondisi sebagian besar masyarakat kita yang masih tergolong dalam pemilih emosional. Fakta ini juga bersesuaian dengan “persepsi umum” bahwa calon presiden “harus” berasal dari suku Jawa. Dalam kondisi inilah tafsir terhadap politik identitas menjadi bias. Di satu sisi kita menolak politik identitas yang berbasis agama, tapi di sisi lain politik identitas berbasis kesukuan justru telah menemani perjalanan bangsa ini 77 tahun lamanya.       

Sentimen terhadap Politik Identitas

Musdah Mulia dalam Maarif (2012) menyebut bahwa politik identitas yang berlangsung di Barat sangat berbeda dengan Indonesia. Di Barat, politik identitas memiliki kaitan dengan kepentingan anggota dari kelompok sosial tertentu yang termarjinalkan oleh dominasi mayoritas, sementara di Indonesia politik identitas justru melibatkan kelompok agama mayoritas dengan niat menyingkirkan kelompok minoritas.

Kesimpulan yang dibuat Musdah Mulia ini tentunya tidak sepenuhnya benar, sebab sejauh ini tidak ada bukti yang bisa menguatkan argumen bahwa mayoritas di Indonesia ingin menyingkirkan minoritas. Selain itu, dalam faktanya isu politik identitas di Indonesia juga tidak melulu soal agama, tapi juga merambah dalam identitas yang bersifat ideologis. Dalam Pilpres 2019 misalnya, kelompok “kampret” kerap diasosiasikan dengan “Islamis” sementara kelompok “cebong” cenderung mengasosiasikan diri sebagai “nasionalis.” Di sini terlihat jelas bahwa bangunan identitas yang kemudian saling berkontestasi ini tidak saja dilandasi oleh soal agama.

Adapun dalam kasus Ahok tentunya harus dilihat dalam konteks berbeda, sebab gerakan kelompok Muslim kala itu dipicu oleh tindakan Ahok sendiri yang melakukan penistaan terhadap agama. Dalam hal ini menjadi “wajar” jika kelompok Muslim mencoba membangun kesadaran “identitas  Keislaman” mereka guna mendorong penegakan hukum terhadap Ahok. Soal isu identitas ini kemudian masuk ke dalam ruang politik, hanyalah efek sosiologis dari pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok kala itu.

Anies dan Politik Identitas

Dalam konteks kekinian, menjelang Pilpres 2024, isu politik identitas kembali muncul dengan ditetapkannya Anies Baswedan sebagai calon presiden oleh Partai Nasdem. Keberadaan Anies yang kerap diasosiasikan dengan kelompok “Islamis” memang memberi peluang bagi menguatnya politik identitas dalam pilpres mendatang. Namun uniknya, aksi labeling justru sudah dilakukan sejak dini oleh kelompok “kontra Anies” dengan stigma “kadrun” yang dilekatkan kepada Partai Nasdem.

Di sini terlihat bahwa stigmatisasi terhadap Anies dan Nasdem ini juga merupakan bagian dari politik identitas yang dijalankan oleh kelompok “kontra Anies.” Artinya, politik identitas tidak selamanya datang dari kelompok agama atau pun kelompok mayoritas seperti disinggung Musdah Mulia, tapi juga bisa muncul dari kelompok identitas lainnya atau pun kelompok yang memosisikan diri sebagai minoritas. Dengan kata lain, menuding pihak mayoritas sebagai satu-satunya kelompok yang memainkan isu politik identitas adalah konklusi yang keliru.

Apakah Politik Identitas Selalu Buruk? 

Ada satu pertanyaan yang muncul ketika saya menjadi pemateri acara sosialisasi pengawasan pemilu partisipatif kepada tokoh masyarakat di kantor Bawaslu Aceh Tamiang: Apakah politik identitas selamanya buruk? Pertanyaan ini diajukan salah seorang tokoh masyarakat yang berprofesi sebagai dai perbatasan. Pertanyaan ini berangkat dari kegelisahan yang bersangkutan dalam melihat fenomena yang menurutnya menyudutkan kelompok Muslim, mengingat dalam ajaran Islam terdapat konsep ukhuwah Islamiyah. Apakah memilih calon tertentu yang berasal dari agama yang sama dengan dasar ukhuwah Islamiyah bisa dikategorikan sebagai politik identitas?

Pertanyaan ini tentunya menjadi sensitif untuk dijawab sebab konsep ukhuwah Islamiyah memiliki korelasi dengan aspek teologis. Di satu sisi, seorang Muslim memang dituntut untuk bersatu dalam ukhuwah Islamiyah. Selain itu, dalam pendapat maenstream seorang Muslim juga tidak diperbolehkan memilih non Muslim sebagai pemimpin. Sementara di sisi lain, menjaga keutuhan dan stabilitas negara juga menjadi bagian penting dari ajaran Islam.

Namun secara prinsip dua konsep ini masih bisa dikompromikan, sebab dalam Islam, kita juga mengenal konsep ukhuwah wathaniyah yang menekankan persatuan antarwarga negara demi terjaganya stabilitas. Hal ini setidaknya pernah dipraktikkan oleh Nabi ketika membangun Negara Madinah, di mana hak-hak minoritas dijamin oleh negara. Dalam kondisi demikian ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah bisa berjalan beriringan tanpa perlu diperhadap-hadapkan satu sama lain.

Karena itu, dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, tanpa menafikan pentingnya ukhuwah Islamiyah dalam aspek tertentu, khususnya terkait hubungan sesama Muslim, mengedepankan ukhuwah wathaniyah bisa menjadi salah satu alternatif untuk menjaga persatuan antar identitas berbeda. Ketika ukhuwah wathaniyah ini sudah kuat, maka penggunaan strategi politik identitas dalam kontestasi politik tidak akan merusak demokrasi selama tidak menghasut, menyerang atau pun memosisikan identitas lain sebagai musuh.

Namun demikian, masyarakat kita juga harus rasional dan tidak hanya terjebak dalam identitas tanpa melihat kualitas. Artinya, selain faktor identitas yang memang sulit dihindari, kualitas dan gagasan calon pemimpin juga mesti menjadi pertimbangan – agar, seperti kata Betrand Russell, kita tidak memilih orang-orang yang kemudian kita salahkan.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments