Menggugat Frasa Ulama Karismatik

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 24 Januari 2023

Sumber: TLNT 

Dalam konteks sosiologis, karisma dipandang sebagai suatu daya pikat yang dimiliki seseorang. Dalam konteks ini, karisma kerap melekat pada sosok tertentu yang dianggap berpengaruh, baik dalam ruang sosial politik, maupun agama. Berbeda dengan kewibawaan yang dapat dibentuk melalui strategi tertentu, karisma justru terkesan seperti anugerah yang tidak bisa didapatkan melalui latihan atau pun seminar. Menurut Weber, seseorang disebut karismatik apabila ia memiliki otoritas dan kemampuan dalam menciptakan loyalitas dari para pengikutnya.

Dalam hal ini, sosok karismatik dianggap memiliki kualitas luar biasa (adikodrati) yang berbeda dengan orang pada umumnya.

Sementara itu, dalam Teologi Kristen, karisma diyakini sebagai karunia Roh Kudus yang diberikan kepada orang beriman untuk melayani umat. Seperti disebut Manurung (2019), dalam Kristen juga terdapat istilah gereja karismatik yang menekankan pengalaman supranatural dengan Roh Kudus yang dipenuhi dengan keajaiban dan mukjizat. Dalam hal ini, karisma menjadi medium kasih sayang Tuhan kepada umat Kristen.

Berbeda dengan karisma dalam konteks sosiologis yang bersifat sekular, karisma teologis, khususnya dalam ajaran Kristen dianggap sebagai sesuatu yang sakral sebab diberikan langsung oleh Tuhan kepada sosok tertentu dari kalangan Kristiani untuk kemudian melayani umat demi menegakkan kerajaan Tuhan melalui eksistensi gereja.

Karisma dalam teologi Kristen juga kerap dikaitkan dengan fenomena keajaiban yang dipraktikkan oleh sosok-sosok karismatik di kalangan mereka.

Teologi Islam

Meskipun konsep karisma ini populer di kalangan Kristen, namun secara faktual upaya karismatisasi secara serampangan juga kerap dilakukan oknum-oknum Muslim dengan memunculkan istilah ulama karismatik yang sebenarnya tidak memiliki akar dalam teologi Islam. Kita tahu Islam adalah agama yang sama sekali berbeda dengan Kristen dan Yahudi, di mana Islam tidak mengenal Lembaga Kepausan seperti Kristen dan tidak pula Lembaga Kerahiban seperti Yahudi. Adapun lembaga keulamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Indonesia atau pun Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh tentunya memiliki peran dan otoritas yang sangat berbeda dengan Lembaga Kepausan atau pun Lembaga Kerahiban.

Karena itu penggunaan istilah-istilah asing semisal karismatik seperti dalam konsep teologi Kristen tentunya tidak relevan dengan teologi Islam, sebab tradisi demikian tidak dikenal dalam Islam, baik secara normatif, maupun historis. Tidak begitu jelas sejak kapan istilah ulama karismatik ini muncul di Indonesia, namun dalam faktanya karismatisasi ini terus membiak di kalangan Muslim. Seolah penyebutan kata ulama saja menjadi tidak lengkap jika tidak disertai diksi karismatik.

Namun demikian, seperti dikemukakan di awal bahwa istilah karismatik tidak saja dipakai dalam teologi Kristen, tetapi juga digunakan secara sosiologis kepada tokoh-tokoh politik, tokoh publik dan juga pemimpin gerakan sosial atau pun seniman. Sosok semisal Napoleon Bonaparte, Fidel Castro, Mahatma Gandhi, Adolf Hitler, Nelson Mandela, Eva Peron, Soekarno, Putri Diana, Marilyn Monroe, Michael Jackson, Muhammad Ali dan Barack Obama adalah contoh dari sekian tokoh yang dianggap sebagai sosok karismatik dalam konteks sosiologis.

Dalam hal ini karisma yang mereka miliki berada dalam ruang sosiologis, bukan karisma teologis seperti yang melekat pada Paus Fransiskus.

Frasa Ulama Karismatik di Aceh 

Lalu bagaimana dengan frasa ulama karismatik? Apakah sebutan itu dimaksudkan sebagai fakta sosiologis atau justru masuk dalam kategorisasi teologis? Di titik inilah kebingungan itu muncul. Jika memang sebutan ulama karismatik dimaksudkan sebagai fakta sosiologis, maka sepatutnya ia hanya melekat pada sosok yang benar-benar berpengaruh dalam masyarakat dalam kurun waktu tertentu, bukan justru melekat pada semua orang yang hanya memiliki pengaruh kecil, atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali.

Dalam konteks Aceh, sebut saja Daud Beureueh. Dia adalah salah seorang tokoh karismatik yang hidup di Aceh pada abad 20. Disebut karismatik karena ia sukses menampilkan diri sebagai tokoh paling disegani dan paling berpengaruh dalam periode 1920-an sampai dengan 1960-an, dan bahkan sampai sekarang namanya masih disebut-sebut ketika memperbincangkan modernisme di Aceh.

Dalam hal ini, meskipun ia juga dikenal sebagai tokoh agama, namun karisma Daud Beureueh menemukan wujudnya dalam realitas sosiologis, bukan dalam ruang teologis. Demikian pula dengan Thayib Adamy yang memiliki pendukung militan di kalangan PKI Aceh juga bisa disebut tokoh karismatik dalam konteks sosiologis.

Ada pun label karismatik dalam konteks kekinian justru secara dominan dilekatkan hanya pada tokoh-tokoh agama dengan pertimbangan akademis sehingga pelabelan tersebut terkesan sangat teologis dan bukan lagi sosiologis, sebab yang dilihat hanya aspek kualitas keagamaan dengan menafikan aspek kepemimpinan dan keterpengaruhan yang menjadi substansi karisma sosiologis. Buktinya ramai sosok-sosok yang disebut sebagai karismatik, meskipun memiliki kualitas keagamaan pada level mumtaz, namun secara sosiologis justru tidak begitu dikenal publik. Kondisi inilah yang kemudian kita sebut sebagai karismatisasi serampangan sehingga istilah karismatik itu sendiri menjadi tidak karismatik lagi, sebab bisa didapatkan oleh semua orang.

Jika upaya karismatisasi terhadap tokoh agama hanya karena pertimbangan akademis ini terus dilestarikan, maka penggunaan frasa ulama karismatik menjadi mirip-mirip dengan konsep karisma dalam teologi Kristen. Hal ini tentunya tidak kita inginkan sebab tidak sesuai dengan konsep teologi Islam yang kita anut.

Frasa Ulama Besar

Agar istilah karismatik tidak kehilangan nilainya, maka penggunaan frasa ulama karismatik baiknya hanya dilekatkan pada tokoh agama yang memang memiliki karisma sosiologis secara luas. Ada pun tokoh agama yang dikenal secara terbatas di pesantrennya, cukup disebut dengan ulama saja, tanpa diksi karismatik. Hal ini tentunya tidak akan mengurangi derajat keilmuan mereka, sebab semua tokoh agama tetap akan menjadi sosok karismatik di lingkungannya masing-masing.

Namun demikian, agar lebih aman dan tidak terkesan menyerupai konsep teologi Kristen, baiknya penggunaan istilah karismatik diganti saja dengan frasa ulama besar yang hanya dilekatkan kepada tokoh agama paling berpengaruh di daerahnya.

Penggunaan frasa ini tentunya memiliki landasan historis, di mana kita tahu sosok semisal Daud Beureueh, Hasballah Indrapuri, Hasan Krueng Kalee dan Jakfar Siddiq Lamjabat kerap disebut sebagai “ulama besar Aceh” di masa lalu.

Demikian pula dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf As-Singkili juga sering disebut sebagai ulama besar, bukan ulama karismatik, meskipun dalam faktanya mereka juga memiliki karisma sosiologis. Hal serupa juga terjadi di negara-negara Arab, di mana istilah yang mereka gunakan adalah Kibarul Ulama atau ulama kibar yang bermakna ulama besar atau ulama senior.

Dan sejauh ini, kita juga belum pernah mendengar bahwa para peletak mazhab semisal Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal disebut sebagai ulama karismatik. Wallahu Alam.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments