Komedi Elite dan Sengkarut Politik Kita

Ilustrasi: Oxpol


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 1 Desember  2023

Pasca keputusan Mahkamah Konstitisi (MK) yang memberi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk mendampingi Prabowo Subianto sebagai cawapres dalam Pilpres mendatang, respons publik pun bermunculan bagai air bah. Deras tak terbendung. Kalangan intelegensia memberi respons dengan melakukan analisis dari berbagai sudut pandang; mulai dari sudut pandang politik, tata negara, sosiologis, hukum, dan paradigma akademis lainnya. Hasil analisis tersebut kemudian beredar di TV nasional, koran cetak, media daring, dan media sosial.

Satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah, bahwa perbicangan itu juga menggelinding hingga ke kedai-kedai kopi di pelosok-pelosok kampung. Dalam hal ini, media sosial memberi kontribusi paling besar bagi beredarnya percakapan-percakapan akademis tersebut, tidak terbatas hanya di lingkungan elite dan intelegensia itu sendiri, tapi juga golongan publik awam—yang secara kuantitas adalah komunitas paling dominan di negeri ini.

  Pertanyaannya kemudian, apakah publik awam memiliki perspektif yang sama ketika menyaksikan sengkarut politik yang sedang terjadi? Dan, bagaimana cara publik awam menganalisi komedi elite dan banalitas politik yang menghiasi media massa selama ini? Apakah perspektif hukum, politik, sosiologis dan segudang paradigma akademis lainnya pernah terpikir oleh mereka; oleh petani, buruh, nelayan, tukang kebun, pedagang kaki lima, tukang parkir, teknisi arloji, supir truk dan segudang profesi lainnya yang jauh dari lingkar kekuasaan? Bagaimana mereka memandang dagelan politik yang sedemikian runyam itu?

Pandangan Akademis versus Awam

Bagi pakar hukum misalnya, keputusan MK yang kontroversial tersebut telah memberi peluang bagi mereka untuk melakukan ragam analisis berbasis akademik dengan mengutip berbagai teori hukum guna menguatkan argumentasi yang dibangun. Dalam situasi ini kerap kali terjadi saling kritik dan saling koreksi antar akademikus ketika argumentasi mereka tampak bertentangan satu sama lain. Tak jarang pula fenomena demikian berujung pada “unjuk kepakaran” antar intelegensia di tanah air. Namun, kita harus sepakat bahwa dialektika dan diskursus semacam ini sangat diperlukan guna mengurai benang kusut yang membelit pengetahuan publik.

Lalu, bagaimana dengan publik awam, apakah pandangan akademis—misalnya tentang prinsip the Marks rule dalam memahami putusan pluralitas MK soal usia calon presiden dan wakil presiden, seperti pernah dikemukakan Dian Agung Wicaksono dalam salah satu opininya di media Kompas.Id (6/11/23)—mampu mengonstruksi persepsi publik awam tentang apa yang sedang terjadi? Sepertinya tidak. Bagi publik awam, putusan MK tetap saja dianggap sebagai karpet merah bagi Gibran, sebab yang dilihat publik awam, pasca putusan itu, Gibran resmi menjadi cawapres Prabowo. Dalam hal ini, analisis akademis yang rumit sama sekali tidak memengaruhi persepsi mereka. Dalam pandangan awam, keputusan MK yang melibatkan Anwar Usman—yang notabene adalah paman Gibran—secara tegas dan lugas mengindikasikan adanya “sandiwara hukum” di sana. Sandiwara yang begitu vulgar, yang tidak membutuhkan teori apa pun sebagai penjelas.

Demikian pula dengan analisis akademis terkait prestasi Gibran selama memimpin Kota Solo, juga tidak memberi makna apa-apa bagi publik awam. Publik awam menyakini sosok Gibran yang dinyatakan sebagai walikota paling populer pada 2021 versi Indonesia Indicator tidak bisa dilepaskan dari nama besar Jokowi. Karena itu, kesuksesan Gibran dalam membenahi Kota Solo tidak dipandang sebagai prestasi Gibran an sich, tapi ada pengaruh besar Jokowi di sana. Dalam hal ini, Gibran memiliki privilese dalam menjalin hubungan dengan pusat kekuasaan, khususnya kementerian terkait guna menyukseskan program-programnya di Kota Solo. Akan berbeda tentunya, jika Gibran bukan anak Jokowi. Pastinya usaha-usahanya membangun Solo akan berjalan secara “konvensional” lazimnya walikota-walikota terdahulu yang tidak memiliki koneksi istimewa dengan pusat kekuasaan di Jakarta.

Begitu juga halnya ketika Kaesang Pangarep didapuk sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia; juga tak perlu analisis rumit untuk menafsir fenomena ini. Tanpa harus menguasai teori politik, teori hukum atau teori sosial; publik awam bisa dengan mudah menilai bahwa daya jual Kaesang untuk menjadi ketua parpol bukan karena dia seorang pengusaha atau Youtuber terkenal. Bukan pula karena dia berasal dari generasi milenial, generasi yang kerap disebut-sebut Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam setiap orasi mereka. Perhatian PSI pada Kaesang bisa dipastikan hanya karena dia anak Jokowi. Publik awam tahu pasti bahwa fenomena ini tidak terlepas dari privilese yang dimiliki Kaesang. Oleh sebab itu, jargon “pemimpin kaum muda” yang digembar-gemborkan PSI sama sekali tidak memiliki relevansi apa pun dengan persepsi publik awam yang sudah terbangun sejak awal, bahwa posisi yang diperoleh Kaesang semata-mata hanya karena dia anak Jokowi.

Paradigma Awam

Diakui atau pun tidak, publik awam (masyarakat umum yang jauh dari lingkar kekuasaan) memiliki sudut pandang berbeda dalam menganalisis setiap fenomena politik yang terjadi di tanah air. Mereka tidak membutuhkan kerangka teori atau paradigma berpikir tertentu untuk menganalisis banalitas politik atau komedi elite yang sedang berlangsung. Hanya dengan membiarkan fenomena yang sudah sedemikian vulgar itu “berbicara sendiri” publik awam sudah bisa menyimpulkan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Dalam hal ini, politik dinasti tidak lagi dipahami hanya sebagai desas-desus belaka, tapi praktik dan upaya ke arah tersebut sudah kian nyata dan terang.

Tentu saja fenomena tersebut bisa dipahami oleh kalangan publik awam dengan begitu mudah. Namun, berbeda dengan elite politik dan intelegensia yang bertindak sebagai vocal minority dalam menyikapi suatu isu, publik awam lebih memilih menjadi silent majority seraya berupaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin sulit. Mereka tahu. Namun, tak peduli.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada pada 6 Desember 2023

loading...

No comments