18 Tahun Damai Aceh, Apa yang Berubah?

 Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 13 Agustus 2023

 

Gambar: Kompas.com

Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang berlangsung di Helsinki pada 15 Agustus 2005 adalah penanda berakhirnya perang di Aceh. Saat itu kedua pihak yang bertikai: GAM dan RI sepakat untuk berdamai dan mengakhiri perang yang telah berlangsung nyaris 30 tahun sejak pertama kali Hasan Tiro memproklamirkan diri sebagai Wali Negara Aceh pada 4 Desember 1976. Dan, saat ini usia perdamaian itu telah genap 18 tahun.

Selama 18 tahun itu dentuman senapan sudah tidak lagi terdengar, kecuali dalam aksi-aksi kriminal yang terjadi pada masa transisi di awal-awal perdamaian berlangsung. Yang tersisa kemudian hanyalah ketegangan-ketegangan politik yang timbul tenggelam antara Aceh yang dikuasai mantan GAM dalam beberapa periode Pemilu dengan Pemerintah Pusat yang terkadang lupa pada butir-butir perjanjian. Dan saat ini, ketegangan-ketegangan demikian pun telah mulai padam seiring dengan melemahnya kekuatan politik mantan GAM akibat adanya “perpecahan” internal sesama mereka.

Lalu, apa yang berubah selama 18 tahun damai Aceh? Pertanyaan semacam ini tentu tidak bisa dijawab secara bulat. Dibutuhkan perspektif tertentu untuk menjawab pertanyaan demikian sehingga jawabannya pun akan sangat bergantung pada sudut mana kita memandang.

Dalam konteks politik, damai telah melahirkan dua konsekuensi. Pertama, berhentinya perang sehingga masyarakat tidak lagi hidup dalam ketakutan, ekonomi bisa kembali tumbuh, pendidikan kembali normal dan Aceh punya kesempatan untuk bergerak maju. Kedua, munculnya elite politik baru yang kemudian menguasai eksekutif dan legislatif di Aceh, menggantikan elite-elite lama yang dalam banyak hal sering dicap sebagai “tidak pro” pada kepentingan Aceh.

Jawaban di atas akan melahirkan pertanyaan baru lagi: Apakah Aceh sudah bergerak maju dan apakah elite-elite baru sudah pro pada kepentingan Aceh? Di sinilah punca kerumitan itu. Secara faktual, dari data-data yang ada, saat ini Aceh masih tergolong dalam provinsi termiskin di Sumatera. Dengan kata lain, Aceh belum maju. Kondisi ini dengan sendirinya melahirkan jawaban kedua bahwa elite politik baru pascadamai juga belum bisa dikatakan pro pada kepentingan Aceh.

 Fatalnya lagi, beberapa elite baru—yang dulunya berjuang di hutan—dengan dalih demi kesejahteraan rakyat, justru terlibat kasus korupsi ketika menjabat. Kasus korupsi ini menyeret nama sejumlah pentolan GAM yang dulunya punya spirit untuk membangun Aceh; mantan Bupati Aceh Utara, Ilyas Pasee divonis enam tahun penjara atas pidana korupsi kas bon senilai 7,5 miliar; mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf divonis 7 tahun penjara karena terbukti menerima Rp 1,050 miliar dari Bupati Bener Meriah Ahmadi dan selanjutnya Izil Azhar, mantan Panglima GAM juga didakwa kasus yang sama. Terbaru, mantan Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya, yang juga mantan personel GAM ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi rumah sakit.

Kondisi demikian tentu tidak bisa dibanggakan dan justru amat sangat memalukan, di mana mantan-mantan pejuang yang menjadi harapan masyarakat justru berbalik arah dan tergoda dengan suatu yang dikutuknya dahulu. Akhirnya, usia 18 tahun perdamaian Aceh hanya menjadi angka yang sama sekali tidak produktif. Harapan yang digantungkan di masa perang seketika saja buyar di masa damai.

Dominasi Konservatif

Hal lainnya yang amat disesalkan sepanjang usia damai Aceh adalah menguatnya gerakan konservatif dari oknum-oknum kelompok agama, di mana toleransi dalam kehidupan sosial masyarakat menjadi kurang harmonis. Kondisi ini seperti dibiarkan saja oleh pemerintah Aceh sehingga aksi-aksi intoleran pascadamai kian merebak. Sebagai contoh, kasus pelarangan pembangunan masjid Muhamadiyah di Samalanga yang hingga kini belum juga selesai, di mana pemerintah seperti menutup mata.

Kekonyolan lain yang muncul pascadamai adalah keluarnya edaran-edaran “aneh” dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang mengatasnamakan syariat Islam, seperti imbauan penutupan warung di atas jam 12 malam, pelarangan duduk mengangkang bagi perempuan, pembatasan pentas kesenian, imbauan memakai sarung di hari Jumat, imbauan agar berpegang pada mazhab tertentu, monopoli perbankan dan segudang kebijakan lainnya yang sama sekali tidak memberi dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan Aceh di masa depan. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan itu justru membuat Aceh semakin bergerak mundur.

Kebangkitan konservatisme yang mendapat dukungan dari pemerintah Aceh ini tidak lagi memberi ruang bagi munculnya kreativitas dan dalam tahap tertentu bahkan terkesan “mengekang” kebebasan berpikir. Hal-hal semacam ini tentu sangat disayangkan, di mana Aceh yang mulai bergerak maju dan moderat sebelum perang justru terjebak dalam kejumudan yang teramat dalam ketika perang telah usai.

Seharusnya, usia damai yang sudah 18 tahun dapat digunakan secara efektif untuk mengejar ketertinggalan Aceh dari provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Keberadaan elite politik baru di pentas kekuasaan dan kucuran Dana Otsus yang triliunan sudah semestinya mengubah wajah Aceh agar lebih berseri-seri, bukan justru menarik Aceh dalam lorong-lorong gua yang semakin gelap. Sejumlah mantan GAM yang hari ini duduk di kursi kekuasan, baik eksekutif maupun legislatif sudah seharusnya berupaya meninggalkan legasi yang membuat mereka bisa dikenang di kemudian hari, bukan justru dikutuk berkali-kali.

Sudah semestinya perdamaian ini diisi dengan pembangunan, pengentasan kemiskinan, perluasan lapangan kerja, perbaikan pendidikan, pembersihan birokrasi, moderasi beragama dan kebijakan-kebijakan lainnya yang pro kepentingan rakyat. Jika tidak, maka damai yang sudah 18 tahun ini hanya akan menjadi kotak kosong yang sama sekali tidak memiliki nilai.

Semoga saja peringatan 18 tahun Damai Aceh kali ini bisa menjadi momentum bagi elite-elite di pemerintahan untuk sedikit berbenah demi Aceh yang lebih baik di masa depan. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada pada 16 Agustus 2023

loading...

No comments