18 Tahun Damai Aceh, Apa yang Berubah?
Penandatanganan
Memorandum of Understanding (MoU) yang
berlangsung di Helsinki pada 15 Agustus 2005 adalah penanda berakhirnya
perang di Aceh. Saat itu kedua pihak yang bertikai: GAM dan RI sepakat untuk
berdamai dan mengakhiri perang yang telah berlangsung nyaris 30 tahun sejak
pertama kali Hasan Tiro memproklamirkan diri sebagai Wali Negara Aceh pada 4
Desember 1976. Dan, saat ini usia perdamaian itu telah genap 18 tahun.
Selama
18 tahun itu dentuman senapan sudah tidak lagi terdengar, kecuali dalam
aksi-aksi kriminal yang terjadi pada masa transisi di awal-awal perdamaian
berlangsung. Yang tersisa kemudian hanyalah ketegangan-ketegangan politik yang
timbul tenggelam antara Aceh yang dikuasai mantan GAM dalam beberapa periode
Pemilu dengan Pemerintah Pusat yang terkadang lupa pada butir-butir perjanjian.
Dan saat ini, ketegangan-ketegangan demikian pun telah mulai padam seiring
dengan melemahnya kekuatan politik mantan GAM akibat adanya “perpecahan”
internal sesama mereka.
Lalu, apa
yang berubah selama 18 tahun damai Aceh? Pertanyaan semacam ini tentu tidak
bisa dijawab secara bulat. Dibutuhkan perspektif tertentu untuk menjawab
pertanyaan demikian sehingga jawabannya pun akan sangat bergantung pada sudut
mana kita memandang.
Dalam
konteks politik, damai telah melahirkan dua konsekuensi. Pertama, berhentinya perang sehingga masyarakat tidak lagi hidup
dalam ketakutan, ekonomi bisa kembali tumbuh, pendidikan kembali normal dan
Aceh punya kesempatan untuk bergerak maju. Kedua,
munculnya elite politik baru yang kemudian menguasai eksekutif dan legislatif di
Aceh, menggantikan elite-elite lama yang dalam banyak hal sering dicap sebagai
“tidak pro” pada kepentingan Aceh.
Jawaban di
atas akan melahirkan pertanyaan baru lagi: Apakah Aceh sudah bergerak maju dan
apakah elite-elite baru sudah pro pada kepentingan Aceh? Di sinilah punca
kerumitan itu. Secara faktual, dari data-data yang ada, saat ini Aceh masih
tergolong dalam provinsi termiskin di Sumatera. Dengan kata lain, Aceh belum
maju. Kondisi ini dengan sendirinya melahirkan jawaban kedua bahwa elite
politik baru pascadamai juga belum bisa dikatakan pro pada kepentingan Aceh.
Fatalnya lagi, beberapa elite baru—yang
dulunya berjuang di hutan—dengan dalih demi kesejahteraan rakyat, justru
terlibat kasus korupsi ketika menjabat. Kasus korupsi ini menyeret nama
sejumlah pentolan GAM yang dulunya punya spirit untuk membangun Aceh; mantan
Bupati Aceh Utara, Ilyas Pasee divonis enam tahun penjara atas pidana korupsi
kas bon senilai 7,5 miliar; mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf divonis 7
tahun penjara karena terbukti menerima Rp 1,050 miliar dari Bupati Bener Meriah
Ahmadi dan selanjutnya Izil Azhar, mantan Panglima GAM juga didakwa kasus yang
sama. Terbaru, mantan Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya, yang juga mantan
personel GAM ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi rumah sakit.
Kondisi
demikian tentu tidak bisa dibanggakan dan justru amat sangat memalukan, di mana
mantan-mantan pejuang yang menjadi harapan masyarakat justru berbalik arah dan
tergoda dengan suatu yang dikutuknya dahulu. Akhirnya, usia 18 tahun perdamaian
Aceh hanya menjadi angka yang sama sekali tidak produktif. Harapan yang
digantungkan di masa perang seketika saja buyar di masa damai.
Dominasi Konservatif
Hal lainnya yang amat
disesalkan sepanjang usia damai Aceh adalah menguatnya gerakan konservatif dari
oknum-oknum kelompok agama, di mana toleransi dalam kehidupan sosial masyarakat
menjadi kurang harmonis. Kondisi ini seperti dibiarkan saja oleh pemerintah
Aceh sehingga aksi-aksi intoleran pascadamai kian merebak. Sebagai contoh,
kasus pelarangan pembangunan masjid Muhamadiyah di Samalanga yang hingga kini
belum juga selesai, di mana pemerintah seperti menutup mata.
Kekonyolan lain yang muncul
pascadamai adalah keluarnya edaran-edaran “aneh” dari pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota yang mengatasnamakan syariat Islam, seperti imbauan penutupan
warung di atas jam 12 malam, pelarangan duduk mengangkang bagi perempuan,
pembatasan pentas kesenian, imbauan memakai sarung di hari Jumat, imbauan agar
berpegang pada mazhab tertentu, monopoli perbankan dan segudang kebijakan
lainnya yang sama sekali tidak memberi dampak signifikan bagi pertumbuhan
ekonomi dan kemajuan Aceh di masa depan. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan itu
justru membuat Aceh semakin bergerak mundur.
Kebangkitan konservatisme
yang mendapat dukungan dari pemerintah Aceh ini tidak lagi memberi ruang bagi
munculnya kreativitas dan dalam tahap tertentu bahkan terkesan “mengekang”
kebebasan berpikir. Hal-hal semacam ini tentu sangat disayangkan, di mana Aceh
yang mulai bergerak maju dan moderat sebelum perang justru terjebak dalam
kejumudan yang teramat dalam ketika perang telah usai.
Seharusnya, usia damai yang
sudah 18 tahun dapat digunakan secara efektif untuk mengejar ketertinggalan
Aceh dari provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Keberadaan elite politik baru
di pentas kekuasaan dan kucuran Dana Otsus yang triliunan sudah semestinya
mengubah wajah Aceh agar lebih berseri-seri, bukan justru menarik Aceh dalam
lorong-lorong gua yang semakin gelap. Sejumlah mantan GAM yang hari ini duduk
di kursi kekuasan, baik eksekutif maupun legislatif sudah seharusnya berupaya
meninggalkan legasi yang membuat mereka bisa dikenang di kemudian hari, bukan
justru dikutuk berkali-kali.
Sudah semestinya perdamaian
ini diisi dengan pembangunan, pengentasan kemiskinan, perluasan lapangan kerja,
perbaikan pendidikan, pembersihan birokrasi, moderasi beragama dan
kebijakan-kebijakan lainnya yang pro kepentingan rakyat. Jika tidak, maka damai
yang sudah 18 tahun ini hanya akan menjadi kotak kosong yang sama sekali tidak
memiliki nilai.
Post a Comment