Muktamar Surakarta dan “Tragedi” Muhammadiyah Ujung Barat

Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 2 Desember 2022 

Dalam khutbah iftitah Muktamar Muhammadiyah ke 48 yang digelar di Surakarta, Haedar Nashir, sebagaimana dilansir Republika (21/11), menyebut ada tujuh poin yang akan menjadi arah gerak Muhammadiyah lima tahun ke depan. Melalui arah gerak tersebut diharapkan Muhammadiyah dapat tampil lebih elegan di masa depan sehingga dapat berkontribusi secara maksimal untuk tanah air. Salah satu poin yang disampaikan Haedar Nashir adalah memperkuat dan memperluas basis umat di akar rumput.

Dalam konteks penerimaan masyarakat terhadap Muhammadiyah di daerah-daerah tertentu; memperkuat dan memperluas basis umat di akar rumbut menjadi salah satu poin paling penting yang mesti mendapat perhatian. Dengan kata lain, status “minoritas” yang disandang Muhammadiyah di daerah tertentu terkadang membuat keberadaan organisasi ini mendapat “penolakan” secara sosiologis. Karena itu, terma “minoritas” yang dilabelkan oleh oknum masyarakat daerah tertentu terhadap Muhammadiyah harus mampu diantisipasi dengan memperkuat basis di akar rumput. Jika tidak, maka pergerakan Muhammadiyah di daerah dimaksud akan mengalami kendala-kendalan sosiologis.

Kasus Aceh
Tidak kuatnya basis Muhammadiyah di daerah tertentu yang mengakibatkan munculnya penolakan secara sosiologis dari komunitas masyarakat tertentu, setidaknya dapat dibuktikan dengan kasus yang terjadi di Samalanga, Aceh. Hingga saat ini usaha pembangunan masjid Muhammadiyah yang direncanakan dibangun di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh, masih terkendala akibat adanya penolakan dari sekelompok masyarakat di sana. Salah satu alasan penolakan adalah adanya label minoritas terhadap Muhammadiyah sehingga penundaan pembangunan masjid telah berlangsung selama hampir tujuh tahun.

Hingga saat ini persoalan tersebut belum terpecahkan, di mana Muhammadiyah seperti “gagal” mengadvokasinya dirinya sendiri, padahal Muhammadiyah adalah organisasi besar dan tertua di Indonesia. Dalam konteks Aceh sendiri, organisasi Muhammadiyah juga sudah berkembang di sana sejak 1923 dan diresmikan pada 1928 sebagai cabang Hindia Timur. Tidak hanya itu, kampus-kampus besar Muhammadiyah juga berdiri kokoh di beberapa tempat di Aceh. Demikian juga dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah juga telah berkiprah dalam pencerdasan anak bangsa di Aceh jauh sebelum Indonesia merdeka. Tapi, kenapa kemudian ada sekelompok masyarakat yang menolak pembangunan masjid Muhammadiyah seperti terjadi di Samalanga? Kuat dugaan, jawabannya adalah adanya label minoritas terhadap Muhammadiyah di Aceh.

Dalam hal ini, Muhammadiyah di Aceh seperti tidak memiliki bargaining power sehingga dengan mudah “dimarjinalkan” tidak hanya oleh sekolompok masyarakat, tapi juga oleh oknum pemerintah daerah. Dalam kasus masjid Muhammadiyah di Sangso Samalanga misalnya, selain mendapat penolakan dari sekelompok orang yang mengaku mayoritas, pihak Pemkab Bireuen juga terkesan melakukan hal yang sama dengan mempertegas pelarangan pembangunan masjid di sana dengan alasan klasik: untuk menghindari gejolak sosial. Dalam hal ini, tidak terlihat adanya upaya dari pemkab setempat untuk melakukan negosiasi dengan kelompok “intoleran” yang telah menghalangi upaya pembangunan masjid Muhammadiyah selama bertahun-tahun.

Beberapa Problem  
Dalam studi pemikiran Islam, Muhammadiyah masuk dalam kategori gerakan modernisme dan bahkan purifikasi. Secara faktual, dua aspek ini memang tidak bisa dipisahkan dari persyarikatan Muhammadiyah. Meskipun gerakan purifikasi Muhammadiyah tidak lagi seintens dahulu dan telah mengalami moderasi seiring perkembangan zaman, namun label sebagai “pemberantas TBC (Takhayul, Bidah dan Churafat)” yang disandang Muhammadiyah di masa lalu masih belum lekang dari ingatan masyarakat Islam tradisional. Dengan kata lain, sejauh ini titik perbedaan antara pemikiran keagaman Muhammadiyah dengan komunitas Islam tradisional seperti Nahdatul Ulama (NU) dan pesantren masih begitu kentara dan kerap memicu perdebatan, meskipun dalam skala kecil.

Hingga saat ini masih ada sejumlah pihak yang mengaggap Muhammadiyah tidak memiliki otoritas memperbincangkan isu-isu keagamaan. Khususnya di daerah-daerah yang mana Muhammadiyah menjadi “minoritas,” perbincangan soal otoritas keagamaan ini masih menjadi problem yang terkadang merusak harmoni dalam kehidupan sosial masyarakat. Artinya, pemikiran keagamaan yang dikembangkan Muhammadiyah masih kerap dianggap sebagai “ancaman” bagi lestarinya praktik-praktik Islam tradisional, khususnya di wilayah pedesaan.

Dalam kasus pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di Sangso, Samalanga, ketakutan ini sangat jelas terlihat, di mana wilayah Samalanga itu sendiri merupakan basis dayah (pesantren) yang dihuni oleh santri dari berbagai daerah. Ada banyak dayah-dayah besar di sana dan juga sejumlah tokoh agama karismatik dari kalangan Islam tradisional. Secara sosiologis, kondisi inilah yang kemudian mendorong sejumlah pihak melarang pembagunan masjid Muhammadiyah di sana.

Ada kekhawatiran bahwa berdirinya masjid Muhammadiyah di wilayah tersebut akan memberi dampak “tidak baik” bagi kelestarian praktik ritual Islam tradisional yang telah berlangsung turun-temurun. Hal ini terjadi karena Muhammadiyah tidak saja dianggap sebagai organisasi yang mengembangkan modernisme, tapi juga purifikasi. Ditambah lagi dengan kondisi sebagian masyarakat Aceh yang fanatik dan sensitif terhadap soal-soal keagamaan, di mana Muhammadiyah sendiri kerap diasosiasikan dengan pemikiran “Wahabi.” Hal ini terbukti dengan hasil penelitian penulis yang mewawancari sejumlah tokoh dayah di Aceh, di mana sebagian mereka menganggap Muhammadiyah sebagai replika dari Wahabi.

Kondisi demikian tentu menjadi problem tersendiri yang bisa menghambat perkembangan Muhammadiyah di Aceh. Dalam kondisi tertentu, kenyataan sosiologis ini bahkan bisa mendorong terjadinya tindakan anarkis seperti pembakaran tiang pancang dan fondasi masjid Muhammadiyah di Samalanga. Karena itu, strategi penguatan basis umat, khususnya warga Muhammadiyah di akar rumput menjadi agenda penting pascaMuktamar Surakarta. Dengan kuatnya basis Muhammadiyah di akar rumput, kendala-kendala demikian akan dapat diminimalisasi di kemudian hari.

Agar hal itu tercapai, ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama, mengurangi perbincangan teologis di ruang publik, dan kedua kader-kader Muhammadiyah harus mampu menjadi bagian integral dari masyarakat rural.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan
loading...

No comments