Anies Baswedan dan Histeria Orang Aceh

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 18 November  2022

Sumber: Sindo News

Berembusnya nama Anies Baswedan sebagai calon presiden dari Partai Nasdem beberapa waktu lalu disambut dengan penuh histeria oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Kemeriahan ini setidaknya terlihat di beranda media sosial – di mana netizen-netizen Aceh tampak mencurahkan kegembiraan mereka. Seketika itu pula wajah Nasdem yang dulunya sempat “tercemar” karena dukungannya kepada Ahok, tiba-tiba saja bersih kembali di mata orang Aceh yang dikenal fanatik itu. Dalam konteks ini, ada kesan bahwa Nasdem telah diposisikan sebagai penyelamat bagi Anies, salah seorang capres yang dirindukan sebagian orang Aceh.

Kondisi yang terjadi di Aceh tersebut nyaris memiliki relevansi dengan pernyataan Surya Paloh baru-baru ini, di mana Partai Nasdem yang dulunya sempat dituding sebagai “penista agama” saat mendukung Ahok, kini justru mendapat gelar baru sebagai partainya “kadrun” pascapenetapan Anies sebagai calon presiden. Penetapan Anies sebagai calon presiden telah mengubah wajah Nasdem dalam pandangan pemilih-pemilih Muslim fanatik, baik di Aceh maupun di Indonesia.

Dalam hal ini, yang menjadi titik fokus bukanlah Nasdem, tapi Anies. Namun demikian kondisi ini tentunya sangat menguntungkan Nasdem dalam kontestasi pilpres nantinya, di mana potensi dukungan dari kelompok Muslim akan semakin meningkat. Di sini terlihat adanya simbiosis mutualisme antara Anies dan Nasdem, di mana Anies membutuhkan kendaraan politik untuk berkontestasi dalam pilpres, sementara Nasdem mengharapkan dukungan loyalis Anies dalam kontestasi pileg ke depan.

Karakter Pemilih Aceh     

Hingga saat ini klasifikasi pemilih dalam kelompok pemilih emosional dan rasional tentunya masih relevan digunakan untuk melihat peta politik di tanah air. Kita tahu bahwa pemilih emosional adalah mereka yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan “emosi” alias ketersentuhan perasaan yang dikaitkan dengan identitas, baik yang bersifat ideologis, agama atau pun budaya. Dalam hal ini, kesamaan ideologi, agama dan budaya menjadi faktor penentu yang mendorong seseorang untuk menentukan pilihan politiknya. Sementara pemilih rasional adalah mereka yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan alasan-alasan logis yang dapat dijelaskan secara rinci. Dalam hal ini pemilih rasional akan menghimpun data dan menggunakan kekuatan analisisnya untuk kemudian menentukan pilihannya secara tepat dan terukur.

Secara kuantitas, pemilih emosional di Aceh tentunya lebih banyak dan mendominasi setiap kontestasi politik. Hal ini bisa dilacak dalam sejumlah kontestasi politik di Aceh pascakonflik, di mana emosi pemilih menjadi penentu kemenangan, baik di eksekutif maupun legislatif. Kemenangan Irwandi-Nazar sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh pertama dalam Pilkadasung 2006 menjadi penanda bahwa faktor emosional begitu menghegemonik, di mana kala itu Irwandi-Nazar telah menjelma sebagai simbol “nasionalisme Aceh.”

Demikian pula kemenangan Zaini-Muzakkir dan Partai Aceh – yang kala itu berhasil menguasai parlemen juga tidak terlepas dari letupan “emosi” para pemilih di mana program-program rasional yang ditawarkan kandidat lain menjadi tidak bernilai. Identitas “partai perjuangan” yang dikampanyekan Partai Aceh saat itu telah sukses memantik emosi publik yang begitu bergelora.

Dalam konteks pilpres, kemenangan Prabowo-Sandi di Aceh pada 2019 dengan perolehan suara mencapai 85,59 persen adalah fakta paling populer tentang bagaimana pemilih-pemilih emosional memainkan perannya. Isu agama yang kala itu dimainkan Prabowo-Sandi telah sukses mendulang suara dari pemilih-pemilih Muslim Aceh yang dikenal fanatik. Kondisi hampir serupa juga terjadi pada 2014, di mana saat itu Prabowo-Hatta mendapat dukungan 54 persen suara di tengah lesunya partisipasi pemilih karena 1,2 juta alias 39 persen masyarakat memilih golput.

Bagaimana dengan Anies? 

Hingga saat ini politik identitas masih dianggap sebagai strategi jitu yang bisa mengikat emosi para pemilih di Indonesia. Khususnya di Aceh, politik identitas berbasis agama terbilang masih cukup kuat. Dalam kontestasi politik di Aceh isu agama telah menjadi jimat pemikat paling laris. Bahkan penggunaan isu-isu agama dalam kontestasi politik di Aceh telah menjadi keniscayaan. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman dua kali hasil pilpres di Aceh.

Merujuk pada dua pengalaman tersebut, kuat dugaan kehadiran Anies juga akan memunculkan fenomena yang sama di Aceh. Sosok Anies pastinya akan disambut dengan histeria yang menyala-nyala. Bahkan keberhasilan Anies menduduki kursi Gubernur DKI kala itu juga mendapat apresiasi yang luar biasa dari sebagian besar masyarakat Aceh. Di sini terlihat seolah ada pertalian emosi antara Anies dan orang Aceh.

Dalam perspektif psikososial, pertalian emosi antara Anies dan orang Aceh salah satunya dibentuk oleh kesadaran identitas Islam politik, di mana Anies telah diposisikan sebagai prototipe pemimpin Muslim ideal yang tidak hanya cerdas secara intelektual tapi juga religius dan pro-Islam. Selain itu, secara politis Anies juga diyakini “sukses” mengelola Jakarta pascakalahnya Ahok pada Pilkada 2017. Fragmen-fragmen ini kemudian membentuk satu “kesadaran” bagi sebagian besar orang Aceh – bahwa kepemimpinan Anies sebagai presiden di masa depan akan membuka peluang bagi kebangkitan umat Islam di Indonesia.

Koalisi Nasdem-Demokrat 

Wacana koalisi Nasdem-Demokrat-PKS yang menurut Surya Paloh “sedang menyesuaikan frekuensi” tampaknya juga akan memberi dampak tersendiri bagi pemilih-pemilih Muslim di Aceh. Kita tahu bahwa dalam memori orang Aceh Partai Demokrat memiliki tempat tersendiri, di mana partai ini dianggap sangat berjasa dalam mewujudkan perdamaian antara RI dan GAM di masa lalu. Selain itu, sosok SBY telah dianggap sebagai figur “bapak” yang tanpa banyak pertimbangan langsung menuju ke Aceh tidak lama setelah gempa tsunami meluluhlantakkan Aceh. SBY juga memiliki peran besar dalam rekonstruksi Aceh pascagempa tsunami 2004. Atas jasa-jasanya tersebut, pada 2009 SBY berhasil memenangkan pemilu di Aceh dengan perolehan suara mencapai 93,2 persen.

Berdasarkan pengalaman tersebut bukan tidak mungkin koalisi Nasdem-Demokrat melalui pasangan Anies-AHY akan mengukir kejayaan di Aceh. Kita tahu bahwa selain identitas “Islam” yang melekat pada Anies, jasa-jasa SBY di masa lalu juga akan menjadi pertimbangan bagi orang Aceh untuk memenangkan Anies dalam pilpres mendatang.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments