Modernisasi Maksiat

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 3 November 2022

Hibazoom

Sebagian orang meyakini bahwa maksiat di Aceh semakin meningkat dari tahun ke tahun. Keyakinan yang entah dilatari riset atau tidak ini, kemudian disampaikan dalam berbagai forum keagamaan, mulai dari majelis pengajian, khutbah Jumat, ceramah maulid atau bahkan di kedai-kedai kopi. Seketika saja ia menjadi satu simpulan yang diterima begitu saja oleh sebagian orang lainnya, bahwa dunia akan segera kiamat sebab maksiat terus bertumbuh. Alhasil generasi hari ini disalahkan atas maksiat yang kononnya terus berjibun.

Lantas benarkah demikian? Sebelum pertanyaan ini dijawab, tentunya harus disepakati dulu apa yang dimaksud dengan maksiat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan maksiat sebagai perbuatan yang melanggar perintah Allah alias perbuatan dosa, tercela dan buruk. Ada pun kata maksiat itu sendiri adalah serapan dari kata ma’shiyah dari bahasa Arab yang merupakan mashdar dari kata ‘ashaa-ya’shi yang sering diterjemahkan sebagai membangkang, mendurhakai, menentang atau melanggar. Dengan demikian sebagai kata benda abstrak (mashdar) kata ma’shiyah dapat dimaknai sebagai pelanggaran, pembangkangan atau tindakan amoral.

Jika kita sepakat dengan definisi ini maka setiap tindakan pelanggaran seperti korupsi, janji palsu politisi, jual beli jabatan, money politic dan berbagai bentuk tindakan amoral lainnya tentu dapat dikategorikan sebagai maksiat. Nah, jika ini yang dimaksudkan, kita nyaris sepakat bahwa maksiat memang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sebut saja tindakan korupsi yang mati satu tumbuh seribu. Kita tahu, dulu di Indonesia tindakan korupsi hanya bisa dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya karena sistem yang sentralistik. Sementara sekarang tindakan korupsi sudah menyebar sampai ke desa-desa dan bisa dilakukan oleh siapa saja, baik kepala desa maupun kepala sekolah. Dalam konteks perilaku-perilaku semacam ini jumlah kasusnya memang semakin banyak dan bervariasi sehingga bolehlah disimpulkan bahwa maksiat semakin meningkat. Artinya, maksiat dalam bentuk korupsi yang dilakukan di masa lalu memang tidak separah hari ini.

Tetapi, jika yang dimaksud dengan maksiat adalah tindakan amoral yang berkaitan dengan “selangkangan,” maka hampir bisa dipastikan kasus-kasus ini sebenarnya tidak meningkat tetapi masih lumayan stabil dan hanya berevolusi. Artinya jika hendak dikomparasikan dengan maksiat berbentuk korupsi, kasus maksiat “selangkangan” ini sudah ada sejak dulu dan tidak ada penambahan yang signifikan. Yang terjadi hanyalah pengulangan dengan aktor dan tempat berbeda.

Dua Level Maksiat

Diihat dari dampak, maksiat dapat dikategorikan ke dalam dua level. Pertama, maksiat yang hanya berdampak kepada si pelaku dan korban secara personal. Yang termasuk dalam maksiat kategori ini di antaranya adalah maksiat seputar “selangkangan” semisal pelecehan seksual, perilaku mesum (khalwat), perkosaan, pelacuran, perzinaan dan tindakan asusila lainnya yang daya rusaknya tidak berdampak secara luas. Tindakan-tindakan semacam ini memang masuk dalam kategori kejahatan dan sebagiannya sudah diatur dalam Qanun Jinayat.

Kedua, maksiat yang berdampak luas, baik terhadap stabilitas ekonomi, politik maupun hukum. Di antara maksiat yang masuk dalam kategori ini adalah tindakan korupsi, suap, pungli, money politic, jual beli jabatan dan berbagai tindakan lainnya yang umumnya melibatkan para elite. Berbeda dengan maksiat kategori pertama, maksiat model kedua ini memiliki daya rusak yang lebih dahsyat, tidak saja kepada pelaku, tapi kepada publik secara umum dan bahkan bisa mengancam masa depan negara. Sayangnya, dalam konteks Aceh, maksiat semacam ini sama sekali tidak mendapat perhatian dari qanun-qanun Syariat Islam yang ada selama ini.

Kondisi ini terjadi salah satunya disebabkan oleh masih parsialnya konsep Syariat Islam yang diterapkan di Aceh. Selama dua puluh tahun formalisasi Syariat Islam di Aceh, para elite dan intelektual kita masih terkesan asyik dengan qanunisasi maksiat-maksiat seputar “selangkangan” yang pelakunya didominasi oleh masyarakat “kelas bawah,” sementara maksiat yang melibatkan para elite dan memiliki daya rusak luas justru kurang mendapat perhatian. Alhasil, panggung eksekusi hanya menjadi ajang untuk mempermalukan “jelata”  di tengah euforia elite yang terus saja haha hihi.

Modernisasi

Demi kepentingan popularitas dan bahkan elektabilitas, para elite kita kerap melontarkan pernyataan-pernyataan populis, semisal isu maksiat yang semakin meningkat dengan merujuk pada tindakan maksiat kategori pertama yang umumnya berkutat pada soal “selangkangan.” Padahal, jika ditilik, aksi maksiat “selangkangan” tidak mengalami peningkatan yang signifikan dibanding aksi maksiat kategori kedua yang kian menumpuk. Yang terjadi pada maksiat kategori pertama sebenarnya hanyalah “modernisasi” bukan peningkatan.

Sebut saja aksi mesum misalnya, di mana aksi ini sudah tumbuh dan berkembang di masa-masa awal, jauh sebelum formalisasi Syariat Islam diberlakukan di Aceh. Bahkan aksi maksiat semacam ini telah menemani perjalanan sejarah manusia dari masa ke masa. Bedanya, dulu aksi mesum dilakukan secara “tradisional” tanpa dibarengi oleh kreativitas. Di masa lalu kita tentu ingat sejumlah pelaku mesum ditangkap di hutan, di semak-semak, di sela-sela pohon atau pun di tempat-tempat sunyi lainnya yang jauh dari pantauan publik. Ada pun hari ini, aksi mesum sudah mengalami “modernisasi” sehingga terkesan sedikit beradab. Perilaku mesum saat ini telah berpindah dari semak-semak menuju hotel-hotel, mobil atau café remang-remang.

Demikian pula dengan maksiat dalam bentuk mengintip orang mandi juga sudah tidak ada lagi dan berganti dalam bentuk yang lebih elegan melalui perangkat atau pun aplikasi pornografi. Pertemuan muda-mudi dalam konteks “pacaran” juga telah mengalami modernisasi pasca munculnya Video Call dan aplikasi sejenis lainnya sehingga berdua-duaan dalam WC umum misalnya telah ketinggalan zaman. 

Secara kuantitas maksiat kategori pertama seperti dikemukakan di atas hampir tidak mengalami penambahan secara signifikan, tapi hanya sekadar berganti pola dari gaya-gaya “tradisional-konservartif” kepada model yang lebih modern dan progresif. Karena itu, pernyataan sebagian kalangan yang menyebut maksiat (selangkangan) di Aceh semakin meningkat adalah keliru dan terlalu mengada-ada. Lagi pula sejumlah qanun telah mengatur maksiat model ini dengan sangat cermat melalui ancaman cemeti.

Peningkatan justru terjadi pada maksiat kategori kedua yang hingga saat ini belum pernah menjadi perbincangan para elite sehingga regulasi syariah terkait maksiat dimaksud belum menemukan wujudnya. Akibatnya maksiat yang dilakukan elite hanya menjadi catatan kaki yang tak pernah dibaca, sementara maksiat “jelata” terus saja didata.

Artikel ini sudah terbit Harian Serambi Indonesia

loading...

No comments