Buruan Terakhir

Oleh: Tin Miswary


Senja telah menepuk ufuk. Gumpalan mega merah masih tampak berjaga-jaga. Sesaat lagi ia pun segera enyah ditelan malam. Azan Magrib di pucuk-pucuk menara mulai bergema memecah keheningan, memanggil hamba-hamba Tuhan untuk segera bertandang ke rumahNya. Senja pun berakhir dan gelap mulai merayap.

Sebuah gubuk kecil berdiri congkak di tengah hamparan sawah yang sudah mulai gelap. Seorang laki-laki kurus berambut gondrong tampak duduk di dalam gubuk yang terbuat dari belahan bambu. Gubuk kecil itu adalah markas para petani untuk mengintip pipit pencuri padi. Herman, si lelaki kurus tinggi, berwajah muram dengan janggut terjuntai tampak gelisah. “Jam segini Sofyan belum datang,” keluh Herman sambil menggaruk-garuk kakinya setelah disambar nyamuk nakal.

Herman dan Sofyan adalah dua sekawan yang cukup dikenal di kampung itu. Dalam lima tahun terakhir mereka telah sukses menjadi pemburu paling ditakuti dan disegani di kampungnya. Mereka tidak berburu rusa, tidak kelinci dan tidak pula kambing hutan. Tidak ada rimba di kampung itu, hanya secuil gerombolan semak di beberapa kebun kecil yang tak terawat.

“Halo! Salam ‘alaikom,” teriak Sofyan di ujung pematang sawah yang terlihat becek. Dia terus melangkah sembari menyibak daun padi yang sudah mulai meninggi. Dia berjalan hati-hati, takut terperosok ke longsoran pematang yang masih basah. Herman menyambut temannya dengan senyum sinis. “Kenapa kamu terlambat?” Pertanyaan klasik yang sering terucap dari bibir Herman. “Seperti biasa, Man. Aku kan salat Magrib dulu,” sahut Sofyan sembari berusaha naik ke atas gubuk dan kemudian menepuk bahu Herman yang masih saja muram.

Berbeda dengan Herman yang terkenal jahat dan malas ibadah, Sofyan, seorang pemuda bertubuh sedang, berambut cepak dan berwajah bersih, dikenal sebagai sosok yang saleh. Herman dan Sofyan adalah koalisi maut yang paling menakutkan di kampungnya. Herman dikenal berani dan keras, sementara Sofyan selain taat juga penyabar. Dalam beberapa tahun terakhir mereka telah berhasil menangkap para pelaku mesum di kampungnya untuk kemudian dimandikan air comberan di menasah yang disaksikan masyarakat kampung dengan sorak-sorai. Para korban penangkapan umumnya gadis dan lelaki muda remaja yang tersesat di semak-semak ladang dan kebun warga. Kadang-kadang mereka juga menangkap janda dan duda yang kesepian.

Di kampung itu, penangkapan terhadap pelaku mesum selalu saja dirayakan layaknya kenduri besar. Hasil buruan Herman dan Sofyan akan diikat di sebuah tiang kayu di menasah. Beberapa warga akan berbondong-bondong mengambil air comberan untuk kemudian disiram ke wajah-wajah muram yang tertunduk layu. Sementara keluarga masing-masing pasangan segera memejam mata mengurut dada.

“Yan, kamu ingat sudah berapa pasangan berhasil kita tangkap selama ini?” tanya Herman sembari meraba-raba rokok di saku celananya. “Mungkin sudah sepuluh pasang, Man,” jawab Sofyan sambil menyodorkan korek api kepada Herman. “Haha…kamu lupa, Yan. Ada satu lagi. Haha…kamu lupa! Suara tawa Herman tampak bising bercampur gerisik daun padi diembus angin malam yang kian dingin. “Ya, Man. Aku ingat. Satu lagi Pakwa Bollah dan Wa Jamilah. Haha….Sofyan ikut tertawa dengan rahang terkuak. Untung saja tak ada lalat.

Malam terus bergerak dan bertambah kelam bersama hawa dingin di hamparan sawah yang kian sepi. Sesekali terdengar suara trompet jangkrik bersahut sambut dengan nyanyian cacing tanah. Suara-suara itu bercampur deru angin selaras membentuk irama bersama nyanyian daun-daun padi yang terus bergoyang. Langit malam itu terlihat cerah dengan tarian bintang yang terus berkedip. Sementara bulan mengintip di balik mega.

Setelah lelah tertawa, Herman berujar kepada sahabatnya, “Malam ini kita berburu lagi. Kita akan bergerak ke waduk di ujung kampung. Ini malam Minggu, tentu akan banyak tangkapan di sana.” Mendapat aba-aba dari Herman, Sofyan segera melompat turun dari gubuk. “Oke, mari kita bergerak.”

Kedua lelaki itu kemudian berjalan beriringan menapak di pematang sawah yang semakin basah terkena embun. Mereka terus berjalan dan berjalan. Tepat pukul sembilan malam mereka pun tiba di waduk. Ada banyak lampu berkerlap-kerlip di sana. Lampu dari beberapa warung kecil di sekitar waduk yang tampak berjejer rapi. Seperti biasa, malam Minggu waduk itu ramai dikunjungi orang untuk bersantai menghabiskan malam bersama keluarga. Waduk itu juga menjadi saksi pertalian hati beberapa muda-mudi remaja yang dibalut sepi. Bagi pedagang di sekitar waduk, malam Minggu adalah panen raya.

Di timur waduk terdapat beberapa gubuk mirip tempurung. Sepintas ia memang menyerupai gubuk, tapi tak bertiang dan telungkup rapat ke tanah. Gubuk itu terbuat dari dedaunan kering, entah rumbia entah jerami, tak begitu jelas. Di salah satu bagian dindingnya terdapat pintu kecil. Siapa pun yang masuk harus menunduk sebab ia terlalu rendah untuk tinggi manusia normal. Gubuk itu sangat mirip dengan rumah suku-suku di pedalaman. Ke gubuk inilah Herman dan Sofyan melakukan perburuan.

“Ada banyak pelaku maksiat di sini,” desis Herman yang diiringi anggukan Sofyan. Lalu keduanya melangkah pelan ke salah satu gubuk yang letaknya hanya beberapa meter dari tempat mereka berdiri. “Ayo!” teriak Herman. Layaknya Bostanji Bashi, mereka pun mempercepat langkahnya.

“Keluar, keluar, keluar…!” Herman berteriak keras sembari mukanya dirapatkan ke pintu gubuk. “Keluar sekarang. Kurang ajar! sambung Herman. “Ssssst…! Tenang, Man, bisik Sofyan, si penyabar, ke telinga Herman yang sudah terlihat seperti orang kesurupan dan kemasukan setan.

Setelah gubuk mirip rumah manusia purba itu digoyang dan ditendang Herman, akhirnya penghuninya pun keluar. Keduanya tampak menunduk melewati pintu kecil yang mirip lubang gua. Tiba-tiba saja terlihat dua anak manusia setengah telanjang berdiri gugup menggigil di hadapan Herman. Sofyan tampak berdiri beberapa senti dari Herman dengan tangan dilipatkan di dada. Sofyan tetap berusaha untuk tenang. Dia tidak mau diamuk amarah seperti Herman.

Tiba-tiba, “Sialan! Kurang Ajar! Berengsek!” seru Herman sembari berbalik ke arah Sofyan. Laki-laki penyabar itu tampak bingung dengan sikap Herman. Bagaimana mungkin dia melepaskan buruan yang sudah dintai sedari tadi, pikir Sofyan. “Mari kita pergi!” Herman kembali berteriak sembari menarik tangan Sofyan. “Kurang ajar, kurang ajar, kurang ajar…” Herman terus berkicau sendiri disaksikan Sofyan dengan wajah keheranan. “Kenapa kita pulang?” tanya Sofyan sambil melepaskan tangannya dari genggaman Herman.

“Itu Wati, adikku dan Mahdi, adikmu,” jawab Herman pelan. “Kurang ajar!” sahut Sofyan. Kesabaran pemuda itu tiba-tiba saja lenyap tersapu amarah. Hampir saja Sofyan berbalik arah, namun segera dihalangi Herman. “Jangan sampai kita telanjang di hadapan orang-orang. Cepat pergi!” perintah Herman pada Sofyan. 

Malam kian dingin bersama angin yang semilir. Rembulan yang tadinya mengintip telah bersembunyi di balik awan. Mungkin saja dia sedang tertawa melihat Herman dan Sofyan. Malam itu benar-benar gelap. Bahkan lampu-lampu kecil yang sedari tadi menyemarakkan keindahan waduk juga telah padam di mata Herman dan Sofyan. Kelam!

Cerpen ini sudah terbit di Harian Suara Merdeka

loading...

No comments