Solidaritas Bangsa Arab dan Kedaulatan Palestina

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 10 Oktober 2020

Konflik Israel-Palestina adalah persoalan klasik yang cukup rumit dan terus “abadi” hingga saat ini.

Berdirinya negara Israel pada 1948 adalah awal yang kemudian memicu konflik panjang berpuluh-puluh tahun, yang tidak hanya menyita perhatian masyarakat internasional, tetapi juga menyebabkan jatuhnya korban, baik dalam Perang Arab di masa-masa awal sampai dengan saat ini melalui aksi intimidasi dan terorisme yang dilancarkan Benyamin Netanyahu.

Membincangkan sejarah konflik secara kronologis tentu akan menyita banyak waktu, karena ada banyak negosiasi, tragedi, insiden, pengkhianatan dan kelengahan yang terjadi selama periode pendudukan Israel.

Dalam konteks kekinian, bangsa Arab, yang untuk sementara “diwakili” oleh Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain telah bersedia menandatangi kesepakatan damai dengan Israel, yang oleh Reuters disebut sebagai “kejadian bersejarah”, melalui mediasi Amerika Serikat.

Kesepakatan ini, seperti dilansir Al-Arabiya, kemudian mendapat dukungan dari Sultan Oman dan bahkan tersiar kabar Oman, Sudan dan Maroko sedang menimbang-nimbang untuk berdamai dengan Israel. Sementara Raja Arab Saudi telah memberi sinyal bahwa mereka belum siap berdamai dengan Israel.

Menyikapi kesepakatan damai ini, Turki, seperti dikabarkan media mereka Hurriyet, yang mengutip Anadolu Agency, melontarkan kritik keras terhadap UEA dan menyebut kesepakatan damai itu sebagai politik bunuh diri terhadap perjuangan Palestina.

Uniknya, secara de facto, seperti dilaporkan Hurriyet, Turki sendiri masih memiliki hubungan dengan Israel, khususnya dalam parawisata dan perdagangan, meskipun hubungan politik berada pada titik terendah.


[Lazada Program] Cincin Muslim Tauhid Islam Lafadz Syahadat Stainless Steel
Rp. 16.900


Suara Arab Saudi

Baru-baru ini, Pangeran Bandar bin Sultan, mantan Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat dan juga mantan Dirjen Badan Intelejen Saudi telah mengungkap beberapa fakta terkait keterlibatan negara-negara Arab dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel yang menurutnya selama ini sengaja disembunyikan oleh para pemimpin Palestina.

Dalam konteks kekinian, informasi yang disajikan Pengeran Bandar semakin menarik untuk diulik, di mana ada “kejenuhan” yang dirasakan oleh negara-negara Arab dengan sikap para pemimpin Palestina dari dulu sampai sekarang.

Dalam wawancaranya dengan Al-Arabiya, Pangeran Bandar mengaku terkejut dengan sikap dan pernyataan para pemimpin Palestina, di antaranya Mahmoud Abbas yang mengomentari kesepakatan damai UEA-Bahrain dengan Israel beberapa waktu lalu.

Abbas menyebut negara-negara Arab telah berpaling dari hak-hak rakyat Palestina.

Seorang pejabat Palestina, Saeb Erekat bahkan menyebut kesepakatan damai itu sebagai tusukan beracun bagi rakyat Palestina.

Pernyataan ini, menurut Pangeran Bandar adalah “khas” dari para pemimpin Palestina, di mana para pemimpin Hamas di Jalur Gaza yang telah memisahkan diri dari otoritas Palestina (PA) kerap menuduh para pemimpin Tepi Barat sebagai pengkhianat. Sebaliknya, para pemimpin Tepi Barat juga menuding Hamas sebagai separatis yang menikam dari belakang.

Pangeran Bandar juga membongkar habis-habisan peran Arab Saudi dalam mendukung kemerdekaan Palestina yang dimulai sejak Raja Abdul Aziz al-Saud, Raja Khalid, Raja Faisal, Raja Fahd, Raja Abdullah sampai dengan Raja Salman, yang menurutnya telah melakukan berbagai upaya strategis dalam memperjuangkan hak-hak Palestina.

Saat itu Abdul Aziz melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat, sebagai negara adidaya yang secara de facto memegang kontrol politik dunia.

Abdul Aziz meminta perhatian Presiden AS, Roosevelt terkait nasib Palestina pada 1945.

Ketika pecah Perang 1948, Arab Saudi bersama Liga Arab juga memberi dukungan penuh kepada Palestina dan saat itu Abdul Aziz meminta kepada rakyat Palestina untuk tetap bertahan dan tidak bermigrasi ke luar Palestina.

Abdul Aziz juga menyerukan agar negara-negara Arab membantu dana dan persenjataan kepada Palestina. Di masa-masa itu, negara-negara Arab juga melakukan embargo terhadap Israel sebagai bentuk dukungan kepada Palestina. Dukungan ini terus berlangsung sampai pecah Perang 1967.

Usaha-usaha ini menurut Bandar juga pernah dilakukan dengan serius oleh Raja Fahd yang bernegosiasi dengan Presiden Carter, tetapi saat itu upaya ini gagal karena kelalaian Pemimpin PLO, Yasser Arafat.

Saat itu, AS telah menunggu, tetapi Yasser Arafat “hilang” tak tahu rimbanya dan baru kembali sebulan kemudian dengan membawa persyaratan-persyaratan baru sehingga Raja Fahd membatalkan negosiasi agar AS tidak menyalahkan Palestina.

Usaha serupa juga pernah dilakukan Raja Fahd pada masa Presiden Reagan, tetapi dibatalkan oleh Raja karena saat itu AS sepertinya ingin menjebak Arab Saudi dengan isu-isu Timur Tengah.


[Lazada Program] Kemeja Flanel Pria Bayar Ditempat hitam garis merah
Rp. 52.900


Solidaritas Arab dan Persatuan Palestina

Poin penting yang bisa ditangkap dari penjelasan Pangeran Bandar adalah soal “keterpecahan” kepemimpinan Palestina dari dulu hingga sekarang, di mana “perpecahan” ini telah menjadi alasan utama gagalnya berbagai usaha negosiasi untuk mengembalikan hak-hak negara itu. Artinya, para pemimpin Palestina selalu berselisih dan bersaing sesamanya sehingga persatuan Palestina tidak pernah terwujud. Kondisi ini telah mengorbankan rakyat Palestina dari segala bentuk teror yang dilakukan Israel, baik di Gaza maupun Tepi Barat.

Hal lainnya yang menyebabkan kegagalan Palestina, menurut Pengeran Bandar, adalah kesalahan para pemimpin mereka dalam memilih teman. Menurutnya, Turki dan Iran bukanlah sekutu yang tepat untuk isu pembebasan Yerussalem karena secara faktual kedua negara itu tidak melakukan langkah-langkah konkret, tapi hanya sebatas menjadikan isu Palestina sebagai “komoditas politik” guna memperkukuh posisi mereka.

Kesalahan memilih teman ini juga sudah terjadi di masa-masa awal perjuangan Palestina. Pada 1930-an, pemimpin Palestina, Amin Al-Husseini memilih bersekutu dengan NAZI Jerman. Demikian pula dengan sikap Yasser Arafat yang bersekutu dengan Saddam Hussein ketika pendudukan Kuwait pada 1990, di mana hal ini telah melukai perasaan negara-negara Teluk, khususnya Kuwait yang sejak awal telah memberikan dukungan penuh kepada mereka. 

Dalam hal ini, Pangeran Bandar sepertinya ingin mempertegas bahwa pembebasan Yerussalem hanya akan berhasil dengan dukungan bangsa Arab dan juga persatuan para pemimpin Palestina.

Namun negara-negara Arab, yang meskipun sebagiannya mungkin bersikap “oportunis” tentu akan kewalahan dengan kondisi ini, di mana para pemimpin Palestina, bukannya menggalang persatuan, tetapi justru saling menyalahkan satu sama lain serta keliru memilih sekutu seperti halnya Turki – yang diakui atau pun tidak adalah negara muslim pertama yang mendukung kedaulatan Israel pada 1948, meskipun saat ini, di bawah kepemimpinan Erdogan, telah mulai “menebus” kesalahan mereka di masa lalu.

Informasi terakhir yang dilansir Al-Arabiya menyebut pemimpin Hamas di Gaza, Ismail Haniyeh dan pemimin Fatah di Tepi Barat, Mahmoud Abbas telah sepakat untuk menggelar pemilu, setelah vakum selama 15 tahun.

Akankah ini menjadi awal persatuan Palestina? Tidak ada yang tahu.

Ilustrasi: PRC

*Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan

loading...

No comments