Mohammed bin Salman dan Reformasi Arab Saudi

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 28 Juni 2022

Foto: Al Monitor

Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, sebagaimana dikutip Yasmine Farouk, seorang sarjana yang fokus pada kajian Timur Tengah, mengatakan bahwa sistem pemerintahan Kerajaan Arab Saudi saat ini telah mengalami restrukturisasi birokrasi, perubahan yurisdiksi dan tidak lagi secara “membabi-buta” mengikut pada doktrin-doktrin yang pernah dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di masa lalu. Namun demikian, dalam hal ini, doktrin-doktrin keagamaan yang telah ditanamkan Muhammad bin Abdul Wahhab sebelum negara Arab Saudi modern berdiri, tidak sepenuhnya ditolak, apalagi secara frontal, mengingat ajaran itu telah tumbuh kuat di benak masyarakat Saudi – tapi doktrin-doktrin itu akan disesuaikan dengan perkembangan Saudi yang lebih modern dan terbuka. Konsekuensi dari penyesuaian ini nantinya akan berdampak pada semakin berkurangnya pengaruh institusi ulama (tokoh agama) di ruang publik yang di masa lalu menjadi salah satu entitas penting dalam pembentukan negara Arab Saudi modern, di mana saat itu identitas agama diwakili oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian bersanding dengan identitas politik di bawah pengaruh Muhammad bin Saud. Dua identitas inilah yang menjadi fondasi penting berdirinya Kerajaan Arab Saudi modern yang diproklamirkan oleh Abdul Azis al-Saud pasca Perang Dunia Pertama.

Perubahan yang terjadi di Saudi saat ini seperti disebut Farouk di antaranya bertujuan untuk memperteguh sentralisasi negara yang lebih besar dan juga untuk penguatan konsolidasi rezim di bawah kendali Mohammed bin Salman. Dengan kata lain, gembrakan yang dilakukan Mohammed bin Salman salah satunya juga dimaksudkan untuk menyahuti keinginan sebagian masyarakat Saudi yang ingin berubah dan terbuka.

Saad al-Sowayan, seorang antrhopolog Saudi dalam Al-Arabiya mengemukakan bahwa Arab Saudi telah meninggalkan suasana “suram” dan berhasil melakukan reformasi sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana Arab Saudi mulai bergerak ke arah keterbukaan, modernisasi dan toleransi. Reformasi ini telah memungkinkan dibukanya tempat-tempat hiburan seperti bioskop, digelarnya konser musik dan adanya kebebasan para wanita untuk berbelanja tanpa harus menutup wajah mereka. Bagi masyarakat Saudi yang telah lama hidup dalam pengawasan keagamaan yang ketat, fenomena semacam ini pastinya menjadi suatu pencapaian yang luar biasa.

Sebagai pembanding, al-Sowayan juga menyinggung kondisi para wanita Saudi di masa lalu yang menurutnya terjebak dalam diskriminasi sosial akibat konservatisme yang berlangsung lama di Arab Saudi. Kondisi tersebut berubah sejak reformasi digulirkan pada 2016, di mana saat ini tenaga kerja wanita di Arab Saudi meningkat dari 17 persen menjadi 31 persen. Selain itu, kebebasan wanita Saudi di ruang publik juga semakin terbuka.

Menurut sejumlah sumber, selain mendapatkan hak untuk mengemudi, saat ini juga tidak ada lagi larangan bagi wanita Saudi untuk menghadiri konser dan acara olahraga. Bahkan, berembus informasi bahwa aturan perwalian bagi wanita juga sudah dilonggarkan sehingga mereka bisa membuat paspor dan bepergian ke luar negeri. 

Reformasi Arab Saudi

Sejumlah sumber menyebut gagasan reformasi Arab Saudi telah muncul sejak 1990-an, di mana saat itu, Pangeran Bandar bin Sultan al-Saud menyatakan bahwa Saudi memiliki keinginan untuk modernisasi meskipun tidak sepenuhnya menjiplak Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, pernyataan ini telah menjadi jalan pembuka bagi reformasi politik, ekonomi dan peradilan di negara itu. Secara praktis, upaya reformasi telah dimulai oleh Raja Abdullah pada 2007 yang mengumumkan pemisahan peradilan dari eksekutif. Usaha ini kemudian dikembangkan secara lebih luas oleh Raja Salman yang mulai berkuasa pada 2015. Saat ini, gerakan reformasi besar-besaran dilanjutkan oleh Mohammed bin Salman, penguasa de facto Arab Saudi dengan mencetuskan Visi 2030.

Seorang penulis Prancis, Corentin Dionet, menyebut bahwa transformasi politik yang dilakukan Mohammed bin Salman adalah dalam rangka menyukseskan Visi 2030 di Arab Saudi. Menurut Dionet, Mohammed bin Salman sedikit terpengaruh dengan gaya beberapa pemimpin populis seperti Victor Orban dan Recep Tayyip Erdogan sehingga ia bercita-cita menyesuaikan kekuasaan monarkinya dengan mengadopsi model Singapura yang otokratis, pragmatis dan memiliki teknologi tinggi guna melahirkan Arab Saudi yang lebih modern.

Meskipun gerakan Mohammed bin Salman dipandang sinis oleh sebagian kalangan, khususnya kalangan agamawan yang berafiliasi dengan Wahhabisme, namun secara faktual seperti disebut Dionet, retorika modernisasi dan Visi 2030 yang dikampanyekannya mendapat sambutan dari kaum muda negara itu. Dalam hal ini, Muhammed bin Salman diuntungkan karena 70 persen penduduk Saudi berusia di bawah 30 tahun.

Isu Miring 

Dalam konteks reformasi Arab Saudi yang terus bergulir, baru-baru ini tersiar kabar bahwa wanita Saudi tidak lagi diwajibkan berjilbab di ruang publik. Dikabarkan wanita-wanita berambut pendek dapat dengan mudah ditemukan kota Riyadh. Informasi ini tersebar luas di media-media Indonesia yang umumnya dikutip dari laporan kantor berita Prancis, Agence France Presse (AFP) yang mewawancarai seorang dokter bernama Safi. Namun faktanya informasi ini sama sekali tidak tersebar di media-media maesntream Arab Saudi. Anehnya lagi, informan AFP yang bernama Safi tersebut justru menggunakan nama samaran untuk menyamarkan identitasnya. Jika memang benar mereka bebas berkeliaran dengan rambut pendek di Arab Saudi, tentu tidak perlu menggunakan nama samaran.

Selain itu, seperti dirilis Arab News, menyikapi kebolehan berfoto dengan rambut terbuka saat membuat KTP, pihak kerajaan membantah informasi tersebut dan menegaskan bahwa hanya wanita berusia 10-14 tahun yang boleh menampakkan rambut mereka saat membuat KTP, selebihnya tidak diizinkan. Jika foto di KTP saja tidak dibolehkan memperlihatkan rambut, bagaimana mungkin para perempuan Saudi dibebaskan berkeliaran dengan rambut pendek di ruang publik?

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan jika Visi 2030 yang dicanangkan Mohammed bin Salman nantinya akan berdampak luas pada liberalisasi di Arab Saudi, termasuk dalam hal kebebasan wanita di negara itu. Wallahu a’lam.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments