Kemenangan Taliban dan Masa Depan Afghanistan
Sumber: The New York Times |
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 22 Agustus 2021
Memulai artikelnya di Al-Arabiya yang berjudul Teaching the world how to cry when Afghan girls can’t go to school, Heba Yosry, aktivis gender dan pengajar psikologi dan filsafat di Kairo, menulis: “Afghanistan telah jatuh ke tangan Taliban sekali lagi. Kita bisa berdebat siapa yang salah dalam kasus ini. Apakah penilaian Biden yang buruk terhadap situasi tersebut, ketidakmampuan pemerintah dan tentara Afghanistan, atau apakah korupsi yang merajalela telah memungkinkan negara itu jatuh ke tangan teroris. Menyelidiki dan menganalisis jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini penting dilakukan di masa depan. Saat ini, Afghanistan telah jatuh dan Taliban telah menjadi penguasa de facto. Spekulasi apa pun tidak akan mengubah kenyataan yang menggelikan ini.”
Kekhawatiran Yosry ini tentu memiliki alasan yang kuat jika merujuk pada era kekuasaan Taliban sebelumnya pada 1996-2001, di mana saat itu perempuan menjadi sasaran utama dalam kebijakan-kebijakan rezim Taliban yang dikenal “radikal.” Di era pertama kekuasaannya, Taliban melarang wanita keluar rumah tanpa didampingi mahramnya. Wanita juga diwajibkan mengenakan burqa. Taliban juga melarang wanita bekerja dan melarang anak perempuan untuk belajar di sekolah.
Tapi, jika dicermati secara objektif, selama berkuasa di masa lalu, Taliban juga telah sukses melakukan perubahan besar di Afghanistan yang dalam faktanya juga mendapatkan apresiasi dari rakyat negara itu. Saat itu warga Afghanistan tampak menyambut kehadiran Taliban dengan euforia karena keberhasilan mereka memberantas korupsi, meminimalisasi pelanggaran hukum, dan membuat jalan-jalan di bawah kekuasaan mereka menjadi aman untuk perdagangan. Saat itu, eksistensi Taliban di Afghanistan juga mendapat pengakuan dari Arab Saudi, Pakistan dan Uni Emirat Arab.
Namun demikian, kemenangan kedua yang dicapai Taliban di Afghanistan saat ini telah membuka kembali ruang diskursus yang kontroversial – di mana Islamisme moderat dihadapankan secara diametral dengan Islamisme ultrakonservatif ala Taliban. Kekuasaan kedua Taliban di Afghanistan telah melahirkan berbagai komentar dari pengamat politik di berbagai negara; sebagian merasa khawatir dan sebagian lainnya merasa optimis bahwa Taliban telah berubah dan tidak akan melahirkan kebijakan ekstrem seperti sebelumnya.
Seperti diketahui penguasaan Taliban terhadap Afghanistan baru-baru ini berlangsung begitu cepat dan tepat, dengan memanfaatkan kekosongan keamanan di negara itu setelah ditinggalkan pasukan Amerika Serikat dan NATO yang telah bertahan di sana selama 20 tahun. Fakta ini secara vulgar memperlihatkan betapa lemahnya pemerintah dan militer Afghanistan sehingga begitu mudah dipatahkan dalam waktu singkat.
Taliban sendiri adalah sebuah faksi politik berbasis militer dengan ideologi ultrakonservatif yang muncul di Afghanistan pada pertengahan 1990-an. Kemunculan Taliban terjadi seiring dengan penarikan pasukan Uni Soviet dan runtuhnya rezim komunis Afghanistan yang menyebabkan hancurnya tatanan sipil di negara itu. Awalnya Taliban berasal dari para pejuang mujahidin yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Kehadiran Taliban saat itu adalah untuk memerangi pasukan Uni Soviet yang berada di Afghanistan pada era 1970-1980-an.
Personel Taliban berasal dari para siswa madrasah yang didirikan untuk pengungsi Afghanistan di utara Pakistan pada 1980-an. Gerakan Taliban semakin membesar pada akhir tahun 1996, karena adanya dukungan dari kelompok etnis Pashtun di selatan Afghanistan dan juga adanya bantuan dari beberapa negara-negara yang menganut Islam konservatif. Pada 1996 Taliban berhasil menguasai Afghanistan. Kekuasaan Taliban periode pertama itu berakhir setelah berlangsungnya invasi dari koalisi negara Barat pasca serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, di mana Taliban dituduh melindungi Osama bin Laden.
Masa Depan Afghanistan
Beberapa waktu lalu, Taliban kembali sukses memasuki Kabul dan menguasai Afghanistan setelah Presiden Ashraf Ghani melarikan diri dan mencari perlindungan di Uni Emirat Arab. Namun kemenangan Taliban kali ini tampaknya mendapat perlawanan dari sebagian rakyat Afghanistan. Wakil Presiden Afghanistan, Amirullah Saleh telah menyerukan konsentrasi pasukan di Panjshir dan mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin sah di Afghanistan.
Sementara itu, rakyat yang bergabung dalam pasukan mujahidin Afghanistan dikabarkan telah berhasil merebut kembali tiga daerah yang awalnya telah dikuasai Taliban. Pasukan elite Afghanistan juga menegaskan bahwa mereka akan segera menumpas Taliban. Selain itu, warga Afghanistan juga tampak berkumpul di Ibu Kota Kabul untuk menentang kemenangan Taliban sambil mengibarkan bendera nasional seiring dengan perayaan kemerdekaan negara itu dari Inggris. Beberapa media juga mengabarkan bahwa di awal kekuasaannya Taliban telah membunuh keluarga jurnalis, membunuh eks ISIS dan juga membunuh wanita yang keluar rumah tanpa burqa.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa kekuasaan yang diperoleh Taliban kali ini tidak akan berjalan mulus dan cenderung mendapat perlawanan, baik dari pihak militer pemerintah maupun dari rakyat dan juga dari pemberitaan media yang negatif. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya gelombang eksodus yang dilakukan rakyat Afghanistan sebagai bentuk protes atas kemenangan Taliban. Menyikapi kondisi ini Taliban dikabarkan telah mengajak seluruh imam masjid untuk menenangkan penduduk Afghanistan agar tidak meninggalkan negara itu.
Namun di sebalik itu, sebelum memasuki Kabul, Taliban juga telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan mengizinkan perempuan bekerja dan menempuh pendidikan dengan syarat berjilbab. Mereka juga menginginkan sistem pemerintahan Islam yang murni, termasuk ketentuan bagi hak-hak perempuan dan juga kelompok minoritas. Sejak kembali menguasai Kabul, pihak Taliban juga menyatakan bahwa mereka hanya menginginkan perdamaian dan tidak akan membalas dendam terhadap para pejabat rezim pemerintah sebelumnya. Taliban mengaku memaafkan semua mantan pejabat pemerintah sehingga mereka tidak perlu meninggalkan Afghanistan.
Dalam konteks hubungan internasional, Taliban juga menyatakan siap menyambut China jika mereka ingin terlibat dalam proses pembangunan kembali Afghanistan yang selama ini dilanda perang. Di samping itu, meskipun memiliki beban sejarah yang panjang, tampaknya Taliban juga akan menjalin hubungan pragmatis dengan Rusia. Seperti diketahui, tidak seperti negara Barat lainnya, Rusia tetap membuka kedutaannya di Kabul. Bahkan menurut Duta Besar Rusia Dmitry Zhirnov, pihak Taliban telah menjaga kedutaan mereka dan kelompok itu juga telah membangun ketertiban umum di ibu kota Afghanistan. Rusia juga memuji Taliban dan mengklaim bahwa situasi di Kabul di bawah Taliban jauh lebih baik daripada sebelumnya saat dipimpin Ashraf Ghani.
Fakta-fakta ini mengindikasikan bahwa Taliban memiliki keinginan untuk berubah dan akan lebih moderat dan terbuka dibanding sebelumnya. Dan tidak ada pilihan lain bagi Taliban jika ingin melanggengkan kekuasaannya, kecuali mereka berbenah untuk lebih baik dengan memoderasi kebijakan-kebijakannya dari ultrakonservatif ke Islam moderat serta membangun hubungan baik dengan dunia internasional. Karena itu sudah selayaknya negara-negara Muslim mendorong Taliban untuk lebih moderat, bukan justru melancarkan spekulasi-spekulasi negatif yang dapat merusak masa depan Afghanistan.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
Post a Comment