Kementerian Agama Mau Kemana?
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 17 September 2020
Sepintas tulisan ini mungkin akan terlihat tendensius karena dalam beberapa hal akan menyorot sosok Fachrul Razi yang saat ini menjabat sebagai Menteri Agama di Republik ini. Namun, tendensi ini sama sekali tidak dilatari oleh alasan-alasan politis, tapi hanya sekadar refleksi bagi kita semua tentang nasib Kementerian Agama ke depan – yang tentunya tidak bisa dilepaskan dari sosok Fachrul Razi yang notabene adalah nakhoda kementerian itu.
Sebagai orang Aceh –dalam beberapa hal saya mungkin mesti berbangga dengan sosok Fachrul yang disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan Aceh, namun dalam beberapa hal lainnya saya justru merasa “geli” melihat pemandangan dan pendapat-pendapat “aneh” yang kerap diluncurkan mantan perwira TNI ini di ruang publik.
Jika dirujuk ke belakang, sejak awal, penunjukkan Fachrul Razi memang sudah mengundang polemik dari beberapa kalangan, khususnya dari NU dan Muhammadiyah. Sosok Fachrul Razi yang berlatar belakang militer dinilai kurang tepat untuk menduduki posisi Menag. Dan seperti kita saksikan bersama, sejak pertama kali dilantik sebagai Menag, Fachrul telah memulai parodi-parodi tak lucu yang kemudian menuai respons publik, khususnya umat Islam, sebagai – bukan saja penghuni terbesar di Republik ini, tapi juga penyumbang saham terbesar dalam pembebasan tanah air dari kolonialisme di masa lalu.
Meskipun terkesan klise, namun fakta-fakta ini penting untuk terus diulang di tengah penyakit lupa yang mendera oknum penggawa-penggawa tanah air saat ini. Penyakit lupa inilah yang kemudian melahirkan ucapan dan kebijakan-kebijakan yang dalam beberapa hal justru – entah sengaja atau pun tidak – seolah ingin memosisikan umat Islam berhadap-hadapan secara diametral dengan nasionalisme dan doktrin-doktrin kebangsaan.
Kita ingat, di hari-hari pertama menjadi menteri, Fachrul, telah menunjukkan sikap yang dalam beberapa hal dapat dinilai sebagai bentuk “sinisme” terhadap atribut-atribut Keislaman seperti cadar dan celana cingkrang.
Saat itu Menag sempat mewacanakan pelarangan niqab di instansi pemerintah. Wacana tersebut katanya didasari oleh persoalan keamanan pasca insiden penusukan Wiranto sebelumnya. Dalam hal ini, Menag tampak beretorika; bahwa pada prinsipnya dia tidak melarang niqab, tapi larangan tersebut berlaku apabila pengguna niqab memasuki instansi pemerintah. Argumen ini tentunya absurd dan akan bermakna bahwa pemerintah tidak mentolerir atribut Keislaman.
Pernyataan lainnya yang juga menuai kontoversi di masa-masa awal adalah soal celana cingkrang. Saat itu Menag menyebut penggunaan celana cingkrang oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak sesuai aturan. Dia bahkan mempersilakan ASN yang tidak menerima aturan tersebut untuk keluar.
Lagi-lagi dalam hal ini, Menag mencoba beretorika; bahwa menurutnya ASN harus mengikuti semua aturan, termasuk cara berpakaian, tetapi dia mengaku tidak mempersoalkan celana cingkrang dari segi agama. Menurutnya, meskipun tidak dilarang agama, namun celana cingkrang melanggar aturan berpakaian ASN. Argumen ini juga absurd karena dalam faktanya celana cingkrang tidak memiliki kaitan apa pun dengan profesionalisme seorang ASN.
Belum lama ini, Menag juga kembali disorot terkait pernyataannya yang terkesan “asbun” dan tidak melalui riset. Pernyataan yang menyebut anak good looking dan punya kemampuan agama yang baik sebagai “agen” paham radikal bukan saja menggelikan, tapi juga konyol dan bahkan sinis.
Pernyataan-pernyataan semisal ini seharusnya tidak dikeluarkan secara spontan tanpa didahului oleh riset mendalam. Jika pun ada beberapa oknum anak good looking dan paham agama kemudian menjadi agen radikal, tidak kemudian fakta ini menjadi alat bagi Menag untuk melakukan generalisasi sehingga menimbulkan bias di tengah masyarakat.
Baru-baru ini, kita juga kembali dikejutkan dengan wacana program sertifikasi da‘i yang akan diluncurkan Kementerian Agama. Lagi-lagi wacana ini membingungkan publik dan telah pula melahirkan pro-kontra, di mana MUI sendiri secara tegas menolak wacana ini.
Sertifikasi ini hanya akan menjadi belenggu bagi para penceramah dan umat Islam pada umumnya, di mana otoritas atau pun kebolehan berceramah nantinya akan berada di bawah kendali pemerintah. Kondisi demikian justru akan membuat demokrasi kita mundur ke belakang – jauh sebelum reformasi bergulir.
Apa yang terjadi selama ini membuktikan betapa buruknya kemampuan komunikasi seorang Menteri Agama yang seharusnya menyejukkan, tapi ternyata mengandung “bara api” yang kapan saja bisa meletup.
Tentunya kita tidak secara otomatis bisa mengaitkan karakter sang menteri yang “keras dan agresif” ini dengan latar belakang militer, di mana ia telah menghabiskan setengah hidupnya di sana, sebab Fachrul Razi bukanlah orang pertama dari kalangan militer yang menjadi menteri, sebab ia telah didahului oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara dan Tarmizi Taher.
Namun melihat fakta-fakta terkini, Fachrul bisa saja menjadi Menteri Agama pertama di Republik ini yang jauh dari kesan “santun” dan sifat kebapakan.
Sekiranya Fachrul menjabat sebagai Menteri Pertahanan mungkin sikap yang demikian tidak dipersoalkan dan bahkan perlu demi menjaga wibawa pertahanan. Namun sikap tersebut akan menjadi aneh jika dilakoni oleh seorang Menteri Agama yang semestinya bersikap religius dan dekat dengan nilai-nilai kesantunan.
Jika kondisi ini terus berulang, maka Kementerian Agama akan kehilangan arah dan terus menjauh dari tradisi-tradisi agama yang seharusnya dilindungi.
Mengaitkan ketaatan pemeluk agama dan juga tradisi-tradisi mereka dengan radikalisme misalnya justru akan membuat jarak antara Kementerian Agama dengan para pemeluk agama di negeri ini, khususnya umat Islam. Jika sudah begini, lalu Kementerian Agama mau kemana?
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan
Ilustrasi: Minesw
Post a Comment