Prancis, Kebebasan dan Pelecehan

Oleh: Khairil Miswar

Foto: Reuters

Bireuen, 27 Oktober 2020

Prancis kembali berulah. Mekipun terkesan tendensius, namun “tuduhan” ini menjadi sangat relevan untuk mendeskripsikan realitas kekinian yang terjadi di sana, di negara yang mengusung prinsip liberte (kebebasan), egalite (persamaan) dan fraternite (persaudaraan).

Semboyan yang kemudian menjadi prinsip itu lahir ketika berlangsungnya Revolusi Prancis untuk menumbangkan monarki pada 1789.

Namun, secara faktual, prinsip liberte yang diangung-agungkan di Prancis justru menjadi bias. Dalam kasus-kasus yang parah, prinsip ini telah merusak nilai fraternite yang juga dijunjung tinggi di sana.

Kebebasan yang tidak menghargai perbedaan, sebagaimana dipraktikkan Prancis adalah absurd dan bahkan destruktif sehingga merusak persaudaraan.

Kebebasan berekspresi yang dipraktikkan secara liar di Prancis telah pula memunculkan “konflik kebudayaan” atau lebih tepatnya clash of civilizations di mana prinsip sekularisme yang dipegang Prancis telah menafikan hal-hal yang oleh kebudayaan lain dianggap sakral.

Di titik inilah, kebebasan yang dianut Prancis menjadi bias karena membentur peradaban lain tanpa ampun.

Peristiwa terbaru terjadi pada 16 Maret lalu, seperti disiarkan Reuters, seorang guru di Prancis, Samuel Paty mati dibunuh oleh seorang pemuda Chechnya berusia delapan belas tahun, yang menurut hasil pelacakan sama sekali tidak terkait dengan jaringan terorisme.

Sebelum terjadi pembunuhan – yang kemudian dikutuk oleh masyarakat Prancis dan pemimpinnya, Presiden Emmanuel Macron, Samuel Paty telah menunjukkan “kartun Nabi Muhammad” di kelas, ketika dia mengajarkan kebebasan berekspresi kepada murid-muridnya.

Kuat dugaan, hal inilah yang kemudian memicu, seorang pemuda muslim untuk membunuh sang guru, yang dianggap telah menistakan Nabi Muhammad, sosok suci di kalangan Muslim.


[Lazada Program] Kemeja Panjang Kerja Kantor Planel Flanel Panel Kotak
Rp. 52.900

Usai kejadian berdarah yang menggemparkan Eropa itu, dan bahkan dunia, Macron langsung saja mengaitkan tindakan pembunuhan guru tersebut dengan Islam, di mana ia menyebut pelakunya adalah teroris Islam, sebuah tudingan yang kemudian memantik emosi para pemimpin Muslim semisal Erdogan (Turki) dan Imran Khan (Pakistan).

Kedua negara ini memberikan respons segera setelah tudingan Macron yang tendensius.

Tudingan keras lainnya yang merupakan ekspresi kebebasan Prancis juga digemakan Jean Michel Blanquer yang menjabat Menteri Pendidikan negara itu, di mana ia menyebut serangan terhadap Samuel Paty adalah serangan terhadap nilai-nilai yang dianut Republik Prancis: sekularisme, kebebasan beribadah dan kebebasan berekspresi. Sementara Perdana Menteri Prancis menyebut tindakan itu sebagai “khas terorisme Islam.”

Menyikapi itu, kutukan demi kutukan pun melanda Prancis. Salah satunya diserukan Imam Besar Al-Ahzar di Cairo. Meskipun dia mengutuk aksi pembunuhan Paty, namun secara tegas ia menyebut penghinaan terhadap agama dan simbol suci adalah standar ganda intelektual sekaligus undangan kebencian.

Respons serupa datang dari Turki, di mana Erdogan menyebut Macron mengidap sakit mental karena kebenciannya terhadap Islam. Sementara Parlemen Pakistan telah meminta pemerintah untuk menarik utusannya di Paris sebagai bentuk protes.

Di Bangladesh, para demonstran membakar bendera Prancis dan menuding Macron sebagai musuh perdamaian. Beberapa negara muslim lainnya seperti Kuwait dan Arab Saudi juga menyerukan boikot terhadap produk-produk Prancis sebagai bentuk protes.

Hal serupa juga dilakukan Liga Dunia Muslim, yang menyebut penghinaan terhadap Nabi bukan domain kebebasan berekspresi.

Pemantik Kebencian dan Terorisme

Kematian Samuel Paty membuat Prancis berkabung. Majalah satire Charlie Hebdo telah mengorganisir masyarakat Prancis untuk memberikan penghormatan kepada Paty. Pemerintah Prancis menganugerahi Legion d’Honneur kepada Paty yang merupakan penghargaan tertinggi di Prancis yang diserahkan secara anumerta di Universitas Sorbonne Paris. Seperti disebut Macron, penghormatan itu dilakukan sebagai bentuk dukungan Prancis terhadap kebebasan berekspresi. 

Salah satu ekses dari kematian Paty adalah kian “terdesaknya” Muslim di Prancis, di mana Menteri Keuangan negara itu, Bruno Le Maire mengatakan bahwa ia akan mengusulkan penguatan kontrol arus keuangan asosisi Islam di Prancis karena kecurigaannya terhadap penggunaan Cryptocurrency dalam pendanaan terorisme.

Ekses lainnya, Prancis dikabarkan akan mengusir 231 orang asing dalam daftar pantauan pemerintah yang dicurigai memiliki keyakinan agama ekstremis.

Prancis juga akan memperketat pemeriksaan orang asing yang ingin menjadi pengungsi di negara itu, terlebih lagi fakta yang mereka dapatkan menyebut pembunuh Paty berstatus pengungsi.

Insiden yang menyebabkan kematian Samuel Paty telah memutar ulang memori publik Prancis pada serangan yang mereka sebut sebagai terorisme, terhadap majalah satire, Charlie Hebdo pada 2015 lalu yang menewaskan 11 orang – yang juga dipicu oleh “kartun Nabi Muhammad.”

Usai peristiwa itu, pemimpin redaksi Charlie Hebdo juga mendapat penghargaan dari PEN American Center sebagai wujud membela kebebasan berekspresi.

Kartun Nabi Muhammad pertama sekali diterbitkan Koran Jyllands Posten di Denmark pada 2005. Kartun ini kemudian diadopsi dan diterbitkan ulang oleh beberapa media di Norwegia, Jerman, Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya.

Bahkan, di Indonesia, kartun yang melecehkan Nabi itu juga sempat diterbitkan Tabloid Gloria milik Jawa Pos pada 2006 lalu yang kemudian memicu kemarahan umat Muslim di tanah air.


[Lazada Program] Cincin Muslim Tauhid Islam Lafadz Syahadat Stainless Steel
Rp. 16.900

Pertanyaannya, kenapa penerbitan kartun tersebut menuai respons dan bahkan kecaman di dunia Muslim? Apakah Muslim tidak memahami kebebasan?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting dipahami bahwa setiap agama memiliki sisi sakral yang dianggap suci dan mesti dihormati sebagai manifestasi keyakinan mereka terhadap agama yang dianutnya.

Tidak saja agama, bahkan nilai-nilai profan yang disepakati secara politis yang kemudian menjadi azas suatu negara juga mesti dihormati karena kehadirannya dilindungi konstitusi.

Kebebasan, sebebas apapun, tentunya tidak memiliki hak untuk menggugat, apalagi melecehkan prinsip-prinsip yang telah disepakati entitas politik tertentu seperti halnya negara.

Hal serupa juga berlaku pada kebudayaan dan agama, di mana hal-hal yang dianggap sakral oleh kemunitas kebudayaan atau agama, bukanlah domain kebebasan berekspresi.

Di sinilah letak absurditas kebebasan Prancis yang sama sekali minus nilai.

Jika kebebasan semacam itu terus dilestarikan Prancis, bukan tidak mungkin negara itu akan terjebak dalam pertentangan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang heterogen, khususnya dengan peradaban Muslim.

Lebih jauh, pelecehan simbol-simbol suci dan penyerangan terhadap agama dengan dalih kebebasan berekspresi akan berdampak pada semakin suburnya ekstremisme, radikalisme dan terorisme di dunia.

Namun demikian, secara objektif, aksi penyerangan terhadap Charlie Hebdo dan pembunuhan Paty tidak selamanya dapat dikaitkan dengan terorisme yang terstruktur dan sistematis, tapi kuat dugaan hal itu muncul sebagai respons spontan atas ujaran kebencian yang dilakukan oleh para pelaku.

Buktinya, pembunuh Paty sama sekali tidak terkait dengan jaringan terorisme, setidaknya sampai saat ini kepolisian Prancis belum berhasil membuktikan itu.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Analisa

loading...

No comments