Memperbincangkan Nasionalisme Orang Aceh

(Resensi Buku)

Oleh: Khairil Miswar 



Bireuen, 14 Agustus 2020


Judul Buku : Nasionalisme dari Pinggir

Penulis        : Muhammad Alkaf

Penerbit      : Bandar Publishing

ISBN             : 978 623 7499 04 6

Tebal            : xii + 300 hlm

Tahun Terbit : Maret 2020


“Perasaan kedaerahan di Aceh tidak ada lagi, sebab itu kita tidak bermaksud membentuk Aceh Raya, seperti Tapanuli Raya, Bengkulu Raya, Bangka Raya dan lain-lain, yang kemudian menjadi negara bagian dari Negara Federasi Sumatera. Karena itu yang ada di Aceh hanya semangat Republiken.”

Demikianlah kira-kira bunyi pernyataan dari Tgk. Muhammad Dawud Beureueh yang terbit di Harian Semangat Merdeka pada 1948 menyikapi ajakan dari Tengku Mansur untuk membentuk Negara Bagian di Sumatera. Dawud Beureueh yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan tegas menyatakan semangat nasionalismenya kepada Indonesia yang baru tiga tahun diproklamirkan.

Sebelumnya, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, di Aceh gelora kemerdekaan ini diembuskan dengan sengit oleh kaum ulama yang kemudian melahirkan satu maklumat jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan dengan setia berdiri di belakang pemimpin besar revolusi, Soekarno. Kala itu, semangat nasionalisme begitu membara di Aceh sampai dengan meletusnya Perang Medan Area, di mana mujahidin-mujahidin Aceh terlibat aktif mempertahankan Indonesia dari agresi militer Belanda. 

Jika dirujuk ke belakang, benih-benih nasionalisme dan semangat kebangsaan itu sendiri telah tumbuh di Aceh pada era 1930an, di mana saat itu, tepatnya pada 5 Mei 1939, sebuah organisasi besar yang dikenal dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) berdiri di Kota Matangglumpangdua. Organisasi yang tokoh-tokoh kuncinya terdiri dari para ulama dan intelektual Aceh ini dipimpin oleh Dawud Beureueh. Sosok Dawud Beureueh adalah seorang ulama besar yang memiliki pengaruh cukup kuat di Aceh sampai dengan meletusnya Darul Islam di kemudian hari karena “tidak bijaknya” Jakarta memperlakukan Aceh.


[Lazada Program] MIC WS-858 Portable Bluetooth Wireless-Microphone Speaker Karaoke
Rp. 54.307


Terkait tentang bagaimana pergumulan dan pergulatan nasionalisme di Aceh dari masa ke masa telah ditulis dengan apik Muhammad Alkaf, seorang penulis muda yang selalu fokus pada isu-isu nasionalisme. Dalam bukunya yang bertajuk “Nasionalisme dari Pinggir”,  Alkaf menyajikan esai-esai yang berisi cuplikan-cuplikan nasionalisme orang Aceh yag heroik sejak tahun 1930an sampai dengan lahirnya MoU Helsinky pada 2005. Judul buku ini tampaknya berasal dari salah satu esai Alkaf yang berjudul “Nasionalisme dari Pinggir” (hlm 153) – yang mencoba “menggugat” cara pandang nasionalisme yang terfokus di pusat dan mengabaikan nasionalisme yang tumbuh di pinggiran, seperti Aceh misalnya – yang dalam kenyataan sejarah juga memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Di bagian awal bukunya, Alkaf mengisahkan kembali peristiwa revolusi sosial yang sempat menggemparkan Aceh di awal-awal kemerdekaan. Dalam hal ini, Alkaf dengan sangat hati-hati memperbincangkan kembali posisi sosok Husen Al-Mujahid dalam peristiwa revolusi sosial, di mana oleh sebagian kalangan, sosok ini dianggap sebagai tokoh yang paling bertanggungjawab dalam banyak jatuhnya korban dari pihak uleebalang (halaman 58).

Alkaf menyebut Husen Al-Mujahid sebagai seorang intelegensia yang resah terhadap kondisi bangsanya yang saat itu berada dalam penjajahan kolonial. Menurut Alkaf, Al-Mujahid memiliki peran besar dalam membebaskan bangsanya dari cengkeraman kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, di mana Al-Mujahid sendiri tampil sebagai Ketua Pemuda PUSA. Selain itu, pasca kemerdekaan, Al-Mujahid juga dianggap berjasa dalam mendorong dialog untuk penyelesaian peristiwa Darul Islam di Aceh di mana akhirnya Teungku Muhammad Dawud Beureueh bersedia turun gunung.

Dalam buku ini, Alkaf tidak saja mengulas tentang pergulatan nasionalisme orang Aceh di masa-masa awal, tapi juga mencoba menyibak ritme nasionalisme di masa pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin Hasan Tiro. Alkaf membincangkan kembali beberapa sosok yang dianggap sebagai pelopor dan penggagas perdamaian di Aceh. Salah satu sosok itu adalah Imam Syuja’, mantan ketua Muhammadiyah Aceh yang memiliki peran penting dalam menggaungkan damai. Alkaf menulis: “Di saat eskalasi konflik Aceh semakin memuncak, di mana ketika peluru melayang tanpa diduga ke mana arahnya, Imam Syuja’ tampil dengan lurus dan ikhlas. Dia berdiri di garda paling depan untuk menyeru tentang perdamaian, tentang mulianya kemanusiaan dan tentang bermartabatnya kearifan” (hlm 79).

Buku yang ditulis dengan serius oleh Alkaf ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk memahami pergulatan nasionalisme di Aceh yang terkadang berada di puncak dan terkadang pula terpuruk ke titik nadir, di mana dinamika sosial politik yang terjadi di Aceh dari masa ke masa telah turut berperan bagi mekar dan layunya nasionalisme orang Aceh.

[Lazada Program] Kemeja pria fullprint murah biru motip bunga HIGHT QUALITY
Rp. 52.900


Alkaf yang saat ini sedang menyelesaikan studi doktoralnya di bidang politik tentu saja memiliki otoritas keilmuan untuk memperbincangkan isu-isu nasionalisme. Terlebih lagi posisinya sebagai ketua Lembaga Studi Pancasila IAIN Langsa dan kegigihannya dalam menulis tentang topik ini di berbagai media massa telah menjadi modal intelektual baginya. Lebih dari itu, Alkaf sendiri berasal dari keluarga pejuang dan elite Aceh di masa lalu yang terlibat aktif dalam pergerakan nasional di Aceh. Dengan kata lain, tulisan-tulisan Alkaf  tidak saja dilandasi oleh faktor keilmuan, tapi juga oleh kesadaran nasionalisme yang dibangun oleh tokoh-tokoh Aceh semisal Ali Piyeung dan Ali Hasjimy yang notabene adalah “leluhurnya.”

Menariknya lagi, tulisan-tulisan Alkaf dalam buku ini ditulis dengan gaya esai dengan bahasa renyah sekaligus mengandung unsur seni yang tinggi sehingga ianya tidak membosankan. Bahkan sebaliknya, para pembaca akan dipaksa untuk menyelami baris-baris kalimat penuh gairah yang senantiasa hidup sepanjang waktu, tanpa peduli dari genarasi mana para pembaca berasal.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada




loading...

No comments