Moderasi Teologi


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 19 Mei 2021


Judul Buku : Teologi Terakhir

Penulis        : Miswari

Tebal            : 575 halaman

Penerbit    : Zahir Publishing

Tahun        : 2021

ISBN        : 978-623-6995-71-6


Sejak masa-masa awal kemunculan Islam, perbedaan penafsiran teks keagamaan telah mulai melahirkan perdebatan, perselisihan dan bahkan pertentangan serius yang kemudian berujung pada pertumpahan darah di kalangan Muslim. Perbedaan penafsiran ini telah melahirkan berbagai rumusan teologi yang berbeda satu sama lain – yang terkadang berhadap-hadapan secara diametral dan saling menyerang dengan meneguhkan rumusan teologi masing-masing sebagai penafsiran paling absolut yang mesti diterima tanpa reserve.

Tidak saja di masa-masa awal, tapi ketegangan antar teologi dalam Islam terus saja muncul dalam setiap rentang zaman hingga saat ini sehingga keterpecahan umat Islam semakin menyeruak. Kondisi ini tentu cukup ironis, mengingat segala pertentangan yang terjadi tidak saja dilandasi oleh soal debat teologi belaka, tapi juga turut ditunggangi oleh kepentingan para penguasa yang ingin melegitimasi kekuasaannya kala itu. Karena itulah, persoalan pertentangan ini tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja secara parsial, tapi membutuhkan kajian holistik agar konklusi yang dilahirkan benar-benar proporsional. 

Dalam sejarahnya “perang” teologi ini tidak saja melahirkan diskursus ilmiah, tapi juga turut merusak stabilitas ukhuwah Islamiyah di antara sesama Muslim. Karena itu dibutuhkan sebuah upaya moderasi teologi guna memperkecil ruang pertentangan ini. Sepertinya, hal inilah yang mendorong Miswari menyusun buku tebal dengan tajuk Teologi Terakhir dengan ketebalan hampir 600 halaman berisi 14 bab yang memuat berbagai persoalan teologi mulai dari zaman klasik hingga modern.

Di Bab Pendahuluan Miswari menulis: “Sejarah perkembangan teologi Islam menunjukkan bahwa ketika suatu ajaran diakomodir secara berlebihan oleh kekuasaan politik, maka akan menimbulkan kerugian bagi ajaran tersebut. Resistensi kekuasaan akan berakibat pada resistensi ajaran yang diapresiasi kekuasaan. Sejarah teologi klasik telah membuktikannya bahwa kekuasaan politik dapat mempertahankan eksistensi kekuasaannya ketika ajaran yang dianut mayoritas dipolitisir. Dengan cara ini diskriminasi minoritas selalu terjadi” (halaman 1).

Di sini tampaknya Miswari ingin menegaskan bahwa keterlibatan kekuatan politik secara berlebihan dalam urusan teologi akan berdampak pada munculnya diskriminasi minoritas. Dalam sejarah klasik, fenomena ini misalnya dapat dengan mudah kita lacak pada masa Daulah Abbasiyah ketika dipimpin oleh tiga khalifah yang berafiliasi dengan ajaran Muktazilah, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim dan Al-Watsiq, di mana saat itu terjadi mihnah dalam sejarah Islam yang dikenal dengan “Tragedi Qur’an Makhluk.” Saat itu, para khalifah Abbasiyah yang berafiliasi dengan ulama-ulama Muktazilah memaksakan ajarannya kepada kaum Muslimin yang sebagiannya justru berafiliasi kepada mazhab teologi yang dikembangkan oleh Ahlul Hadits – yang dipimpin oleh Imam Ahmad bin Hanbal – sehingga pertentangan besar pun terjadi yang akhirnya bermuara pada diskriminasi terhadap para pengikut Ahlul Hadits atau proto-Sunni.

Demikian pula ketika rezim Muktazilah tenggelam, kontestasi teologi masih saja terjadi. Sebut saja pertentangan antara pengikut teologi Asy’ariyah yang dianggap dekat dengan Muktazilah karena menggunakan pendekatan kalam dalam dialektika teologis dengan para pengikut teologi Ahlul Hadits yang kemudian dikenal dengan Salafiyah. Asy’ariyah yang terpengaruh dengan filsafat Yunani selalu saja berhadap-hadapan dengan Ahlul Hadits yang lebih bersifat literalistik dalam merumuskan teologi mereka.

Di masa yang lebih modern seperti saat ini, pertentangan-pertentangan teologi semacam ini juga masih berlangsung antara penganut teologi Salafiyah (Ahlul Hadits), Asy’ariah dan Syi’ah. Ketiganya adalah aliran teologi besar yang masih tersisa hingga saat ini. Dalam praktiknya, ketiga kutub pemikiran ini selalu saja bertentangan satu sama lain yang dalam banyak hal juga dipicu oleh kepentingan politis. Ketegangan antara Iran yang menganut teologi Syi’ah dengan Arab Saudi yang menganut teologi Sunni Salafiyah misalnya, tidak saja dilatari oleh persoalan teologi belaka, tapi lebih didominasi oleh perebutan pengaruh politik di Timur Tengah.

Jika kita kembali kepada masa-masa yang lebih awal sejak kemunculan Islam, lahirnya berbagai aliran teologi seperti Khawarij, Murji’ah, Syi’ah dan Mu’tazilah juga dilatari oleh faktor politik, di mana aliran-aliran dimaksud pada awalnya tidaklah murni sebagai aliran teologi, tapi lebih kepada “partai politik” yang menggunakan isu-isu teologis untuk meneguhkan kekuasaan mereka yang kemudian dalam perkembangannya merumuskan pemikiran-pemikiran teologi sesuai dengan kepentingan politik masing-masing pihak. Dalam kondisi inilah, seperti disebut Miswari, diskriminasi terhadap minoritas terjadi.

Di bagian akhir bukunya, Miswari menulis: “Pembelajaran teologi Islam hari ini masih menggunakan pendekatan lama…Sistem pembelajaran demikian dapat menyebabkan fanatisme atas aliran tertentu dan kebencian atas aliran lainnya” (halaman 516). Menurut Miswari, hal ini disebabkan oleh sistem pembelajaran model lama yang bersifat doktrinal sehingga menghalangi munculnya diskursus ilmiah yang berujung pada sikap beragama yang ekslusif.

Untuk menyikapi hal tersebut, Miswari menawarkan Teologi Integratif guna meminimalisasi pertentangan antar aliran teologi. Menurutnya, pembelajaran teologi harus berbasis pada integrasi pemikiran Islam agar mampu menyelesaikan problematika kontekstual yang dihadapi oleh masyarakat Muslim dalam konteks kekinian. Dengan kata lain, Miswari ingin menegaskan tentang pentingnya moderasi teologi agar pertentangan-pertentangan yang tidak perlu itu dapat segera ditinggalkan demi kemajuan kaum Muslimin.

Karena itu, buku yang ditulis Miswari ini menjadi sangat penting untuk dikaji oleh para peminat pemikiran Islam guna memecahkan persoalan-persoalan diskriminasi dan intoleransi yang kerap terjadi di Indonesia, dan juga di dunia Mulim pada umumnya mengingat moderasi teologi adalah agenda mendesak bagi umat Islam.

Meskipun buku ini berisi kajian “berat,” namun kepiawaian Miswari dalam menulis telah membuat teks-teks dalam buku ini mengalir dengan ringan sehingga mudah dipahami oleh setiap kalangan dari latar belakang manapun. Selain itu, sosok Miswari sebagai pengkaji pemikiran Islam dan kandidat doktor filsafat di UIN Syarif Hidayatullah yang telah melahirkan puluhan buku menjadikan pembahasan dalam buku ini semakin otoritatif karena ditulis oleh ahlinya.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

1 comment: