Erdogan Lawan Dunia?

armenianweekl


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 13 Juli 2020

Kesuksesan Erdogan melakukan konversi terhadap Hagia Sophia di Istanbul disambut dengan gegap-gempita oleh sebagian Muslim di seluruh dunia. Seperti diketahui, Hagia Sophia pada awalnya dibangun sebagai katedral oleh Kekaisaran Romawi Timur pada tahun 537. Selama hampir seribu tahun bangunan itu beroperasi sebagai gereja. Terkadang digunakan sebagai gereja Kristen Ortodoks dan terkadang pula sebagai gereja Katholik. Pasca penaklukan Ottoman pada 29 Mei 1453, bangunan di Istanbul itu kemudian berubah menjadi masjid. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 1935, di masa-masa awal berdirinya Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk mengubah masjid itu menjadi museum sebagai komitmennya atas sekularisme.

Baru-baru ini, pasca pengadilan tertinggi di Turki membatalkan dekrit 1934 yang dibuat Mustafa Kemal Attaturk, Erdogan kemudian menyerahkan kendali Hagia Sophia kepada badan keagamaan Turki. Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu menyebut aksi ini sebagai kedaulatan Turki. Mayoritas rakyat Turki juga mendukung kebijakan ini karena perubahan Hagia Sophia menjadi masjid dianggap sesuai dengan identitas Turki.

Tindakan Turki ini langsung saja mendapat kritik dunia internasional. UNISCO menyatakan menolak tindakan Turki karena dilakukan tanpa diskusi sebelumnya. Kekecewaan terhadap tindakan Erdogan ini juga dirasakan Amerika Serikat dan Prancis. Kecaman paling keras datang dari Yunani. Juru bicara Pemerintah Yunani, Stelios Petsas, sebagaimana dilansir Saudi Gazette (11/7) menyebut tindakan Erdogan sebagai kesalahan bersejarah yang menciptakan jurang perpecahan. Yunani menyatakan mengutuk pengalihan Hagia Sophia dan mengancam akan memberikan sanksi kepada Turki. Kritik juga datang dari tetangga Turki, Siprus, yang menyatakan tindakan Erdogan sebagai penodaan historis terhadap warisan dunia.

Kecaman terhadap Erdogan juga datang dari para pemimpin Kristen. Pejabat Gereja Ortodoks Rusia, Vladimir Legoida menyebut pengalihan Hagia Sophia sebagai tindakan yang mengarah pada perpecahan. Pasalnya, bagi Kristen Ortodoks, Hagia Sophia sama sucinya dengan Basilika Santo Petrus di Roma. Sementara itu, Paus Francis, sebagaimana dikutip Arab News (12/7) mengaku sangat tertekan atas keputusan Turki yang mengubah bangunan era Bizantium, Hagia Sophia, menjadi masjid. Respons paus ini adalah reaksi pertama dari Vatikan yang merupakan pusat Katholik. Sebelumnya, Dewan Gereja Bartholomew yang merupakan pemimpin spiritual bagi 300 juta umat Kristen Ortodoks juga telah mengingatkan Turki bahwa pengalihan Hagia Sophia akan mengecewakan umat Kristen di seluruh dunia. 

Menurut beberapa analis, akibat aksinya, Erdogan juga dituduh telah bersikap ambigu dalam pengalihan Hagia Sophia. Erdogan dituding telah membuat pengumuman yang berbeda dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris melalui surat yang ditandanganinya di kantor kepresidenan. Naskah dalam bahasa Inggris disebut berisi teks yang lebih damai dan berbicara tentang warisan bersama umat manusia. Artinya Hagia Sophia tidak hanya menjadi milik Muslim tetapi juga milik umat Kristen.  Sementara itu dalam konten berbahasa Arab, Erdogan justru menggambarkan langkah tersebut sebagai realisasi dari janji Sultan Ottoman, Mehmed II, dengan menyatakan bahwa kebangkitan Hagia Sophia adalah awal dari pembebasan Al-Aqsa di Palestina.

Di Turki sendiri, Erdogan yang diyakini memiliki kedekatan dengan kelompok Islamis, seperti Ikhwanul Muslimin dianggap telah berhasil menyerang tradisi sekularisme yang diwariskan oleh Bapak Turki modern, Mustafa Kamal Attatur. Bahkan pengalihan status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid diyakini sebagai momen puncak dari revolusi agama yang digerakkan Erdogan dan partainya, AKP. “Revolusi” itu sendiri telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, di mana Erdogan sendiri dikenal sebagai muslim yang taat.

Kritik Lainnya

Sebelumnya, sosok Erdogan juga kerap mendapat kritik terkait berbagai kebijakan politik luar negerinya, khususnya terkait campur tangan Turki di Libya. Keterlibatan Turki dalam konflik Libya tidak saja memicu ketegangan dengan Eropa, tapi juga telah menyebabkan hubungan Turki dengan negara-negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, menjadi tidak harmonis. “Konflik” dengan Arab Saudi kabarnya diawali oleh pembunuhan wartawan berkebangsaan Saudi di Turki, Jamal Kashoggi – yang menurut Turki melibatkan putra mahkota Muhammad bin Salman. Akibat ketegangan itu, kononnya beberapa waktu lalu, Gubernur Riyadh telah memerintahkan penghapusan nama Sultan Sulaiman al-Qanuni (Sultan Ottoman) di beberapa ruas jalan di kota itu sebagai bentuk protes kepada Turki yang dianggap menyudutkan Saudi. Bahkan pihak Kerajaan Arab Saudi dikabarkan telah mengampanyekan untuk memboikot Turki melalui semua cara, termasuk penolakan produk makanan dan properti, transaksi dengan perusahaan Turki dan juga pembatasan wisata ke negara itu.

Baru-baru ini, pasca pengalihan Hagia Sophia, sosok Erdogan kembali menuai kritik. Al-Arabiya (12/7) dengan mengutip pernyataan PBB menyebut bahwa Turki telah menandatangani perjanjian rahasia dengan beberapa negara untuk menangkap dan menculik para opisisi dan pembangkang Turki yang bermukim di luar negeri. Surat perjanjian itu diduga berisi perjanjian rahasia yang ditandangani dengan Azerbaijan, Albania, Kamboja dan Gabon. Turki juga disebut menargetkan warga negaranya yang bermukim di Afghanistan, Kosovo, Kazakhstan, Lebanon dan Pakistan. Al-Arabiya juga menyebut bahwa Erdogan telah meningkatkan tindakan tegas kepada para pengkritiknya, khususnya yang berafiliasi dengan kelompok Fethullah Gulen yang bermukim di Amerika Serikat – yang sebelumnya pernah dituduh sebagai penggerak kudeta di Turki. Sebelumnya, pengadilan Turki juga telah menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada 121 orang yang diyakini terlibat dalam upaya penggulingan Erdogan pada 2016.

Menyimak berbagai kritik yang dilontarkan berbagai negara kepada Erdogan, terlihat jelas bahwa sosok Presiden Turki ini telah dianggap sebagai “musuh bersama” yang mesti “dilenyapkan.” Bagi Eropa dan Amerika, gerakan politik Erdogan dianggap sebagai gangguan yang “membahayakan” kenyamanan posisi mereka. Hal ini di antaranya dikemukakan Josep Borrel, perwakilan dari Uni Eropa, dengan menyebut Turki sebagai penganggu keamanan yang agresif di Mediterania Timur terkait klaim hak mineral Turki di kawasan itu. Dalam ketegangan itu, Turki bahkan sempat mengancam akan memerangi Yunani jika mereka menganggu pengeboran minyak yang dilakukan Turki, di mana perebutan pasokan minyak ini telah menjadi sumber kerusuhan sejak 2011 lalu.

Sementara bagi negara-negara Teluk, Erdogan yang kerap disindir sebagai “Sultan Ottoman” dianggap telah melakukan manuver politik dengan tujuan memacak hegemoni Turki di Timur Tengah – seperti halnya Dinasti Ottoman di masa lalu. Seorang penulis Arab, Jameel Altheyabi, dalam tulisannya di Saudi Gazette, bahkan menyebut Erdogan sebagai sosok “tak bermoral” yang berusaha merebut hak-hak orang Arab dan menciptakan instabilitas di negara-negara Arab dengan campur tangannya di Suriah, Libya dan Irak.

Namun demikian, di tengah derasnya kritik dunia, Erdogan terus melangkah dengan kebijakan-kebijakan politiknya yang kontroversial. Kita tidak tahu apakah gerakan Erdogan ini didorong oleh romansa kejayaan Ottoman di masa lalu  demi menaikkan citra Turki di hadapan dunia atau memang sebuah “manuver atraktif” untuk memantik solidaritas Muslim untuk kembali bersatu yang dengannya akan membangkitkan kejayaan Islam di masa depan? Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah terbit di  Harian Waspada Medan



loading...

No comments