Sastra dan Kampanye Penyelamatan Lingkungan

 Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 26 Agustus 2023



Judul Buku       : Mata Air (Novel)

Penulis              : Miswari

Penerbit            : Zahir Publishing

Tebal                : 164 halaman

Tahun Terbit     : Juli, 2023

ISBN               : 978-623-466-280-1

 

Aktivitas penambangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar dalam banyak kasus kerap menimbulkan problem bagi kelangsungan ekosistem yang pada akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan. Fenomena pemanasan global; pencemaran tanah, air dan udara; tanah longsor; kebakaran hutan dan; banjir adalah beberapa contoh kerusakan lingkungan yang membawa dampak serius bagi keberlangsungan hidup manusia di masa depan. Namun, di hadapan manusia-manusia “rakus” dampak tersebut acap kali diabaikan.

Fenomena ini disajikan dengan cukup serius dalam novel bertajuk “Mata Air” yang ditulis Miswari. Dalam novel setebal 156 halaman tersebut, penulis mengisahkan tentang perlawanan Ari, seorang mahasiswa di sebuah desa pedalaman di Aceh terhadap perusahaan pertambangan yang ingin mengeruk emas di kawasan itu. Ari tetap mempertahankan idelismenya di tengah pengaruh perusahaan yang mencoba menyuapnya. Beberapa teman yang dulu mendukungnya kemudian terjebak dalam strategi yang dimainkan perusahaan sehingga mereka memilih meninggalkan Ari. Namun, berkat dukungan Meutia, teman masa kecilnya, Ari kembali bangkit. Kali ini dengan cara yang lebih lunak. Dia melakukan upaya negosiasi dan juga mencari dukungan media massa untuk menyelamatkan desa kelahirannya di Mata Air.

Kisah dalam novel ini dibuka dengan legenda Malem Diwa yang cukup terkenal di Aceh. Di bagian ini dikisahkan tentang asal muasal desa Mata Air yang menjadi locus cerita. Setting tempat dijelaskan dengan cukup detail dengan narasi yang hidup sehingga pembaca bisa merasakan suasana cerita yang disajikan penulis. Penggambaran ini misalnya bisa dilihat di halaman 7: “Waktu pagi, sinar matahari muncul agak lama. Pertama-tama cahaya di Mata Air menyinari puncak bukit sebelah barat yang ditumbuhi pepohonan lebat. Perlahan turun menyinari sebuah kolam alami di kaki bukit.”

Dalam novel ini Miswari juga mengungkapkan dilema yang dihadapi masyarakat miskin ketika berhadapan dengan kepentingan penyelamatan lingkungan dan iming-iming materi. Hal ini terlihat dalam perkataan Jamaluddin ketika merayu Ari untuk menjual kebun: “Bayangkan, Nak. Dari hasil menjual kebun, dua adik perempuanmu nanti dapat kuliah di kampus terkenal di Pulau Jawa. Engkau sendiri dapat membuka bengkel besar di Kota Peusangan ….” ( hal. 28).

Di bagian lain penulis menggambarkan karakter Meutia yang rasional dan taktis, di mana dia menyarankan pada Ari agar menghindari konfrontasi dengan perusahan supaya usahanya tidak gagal di tengah jalan. “Maka di hadapan Gold-In, harus terkesan bahwa kita masih dapat didekati secara persuasif. Dengan begitu, mereka tidak akan memasang strategi pertarungan” (hal. 58).

Novel “Mata Air” terbilang berani dan cukup lugas dalam menggambarkan trik-trik yang dilakukan perusahaan pertambangan untuk mencapai tujuannya. Berbagai strategi dan upaya pendekatan oleh perusahaan terhadap masyarakat digambarkan dengan cukup gamblang. Sebagai seorang Doktor Filsafat, tentunya penulis sudah melakukan berbagai riset secara mendalam guna mengumpulkan data untuk kepentingan cerita sehingga novel bergenre realis ini bisa merangsang kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan.

Miswari bukanlah orang pertama di Indonesia yang menggunakan perspektif ekologi dalam penulisan sastra. Novel-novel serupa telah ditulis oleh pengarang-pengarang sebelumnya, di antaranya novel “Arah Langkah” yang ditulis Fiersa Besari (Media Kita, 2018) dan novel “Sampah di Laut Meira” karya Mawan Belgia (Buku Mojok, 2020). Namun demikian, kehadiran novel “Mata Air” dengan sendirinya akan semakin memperkaya khazanah sastra yang berkaitan dengan ekologi di tanah air.

Beberapa kelemahan dalam novel “Mata Air” yang menggunakan sudut pandang orang ketiga ini adalah terjadinya dominasi narasi dari narator. Hal ini terlihat jelas dari narasi yang terkesan bertele-tele sehingga porsi dialog kurang diperhatikan. Bisa dikatakan, novel ini sangat miskin dialog; dan dari beberapa dialog yang ada juga terkesan kurang memberi makna karena berisi percakapan-percakapan yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Kekurangan lainnya adalah tidak maksimalnya kerja editor sehingga masih banyak ditemukan kesalahan ketik di sejumlah halaman yang mana hal ini tentunya akan mengurangi nilai sebuah karya. Terdapat juga beberapa narasi yang terlalu berlebihan, khususnya ketika menjelaskan tentang kampus STMIPA yang dibangun di bawah tanah demi menyelamatkan kebun-kebun warga. Demikian juga dengan lompatan yang kurang tertib di bagian epilog, di mana Ari yang awalnya menjadi karakter utama novel ini tiba-tiba berubah menjadi badak raksasa setelah meminum cairan logam dari sebuah kolam. Dalam sastra beraliran realisme magis sekali pun “kejanggalan” seperti ini tetap saja tidak bisa diterima. Untuk memasukkan “fenomena” tersebut dalam surealisme juga sulit karena hampir keseluruhan cerita menggunakan pendekatan realis.

Namun begitu, terlepas dari kekurangan yang ada, novel ini patut diapresiasi, mengingat tidak banyak orang di negeri ini, apalagi akademisi, yang menaruh minat pada isu penyelamatan lingkungan. Dan, melalui novel ini Miswari setidaknya sudah berusaha mengurangi “dosa-dosa” mereka.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada pada 31 Agustus 2023

loading...

No comments