Nezar dan Narasi Sublim tentang Sederet Peristiwa
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 30 Juni 2023
Judul Buku : Sejarah Mati di Kampung Kami; Catatan
tentang Aceh, Jurnalisme
dan Demokrasi
Penulis : Nezar Patria
Penerbit : Pojok Cerpen
Tebal : xiv + 205 hlm
Tahun Terbit : Juni, 2023
ISBN : 978-623-5869-15-5
“Di depan rumah, saya tercenung. Kampung-kampung
kami kini hilang. Tak ada catatan yang tersisa. Di antara puing-puing rumah,
saya mencari foto keluarga dan gambar-gambar yang merekam masa kecil. Tak ada
yang bisa ditemukan dari usaha sepanjang petang itu … Bau laut ini tercium
sampai ke bekas permukiman warga kota yang porak-poranda itu. Pahit. Saya
mendadak kehilangan ruang. Dan juga sejarah” (hal. 4-5).
Kutipan di atas adalah bagian terakhir artikel
pertama dari dua puluh sembilan artikel yang tersaji dalam buku “Sejarah Mati
di Kampung Kami” karya Nezar Patria, seorang aktivis, jurnalis dan juga
penyintas peristiwa penculikan 1998. Dalam artikel ini, Nezar mencoba
memberikan gambaran nyata tentang keperihan para korban bencana gempa tsunami
yang menghantam Aceh 19 tahun silam.
Dengan penuh penghayatan—dalam artikelnya yang
bertajuk “Sepotong Jalan Bertabur Azab”—Nezar juga menyajikan narasi yang bukan
saja memilukan, tapi mengerikan tentang bagaimana bencana itu menelan sejarah.
“Di Ujong Meuloh, yang turut terseret arus adalah sejarah, dan bahkan jejaknya
… misalnya di Lamno dan juga Lambeusoi, terkenal banyak warga Aceh keturunan
Portugis … keturunan mereka gampang dikenali. Umumnya berambut pirang dengan
bola mata biru … dia dan rekannya sudah menyisir sampai ke Lamno, mencari kalau
saja masih ada nona bermata biru yang selamat. Tapi tak seorang pun warga
berdarah Portugis itu ditemukan … mereka sudah punah di kawasan itu ….” (hal.
8-9).
Sebagai orang yang melihat langsung puing-puing itu
dua hari setelah air surut, saya tentu tidak kesulitan menangkap pesan
kesedihan dan kengerian yang digambarkan Nezar dalam buku ini. Saya menyaksikan
sendiri mayat-mayat terapung, pohon-pohon bertumbangan dan tumpukan sampah
menguasai kota. Bencana itu bukan saja meluluhlantakkan Aceh, tapi juga
mengubah sejarah di kemudian hari. Membaca tulisan Nezar; kenangan-kenangan itu
kembali mengambang dan mengapung dalam ingatan saya.
Di bagian lain, sisi kewartawanan seorang Nezar
kembali menyeruak ketika dia menceritakan kisah pembebasan Ferry Santoro, juru
kamera RCTI yang disandera GAM pada Juni 2003 di Bukit Peudawa Aceh Timur.
“Tersaruk-saruk saya mengikuti gerak kaki gerilwayan itu. Lampu senter hanya
boleh menyala sekilas. Menengok ke belakang, saya melihat bayang-bayang moncong
senapan mereka seperti lembing yang diacungkan” (hal. 43-44).
Dalam kondisi menegangkang seperti itu Nezar masih
bisa merekam setiap detail kejadian dengan sangat cermat. Dia menggunakan
seluruh indranya untuk menangkap setiap rentetan peristiwa dan fakta secara
jernih dan lalu menuliskannya dengan narasi yang sublim sehingga pembaca seolah
hadir dan merasaan sendiri kejadian di sana.
“Saya menelan ludah. Arloji saya menunjukkan pukul
2.30 pagi. Tiga setengah jam lagi, batas genjacatan senjata berakhir. Jek
menyuruh saya tidur sebentar, tapi mata saya tak bisa memicing. Suara nyamuk
berdenging. Saya teringat anak saya berusia tiga tahun dan istri yang tengah
hamil tiga bulan ….” (hal. 45).
Paragraf ini memberi penegasan pada pembaca tentang
bagaimana kecakapan Nezar meramu fakta berbasis ingatan dalam narasi yang penuh
emosi—yang secara psikologis membuat pembaca merasa terlibat dalam kisah yang
disajikan. Sebagai bekas wartawan Tempo, penulisan berita dengan teknik
penceritaan seperti ini tentunya tidak begitu menyulitkan bagi Nezar. Hampir
semua tulisannya menggunakan teknik jurnalisme naratif dengan pendekatan sastra
atau lebih tepatnya jurnalisme sastrawi. Genre ini diperkenalkan pertama kali
oleh Tom Wolfe, seorang wartawan dan novelis ternama yang lahir di Virginia.
Jurnalisme sastrawi bukan saja membuat berita memiliki daya pikat, tapi lebih
dari itu, memberi kesan mendalam bagi para pembaca.
Dengan gaya penulisan demikian, Nezar bukan saja
merekam kejadian-kejadian yang dialami dan ditemuinya di Aceh—tanah
kelahirannya—tapi dia nyaris mencatat semua peristiwa penting yang terjadi di
Republik ini, pra dan pascareformasi, di mana dia sendiri bukan saja bertindak
sebagai pencatat, tapi juga pelaku sejarah itu sendiri.
Hal ini tergambar ketika dia mengisahkan peristiwa
penculikan yang dialaminya pada 1998. “…saat itu mungkin matahari sudah
terbenam. Saya diam … kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak
seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya
berdoa agar jalan kematian ini tidak begitu menyakitkan ….” (hal. 191-192).
Nezar menulis ingatannya tersebut sepuluh tahun
kemudian, tepatnya pada 2008, dalam artikel yang bertajuk “Di Kuil Penyiksaan
Orde Baru.” Membaca bagian ini, pembaca pastinya akan bergidik, seolah kejadian
itu baru terjadi tempo hari. Dan, ini adalah khas Nezar Patria, wartawan
sekaligus penyair.
Dalam buku ini Nezar mencoba mengumpulkan
puing-puing sejarah yang pernah dialaminya sendiri sehingga dapatlah buku ini
disebut sebagai petite histoire yang tentunya tidak bisa lepas dari
narasi sejarah besar yang pernah terjadi di Indonesia dua dekade terakhir.
Sebagai karya antologi (berisi 29 esai), buku ini bisa dibaca secara random
sehingga bisa menghindarkan pembaca dari kejenuhan.
Saya nyaris gagal menemukan kekurangan buku ini kecuali pada pola penyusunan yang terlihat tidak sistematis. Harusnya tiga topik besar dalam buku ini: Aceh, jurnalisme dan demokrasi bisa diklasifikasikan dalam bab-bab tersendiri sehingga tampak lebih estetis. Namun, di luar kekurangan tersebut, penyajian data, fakta dan cerita dalam narasi yang artistik membuat buku ini memiliki “daya mistis” yang mampu memikat pembaca dari segala usia. Meskipun disajikan dalam bentuk jurnalisme sastrawi, kredibilitas dan akurasi konten dalam buku ini tetap terjaga karena penulisnya selalu mengedepankan etika jurnalistik dalam setiap tulisannya.
Artikel ini sudah terbit di Harian Jawa Pos pada 8 Juli 2023
Post a Comment