Ulama Sebagai “Komoditas” Politik?
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 10 Agustus 2018
Pilpres 2019 sudah di depan mata. Menghadapi perhelatan lima tahunan ini, “kegaduhan” politisi pun kian terasa. Tidak hanya di pusat Republik, tapi hampir di setiap pelosok negeri. Masing-masing pihak tampak berlomba untuk mengumpulkan simpati rakyat. Dengan berbagai “manuver”, mereka terbang melayang menabur pengaruh demi satu tujuan; kemenangan di Pilpres 2019.
Tampaknya Pilpres 2019 adalah rangkaian episode dari Pilpres 2014. Seolah ada banyak “PR” yang belum terselesaikan pada Pilpres 2014 sehingga melahirkan semacam “dendam politik” untuk kemudian dibalas pada Pilpres 2019. Dalam dunia demokrasi, khususnya di era reformasi, “persaingan” politik serupa ini adalah wajar belaka. Pihak yang menang biasanya larut dalam euforia, sementara pihak yang kalah terjebak duka lara.
Sampai saat ini, peta politik di Indonesia belum lagi berubah. Meskipun ada pergeseran-pergeseran kecil di sana-sini, khususnya terkait keberpihakan partai politik, tapi rivalitas yang terbangun masih berada pada dua kubu besar.
Sampai detik ini belum ada tanda-tanda akan hadirnya kubu alternatif yang akan mengalihkan simpati massa dari dua kubu besar yang telah “bertarung” sebelumnya. Tanpa terasa, Indonesia pun telah menjadi sedemikian “sempit” dengan hanya terpaku pada dua kekuatan tanpa kehadiran “kuda hitam.”
Seperti terpampang di banyak media, kekuatan besar perpolitikan Indonesia masih saja bergantung pada sosok Jokowi dan Prabowo. Sementara beberapa sosok yang ramai dimunculkan dan bahkan viral di media sosial hanya dihadirkan sebagai “pelengkap,” bukan sebagai aktor yang memiliki kekuatan real di pentas politik nasional. Artinya, capres sudah sedari awal dipastikan, yang dicari hanya cawapres.
Seperti halnya Pilpres 2014, pada pilpres kali ini tampaknya isu agama masih “laris manis” dan terlihat efektif untuk mendulang suara. Jika pada Pilpres 2014 isu agama hanya dimainkan dari kubu Prabowo, saat ini kubu Jokowi pun tampak sudah mulai mencoba strategi ini. Menyimak kondisi ini, bukan tidak mungkin kontestasi pada 2019 mendatang akan semakin “menggelikan.”
Perkembangan terakhir, Joko Widodo memutuskan berpasangan dengan Ma’ruf Amin, sementara Prabowo Subianto memilih Sandiaga Uno sebagai cawapres. Keduanya telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Jumat (10/08/18). Terlepas dari komposisi partai pengusung dan pendukung, yang jelas tidak ada hal baru yang bisa kita nikmati dalam Pilpres mendatang. Kita akan menyaksikan orang-orang yang sama dengan pola yang sama, seperti pernah tersuguhkan dalam Pilpres 2014 lalu.
Agama, Ulama dan Politik
Saya sepakat bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Hal ini tidak hanya menjadi teori, tapi telah menemukan wujudnya dalam kenyataan sejarah. Karena agama dan politik bersifat integral, maka keterlibatan ulama dalam politik pun tidak dapat dihindari, untuk tidak menyebut suatu kemestian. Di Indonesia sendiri, keterlibatan ulama dalam politik dapat dilacak dari jauh sebelum Republik ini berdiri.
Di era pra kemerdekaan kita mengenal Haji Oemar Said (H.O.S) Cokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam. Meskipun H.O.S Cokroaminoto tidak dikenal sebagai ulama, tapi ia adalah tokoh Islam yang terlibat aktif dalam gerakan politik di zaman kolonial. Di era Orde Lama, kita mengenal Mohd Natsir, seorang perdana menteri yang terkenal dengan mosi integralnya. Adakah yang dapat menyangkal keulamaan seorang Natsir?
Di masa Orde Baru, Soeharto juga tidak serta merta meninggalkan ulama dalam menjalankan aktivitas politiknya. Meskipun tidak dominan, di masa ini, ulama juga memainkan perannya di pentas politik. Terakhir, di era Reformasi: Gusdur adalah contoh paling unik untuk diajukan, di mana yang bersangkutan justru sukses menjabat sebagai Presiden di Republik ini.
Nama-nama disebut di atas hanya sekadar contoh. Tentunya masih ramai ulama lainnya yang terlibat aktif dalam percaturan politik di tanah air dari masa ke masa. Kenyataan ini tidak hanya terjadi di pentas nasional, tapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di Aceh misalnya, kita mengenal Teungku Muhammad Dawud Beureueh yang secara de facto menjadi pemimpin politik di Aceh sebelum dan menjelang kemerdekaan RI.
Dalam konteks kekinian, Tuan Guru Bajang, Gubernur NTB adalah contoh terbaru, di mana seorang ulama menguasai panggung politik. Fakta ini sekaligus menjadi jawaban bagi beberapa pihak yang mencoba membuat sekat antara ulama dan politik dengan argumen-argumen ahistoris.
Dari pentas sejarah, kita juga bisa belajar, bahwa keterlibatan ulama dalam politik dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk; sebagai aktor politik dan sebagai “alat” atau “komoditas” politik guna mendulang perolehan suara. Terlepas peran mana yang mereka ambil, yang jelas keterlibatan ulama dalam politik nasional adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah.
Dalam konteks kekinian, pada Pilpres 2014 misalnya, terlihat jelas pasangan Prabowo-Hatta saat itu terlihat “mendominasi” upaya pelibatan ulama plus isu agama dalam kampanye politik. Hal serupa juga dilakukan oleh pasangan Jokowi-Jk, walaupun dalam skala kecil. Slogan “Perang Badar” yang sempat menonjol dalam Pilpres 2014 menjadi penanda bahwa pasangan Prabowo-Hatta memang mendominasi penggunaan isu ini.
Namun demikian, menjelang Pilpres 2019, strategi Jokowi yang memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres tampaknya akan mengubah slogan “Perang Badar” menjadi “Perang Shiffin.”
Indikasi ini dapat dilihat dari “keseriusan” kedua belah kubu dalam merangkul keberpihakan ulama. Tapi, berbeda dari Pilpres 2014, “dominasi” isu agama tampaknya telah beralih ke kubu Jokowi-Ma’ruf. Sepintas terlihat ada anomali, tapi bisa saja ini adalah sebuah strategi dari Jokowi untuk “meredam” efektivitas isu agama yang akan dimainkan oleh kubu Prabowo.
Jika menyimak kondisi terkini, tampaknya komposisi capres dan cawapres yang baru saja mendaftarkan diri ke KPU akan berkonsekwensi pada dua keadaan; membuyarkan efektivitas isu agama dalam kampanye politik atau mungkin justru semakin memperuncing.
Kondisi ini tentunya sangat tergantung pada bagaimana kedua kubu memainkan isu-isu politik ke depan. Semakin “tidak bijaknya” kedua kubu dalam berpolitik, maka semakin terbelahlah umat Islam di Indonesia. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin kondisi ini akan berdampak pada tergerusnya ukhuwah Islamiyah sehingga umat akan terkotak-kotak dalam kubu politik yang terus “berseteru” tidak menenentu.
Semoga saja kontestasi politik dalam Pilpres 2019 berlangsung aman dan damai tanpa melahirkan luka sesama anak bangsa. Kita juga berharap agar keterlibatan ulama dalam kontestasi kali ini dapat mewarnai demokrasi kita ke arah lebih baik, bukan sekadar dijadikan sebagai “komoditas” politik pendulang suara.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan
Bireuen, 10 Agustus 2018
Pilpres 2019 sudah di depan mata. Menghadapi perhelatan lima tahunan ini, “kegaduhan” politisi pun kian terasa. Tidak hanya di pusat Republik, tapi hampir di setiap pelosok negeri. Masing-masing pihak tampak berlomba untuk mengumpulkan simpati rakyat. Dengan berbagai “manuver”, mereka terbang melayang menabur pengaruh demi satu tujuan; kemenangan di Pilpres 2019.
Tampaknya Pilpres 2019 adalah rangkaian episode dari Pilpres 2014. Seolah ada banyak “PR” yang belum terselesaikan pada Pilpres 2014 sehingga melahirkan semacam “dendam politik” untuk kemudian dibalas pada Pilpres 2019. Dalam dunia demokrasi, khususnya di era reformasi, “persaingan” politik serupa ini adalah wajar belaka. Pihak yang menang biasanya larut dalam euforia, sementara pihak yang kalah terjebak duka lara.
Sampai saat ini, peta politik di Indonesia belum lagi berubah. Meskipun ada pergeseran-pergeseran kecil di sana-sini, khususnya terkait keberpihakan partai politik, tapi rivalitas yang terbangun masih berada pada dua kubu besar.
Sampai detik ini belum ada tanda-tanda akan hadirnya kubu alternatif yang akan mengalihkan simpati massa dari dua kubu besar yang telah “bertarung” sebelumnya. Tanpa terasa, Indonesia pun telah menjadi sedemikian “sempit” dengan hanya terpaku pada dua kekuatan tanpa kehadiran “kuda hitam.”
Seperti terpampang di banyak media, kekuatan besar perpolitikan Indonesia masih saja bergantung pada sosok Jokowi dan Prabowo. Sementara beberapa sosok yang ramai dimunculkan dan bahkan viral di media sosial hanya dihadirkan sebagai “pelengkap,” bukan sebagai aktor yang memiliki kekuatan real di pentas politik nasional. Artinya, capres sudah sedari awal dipastikan, yang dicari hanya cawapres.
Seperti halnya Pilpres 2014, pada pilpres kali ini tampaknya isu agama masih “laris manis” dan terlihat efektif untuk mendulang suara. Jika pada Pilpres 2014 isu agama hanya dimainkan dari kubu Prabowo, saat ini kubu Jokowi pun tampak sudah mulai mencoba strategi ini. Menyimak kondisi ini, bukan tidak mungkin kontestasi pada 2019 mendatang akan semakin “menggelikan.”
Perkembangan terakhir, Joko Widodo memutuskan berpasangan dengan Ma’ruf Amin, sementara Prabowo Subianto memilih Sandiaga Uno sebagai cawapres. Keduanya telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Jumat (10/08/18). Terlepas dari komposisi partai pengusung dan pendukung, yang jelas tidak ada hal baru yang bisa kita nikmati dalam Pilpres mendatang. Kita akan menyaksikan orang-orang yang sama dengan pola yang sama, seperti pernah tersuguhkan dalam Pilpres 2014 lalu.
Agama, Ulama dan Politik
Saya sepakat bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Hal ini tidak hanya menjadi teori, tapi telah menemukan wujudnya dalam kenyataan sejarah. Karena agama dan politik bersifat integral, maka keterlibatan ulama dalam politik pun tidak dapat dihindari, untuk tidak menyebut suatu kemestian. Di Indonesia sendiri, keterlibatan ulama dalam politik dapat dilacak dari jauh sebelum Republik ini berdiri.
Di era pra kemerdekaan kita mengenal Haji Oemar Said (H.O.S) Cokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam. Meskipun H.O.S Cokroaminoto tidak dikenal sebagai ulama, tapi ia adalah tokoh Islam yang terlibat aktif dalam gerakan politik di zaman kolonial. Di era Orde Lama, kita mengenal Mohd Natsir, seorang perdana menteri yang terkenal dengan mosi integralnya. Adakah yang dapat menyangkal keulamaan seorang Natsir?
Di masa Orde Baru, Soeharto juga tidak serta merta meninggalkan ulama dalam menjalankan aktivitas politiknya. Meskipun tidak dominan, di masa ini, ulama juga memainkan perannya di pentas politik. Terakhir, di era Reformasi: Gusdur adalah contoh paling unik untuk diajukan, di mana yang bersangkutan justru sukses menjabat sebagai Presiden di Republik ini.
Nama-nama disebut di atas hanya sekadar contoh. Tentunya masih ramai ulama lainnya yang terlibat aktif dalam percaturan politik di tanah air dari masa ke masa. Kenyataan ini tidak hanya terjadi di pentas nasional, tapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di Aceh misalnya, kita mengenal Teungku Muhammad Dawud Beureueh yang secara de facto menjadi pemimpin politik di Aceh sebelum dan menjelang kemerdekaan RI.
Dalam konteks kekinian, Tuan Guru Bajang, Gubernur NTB adalah contoh terbaru, di mana seorang ulama menguasai panggung politik. Fakta ini sekaligus menjadi jawaban bagi beberapa pihak yang mencoba membuat sekat antara ulama dan politik dengan argumen-argumen ahistoris.
Dari pentas sejarah, kita juga bisa belajar, bahwa keterlibatan ulama dalam politik dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk; sebagai aktor politik dan sebagai “alat” atau “komoditas” politik guna mendulang perolehan suara. Terlepas peran mana yang mereka ambil, yang jelas keterlibatan ulama dalam politik nasional adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah.
Dalam konteks kekinian, pada Pilpres 2014 misalnya, terlihat jelas pasangan Prabowo-Hatta saat itu terlihat “mendominasi” upaya pelibatan ulama plus isu agama dalam kampanye politik. Hal serupa juga dilakukan oleh pasangan Jokowi-Jk, walaupun dalam skala kecil. Slogan “Perang Badar” yang sempat menonjol dalam Pilpres 2014 menjadi penanda bahwa pasangan Prabowo-Hatta memang mendominasi penggunaan isu ini.
Namun demikian, menjelang Pilpres 2019, strategi Jokowi yang memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres tampaknya akan mengubah slogan “Perang Badar” menjadi “Perang Shiffin.”
Indikasi ini dapat dilihat dari “keseriusan” kedua belah kubu dalam merangkul keberpihakan ulama. Tapi, berbeda dari Pilpres 2014, “dominasi” isu agama tampaknya telah beralih ke kubu Jokowi-Ma’ruf. Sepintas terlihat ada anomali, tapi bisa saja ini adalah sebuah strategi dari Jokowi untuk “meredam” efektivitas isu agama yang akan dimainkan oleh kubu Prabowo.
Jika menyimak kondisi terkini, tampaknya komposisi capres dan cawapres yang baru saja mendaftarkan diri ke KPU akan berkonsekwensi pada dua keadaan; membuyarkan efektivitas isu agama dalam kampanye politik atau mungkin justru semakin memperuncing.
Kondisi ini tentunya sangat tergantung pada bagaimana kedua kubu memainkan isu-isu politik ke depan. Semakin “tidak bijaknya” kedua kubu dalam berpolitik, maka semakin terbelahlah umat Islam di Indonesia. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin kondisi ini akan berdampak pada tergerusnya ukhuwah Islamiyah sehingga umat akan terkotak-kotak dalam kubu politik yang terus “berseteru” tidak menenentu.
Semoga saja kontestasi politik dalam Pilpres 2019 berlangsung aman dan damai tanpa melahirkan luka sesama anak bangsa. Kita juga berharap agar keterlibatan ulama dalam kontestasi kali ini dapat mewarnai demokrasi kita ke arah lebih baik, bukan sekadar dijadikan sebagai “komoditas” politik pendulang suara.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan
loading...
Post a Comment