Syariat Islam dan Keteladanan
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 11 September 2018
Baru-baru ini masyarakat Bireuen dihebohkan dengan beredarnya “selebaran” yang memuat beberapa poin terkait standarisasi café dan restoran sesuai syariat Islam. Selebaran yang ditandatangani oleh Bupati Bireuen itu telah melahirkan “polemik,” tidak hanya di Bireuen tetapi juga di seluruh Aceh. Bahkan informasi ini juga menjadi perbincangan di tingkat nasional. Dalam skala yang lebih luas, imbauan ini telah pula dirilis oleh beberapa media luar negeri.
Sampai saat ini pro-kontra masih terus berlangsung dan membelah publik pada dua kutub berlawanan; menolak dan menerima. Sebagian masyarakat tampak sepakat dengan keseluruhan poin yang terdapat dalam imbauan tersebut. Sementara sebagian lainnya menolak, tepatnya mengkritisi beberapa poin yang dianggap janggal dan tidak rasional. Saya sendiri berada di pihak disebut terakhir.
Secara prinsip, kita sepakat bahwa imbauan tersebut dilatari oleh niat baik Bupati Bireuen guna merealisasikan penerapan syariat Islam di wilayahnya. Apa yang dilakukan oleh Bupati Bireuen adalah tanggungjawabnya sebagai seorang pemimpin. Dalam konteks ini kita menyambut baik usaha tersebut dan bahkan memberikan apresiasi setinggi-tingginya karena telah menggunakan kekuasannya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di Kabupaten Bireuen.
Namun di sebalik itu, sebagai sebuah hasil pemikiran, seharusnya imbauan tersebut dilahirkan melalui proses kajian dan “uji akademik” sehingga redaksi yang dihasilkan dalam imbauan ini tidak bias, multi-tafsir dan merugikan pihak tertentu, khususnya pedagang dan perempuan yang menjadi “sasaran” langsung dari imbauan tersebut.
Sebagai contoh, poin yang mengimbau agar warung tutup pukul 24.00 Wib. Poin ini sulit dimengerti dan terlalu dipaksakan sehingga jika diterapkan akan berdampak pada kerugian di pihak pedagang yang beroperasi 24 jam (siang-malam) seperti di Kota Matangglumpangdua dan Kota Bireuen. Sebagaimana diketahui, Bireuen sendiri adalah kota transit yang menjadi tempat singgah bus, minibus dan angkutan lintas Sumatera.
Seandainya imbauan ini nantinya diterapkan tentu akan berkonsekuensi pada lumpuhnya perekonomian pengusaha warung di Kabupaten Bireuen yang juga dikenal sebagai kota dagang. Jika ini terjadi, maka persoalan baru pun akan muncul. Dengan demikian tidak selayaknya Pemkab Bireuen mengeluarkan aturan (sekarang masih imbauan) yang tampak bertubrukan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Jika alasannya untuk penertiban dan penegakan syariat, maka harus ditempuh langkah-langkah yang elegan dan tidak melakukan generalisasi sehingga menimbulkan kesan bahwa seluruh warung di Bireuen adalah tempat maksiat.
Pada prinsipnya kita tidak meremehkan, apalagi menolak penerapan standarisasi cafe dan warung sesuai syariat Islam selama aturan itu lahir dari hasil kajian yang mendalam dan holistik, bukan sekadar pencitraan politik yang bersembunyi di balik kesucian syariat Ilahi.
Keteladanan
Diakui atau pun tidak, sejak tahun 2001, ketika syariat Islam di Aceh diformalisasikan dan kendali penerapannya dipegang oleh negara, yang menjadi objek utama masih tertumpu pada masyarakat lapisan bawah, sementara di kalangan elite, khususnya dalam birokrasi pemerintahan, syariat sama sekali belum menemukan wujudnya. Sampai saat ini belum ada satu pun institusi pemerintah di Aceh yang dapat disebut “sesuai syariat” – sebuah frasa abstrak plus ambigu yang selalu diulang-ulang.
Sampai saat ini, penegakan syariat Islam di Aceh masih terkesan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. “Kita mulai dari hal-hal kecil” adalah jargon abadi–yang tanpa disadari, atau mungkin disengaja–telah memberi peluang bagi munculnya aksi-aksi dikriminatif yang “menundukkan” publik putoeh-pruet di tengah euforia elite yang terus “haha-hihi.”
Jika jargon tersebut terus dipertahankan, maka sampai bumi ini “digulung,” mimpi untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah tidak akan pernah menemukan wujudnya di Aceh.
Syariat Islam yang suci hanya akan menjadi alat membangun pencitraan dan meneguhkan kekuasaan politik. Jargon “kita mulai dari bawah dulu” akan terus memenjara syariat Islam di Aceh hanya dalam euforia dan bersuka-ria ketika punggung rakyat kecil dipecut cemeti di panggung eksekusi.
Jika kita ingin syariat tegak di bumi Aceh seperti tegaknya tiang pancang di kubangan lumpur, maka jargon kedaluarsa itu harus diubah. Jika tidak, maka rakyat kecil akan terus menjadi objek abadi dari frasa “sesuai syariat.”
Selama ini, kita bisa menyaksikan sendiri ketika qanun syariat diterapkan, yang pertama sekali disasar adalah rakyat kecil. Sepanjang 17 tahun pelaksanaan qanun syariat Islam di Aceh, selalu saja penerapannya dimulai dari bawah, bawah dan bawah. Belum pernah sekali pun penerapan syariat itu diawali dari atas.
Penerapan qanun syariat yang dimulai dari bawah adalah strategi klasik yang sudah terbukti gagal, setidaknya dalam 17 tahun terakhir. Dengan demikian, sudah semestinya pola penegakan syariat Islam di Aceh diubah dengan memulainya dari atas melalui proses peneladanan. Dalam hal ini, pemerintah dan elite politik lokal di Aceh harus menjadi pelopor dalam menciptakan “suasana syariat” di lingkungannya masing-masing, bukan justru penjadi pelopor selebaran, edaran, imbauan dan pengumuman yang sama sekali tidak efektif dan menjadi bahan tertawaan.
Kesuksesan penegakan qanun syariat Islam di Aceh tidak hanya bergantung pada ketaatan rakyat, tapi juga pada keteladanan pemimpin. Keteladanan ini akan menemukan wujudnya dalam setiap sikap dan tingkah laku pemimpin itu sendiri. Apakah ia sudah memakmurkan rakyatnya sesuai syariat? Apakah ia sudah membebaskan rakyat dari kemiskinan sesuai tuntunan syariat? Apakah birokrasi yang dipimpinnya sudah tersyariatkan? Apakah perilaku koruptif sudah ditumpas sesuai ajaran syariat? Apakah praktik fee proyek sudah dibasmi sebagaimana diperintahkan syariat? Jika semua itu sudah dilakukan, maka tanpa imbauan pun, syariat akan tersemai di seluruh Aceh, sebab pemimpin telah memulainya melalui peneladanan.
Terkait peneladanan ini, Nabi sudah memulainya sejak 1440 tahun lalu. Jadi, sampai kapan kita terus memulainya dari bawah? Mari berhijrah dari pola “tekanan” ke pola peneladanan! Selamat tahun baru Hijrah!
Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia
Foto: mawdoo3.com |
Bireuen, 11 September 2018
Baru-baru ini masyarakat Bireuen dihebohkan dengan beredarnya “selebaran” yang memuat beberapa poin terkait standarisasi café dan restoran sesuai syariat Islam. Selebaran yang ditandatangani oleh Bupati Bireuen itu telah melahirkan “polemik,” tidak hanya di Bireuen tetapi juga di seluruh Aceh. Bahkan informasi ini juga menjadi perbincangan di tingkat nasional. Dalam skala yang lebih luas, imbauan ini telah pula dirilis oleh beberapa media luar negeri.
Sampai saat ini pro-kontra masih terus berlangsung dan membelah publik pada dua kutub berlawanan; menolak dan menerima. Sebagian masyarakat tampak sepakat dengan keseluruhan poin yang terdapat dalam imbauan tersebut. Sementara sebagian lainnya menolak, tepatnya mengkritisi beberapa poin yang dianggap janggal dan tidak rasional. Saya sendiri berada di pihak disebut terakhir.
Secara prinsip, kita sepakat bahwa imbauan tersebut dilatari oleh niat baik Bupati Bireuen guna merealisasikan penerapan syariat Islam di wilayahnya. Apa yang dilakukan oleh Bupati Bireuen adalah tanggungjawabnya sebagai seorang pemimpin. Dalam konteks ini kita menyambut baik usaha tersebut dan bahkan memberikan apresiasi setinggi-tingginya karena telah menggunakan kekuasannya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di Kabupaten Bireuen.
Namun di sebalik itu, sebagai sebuah hasil pemikiran, seharusnya imbauan tersebut dilahirkan melalui proses kajian dan “uji akademik” sehingga redaksi yang dihasilkan dalam imbauan ini tidak bias, multi-tafsir dan merugikan pihak tertentu, khususnya pedagang dan perempuan yang menjadi “sasaran” langsung dari imbauan tersebut.
Sebagai contoh, poin yang mengimbau agar warung tutup pukul 24.00 Wib. Poin ini sulit dimengerti dan terlalu dipaksakan sehingga jika diterapkan akan berdampak pada kerugian di pihak pedagang yang beroperasi 24 jam (siang-malam) seperti di Kota Matangglumpangdua dan Kota Bireuen. Sebagaimana diketahui, Bireuen sendiri adalah kota transit yang menjadi tempat singgah bus, minibus dan angkutan lintas Sumatera.
Seandainya imbauan ini nantinya diterapkan tentu akan berkonsekuensi pada lumpuhnya perekonomian pengusaha warung di Kabupaten Bireuen yang juga dikenal sebagai kota dagang. Jika ini terjadi, maka persoalan baru pun akan muncul. Dengan demikian tidak selayaknya Pemkab Bireuen mengeluarkan aturan (sekarang masih imbauan) yang tampak bertubrukan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Jika alasannya untuk penertiban dan penegakan syariat, maka harus ditempuh langkah-langkah yang elegan dan tidak melakukan generalisasi sehingga menimbulkan kesan bahwa seluruh warung di Bireuen adalah tempat maksiat.
Pada prinsipnya kita tidak meremehkan, apalagi menolak penerapan standarisasi cafe dan warung sesuai syariat Islam selama aturan itu lahir dari hasil kajian yang mendalam dan holistik, bukan sekadar pencitraan politik yang bersembunyi di balik kesucian syariat Ilahi.
Keteladanan
Diakui atau pun tidak, sejak tahun 2001, ketika syariat Islam di Aceh diformalisasikan dan kendali penerapannya dipegang oleh negara, yang menjadi objek utama masih tertumpu pada masyarakat lapisan bawah, sementara di kalangan elite, khususnya dalam birokrasi pemerintahan, syariat sama sekali belum menemukan wujudnya. Sampai saat ini belum ada satu pun institusi pemerintah di Aceh yang dapat disebut “sesuai syariat” – sebuah frasa abstrak plus ambigu yang selalu diulang-ulang.
Sampai saat ini, penegakan syariat Islam di Aceh masih terkesan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. “Kita mulai dari hal-hal kecil” adalah jargon abadi–yang tanpa disadari, atau mungkin disengaja–telah memberi peluang bagi munculnya aksi-aksi dikriminatif yang “menundukkan” publik putoeh-pruet di tengah euforia elite yang terus “haha-hihi.”
Jika jargon tersebut terus dipertahankan, maka sampai bumi ini “digulung,” mimpi untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah tidak akan pernah menemukan wujudnya di Aceh.
Syariat Islam yang suci hanya akan menjadi alat membangun pencitraan dan meneguhkan kekuasaan politik. Jargon “kita mulai dari bawah dulu” akan terus memenjara syariat Islam di Aceh hanya dalam euforia dan bersuka-ria ketika punggung rakyat kecil dipecut cemeti di panggung eksekusi.
Jika kita ingin syariat tegak di bumi Aceh seperti tegaknya tiang pancang di kubangan lumpur, maka jargon kedaluarsa itu harus diubah. Jika tidak, maka rakyat kecil akan terus menjadi objek abadi dari frasa “sesuai syariat.”
Selama ini, kita bisa menyaksikan sendiri ketika qanun syariat diterapkan, yang pertama sekali disasar adalah rakyat kecil. Sepanjang 17 tahun pelaksanaan qanun syariat Islam di Aceh, selalu saja penerapannya dimulai dari bawah, bawah dan bawah. Belum pernah sekali pun penerapan syariat itu diawali dari atas.
Penerapan qanun syariat yang dimulai dari bawah adalah strategi klasik yang sudah terbukti gagal, setidaknya dalam 17 tahun terakhir. Dengan demikian, sudah semestinya pola penegakan syariat Islam di Aceh diubah dengan memulainya dari atas melalui proses peneladanan. Dalam hal ini, pemerintah dan elite politik lokal di Aceh harus menjadi pelopor dalam menciptakan “suasana syariat” di lingkungannya masing-masing, bukan justru penjadi pelopor selebaran, edaran, imbauan dan pengumuman yang sama sekali tidak efektif dan menjadi bahan tertawaan.
Kesuksesan penegakan qanun syariat Islam di Aceh tidak hanya bergantung pada ketaatan rakyat, tapi juga pada keteladanan pemimpin. Keteladanan ini akan menemukan wujudnya dalam setiap sikap dan tingkah laku pemimpin itu sendiri. Apakah ia sudah memakmurkan rakyatnya sesuai syariat? Apakah ia sudah membebaskan rakyat dari kemiskinan sesuai tuntunan syariat? Apakah birokrasi yang dipimpinnya sudah tersyariatkan? Apakah perilaku koruptif sudah ditumpas sesuai ajaran syariat? Apakah praktik fee proyek sudah dibasmi sebagaimana diperintahkan syariat? Jika semua itu sudah dilakukan, maka tanpa imbauan pun, syariat akan tersemai di seluruh Aceh, sebab pemimpin telah memulainya melalui peneladanan.
Terkait peneladanan ini, Nabi sudah memulainya sejak 1440 tahun lalu. Jadi, sampai kapan kita terus memulainya dari bawah? Mari berhijrah dari pola “tekanan” ke pola peneladanan! Selamat tahun baru Hijrah!
Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia
loading...
Post a Comment