Indonesia dan Pahlawan “Ketiduran”
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 24 Juli 2014
Beberapa waktu lalu, nama Lalu Muhammad Zohri semakin dikenal di Indonesia. Berkat bantuan media sosial, kemenangannya dalam Kejuaraan Dunia Atletik pada ajang lari 100 meter U20 di Finlandia tersebar luas dengan begitu cepat. Awalnya, informasi tentang sosok Zohri sempat viral di media sosial. Dalam video yang dishare netizen tersebut terlihat kondisi kediaman Zohri yang sama sekali “tidak layak” dan memprihatinkan. Bermula dari video inilah “emosi” warganet terpantik untuk kemudian memberi dukungan moril kepada atlet lari (sprint) ini melalui aksi share dan share di media sosial.
Setelah informasi tentang sosok yang diketahui sebagai yatim-piatu ini tersebar luas, barulah kemudian simpati demi simpati berdatangan. Dukungan demi dukungan pun tumpah ruah di media sosial. Semuanya tampak memberi semangat dan menyatakan kesedihannya terhadap kondisi Zohri yang dianggap kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Menyimak “diskusi” yang berkembang di media sosial, kurangnya perhatian terhadap prestasi yang dicapai Zohri dalam Kejuaraan Atletik Dunia ini disebabkan oleh fokus publik yang tertuju pada ajang Piala Dunia 2018. Setidaknya demikianlah informasi yang berkembang di media sosial. Namun, kita tidak tahu, apakah alasan ini menjadi relevan untuk diajukan di tengah pesatnya teknologi informasi seperti sekarang ini. Bahkan, media sebagai “pemburu” informasi, pada awalnya juga terlihat “absen” sehingga pemberitaan terhadap sang juara pun tampak luput dari pantauan. Padahal, seperti disebut sejumlah media (kemudian), di antaranya Kompas (12/07/2018) prestasi ini pertama sekali diperoleh Indonesia.
Uniknya, pasca informasi tentang Zohri menyebar, banyak pihak, khususnya dari kalangan pemerintah dan politisi yang ikut nimbrung guna menyemarakkan situasi. Mereka tampak berlomba-lomba memberikan perhatiannya kepada pemuda dari NTB ini. Mereka menyatakan bersimpati atas nasib Zohri yang hidup serba kekurangan dengan kondisi rumah yang tak layak huni. Kononnya mereka turut berbangga dengan keberhasilan Zohri dalam mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional. Namun kita tidak pernah tahu, apakah simpati dari kalangan ini dilatari oleh semangat nasionalisme, belas kasihan atau sekadar pencitraan belaka.
Seperti dikabarkan media, beberapa kalangan “mendadak” berkunjung ke kediaman Zohri yang selama ini hidup bersama kakaknya. Melihat kondisi rumah yang terbuat dari papan rapuh, mereka mengaku iba dan bahkan larut dalam kesedihan yang entah muncul dari kesadaran atau justru “dibuat-buat.”
Guna menyikapi “kesedihan” itu, beberapa kalangan, sebagaimana dikabarkan media, juga tampak berebut untuk membangun rumah yang didiami Lalu Muhammad Zohri, di antaranya Mendagri, Tjahjo Kumolo, Pemkab Lombok Utara, TNI AD dan Presiden Jokowi. Tidak hanya itu, kononnya lagi, beberapa kalangan juga menawarkan Zohri untuk menjadi anggota TNI dan PNS.
Semua pihak tentu patut mengapresiasi wujud perhatian yang coba diperlihatkan oleh beberapa kalangan di tanah air terhadap Zohri. Dalam kondisinya yang demikian, Zohri memang telah sukses menarik perhatian publik. Tidak hanya dari kalangan politisi dan pemerintah, tapi juga dari da’i semisal Adi Hidayat yang menjanjikan membiayai ibadah umrah Zohri dan keluarganya.
Namun di sebalik itu, kita sangat menyayangkan ketika kesuksesan Zohri dimanfaatkan oleh sebagian oknum politisi untuk kepentingan “panggung” mereka. Bukan tidak mungkin perhatian mereka tidak ditujukan kepada Zohri belaka, tapi sebagai bentuk show kepada publik demi kepentingan pragmatis mereka sendiri. Kita bukannya berburuk sangka kepada oknum politisi di tanah air, tapi ini adalah bentuk “kecurigaan” yang wajar di tengah kondisi politik praktis di negeri kita yang tidak menentu. Tentu, kita tidak berharap jika Zohri menjadi sasaran “eksploitasi” bagi kepentingan politik kalangan tertentu.
Terlepas dari apa yang terjadi, saya melihat ada beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari peristiwa Zohri yang viral baru-baru ini. Ke depan, pemerintah harus menaruh perhatian serius dalam pembinaan olah raga di tanah air dan tidak menjadikan ajang ini hanya sebagai medium pencitraan.
Perhatian kepada atlet juga harus diutamakan agar prestasi mereka dalam mengharumkan nama Indonesia tidak sia-sia belaka dan terkesan tidak dihargai. Siapa pun yang menoreh prestasi di negeri ini, khususnya di pentas internasional harus diapresiasi secara serius oleh pemerintah. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri tanpa dukungan konkret dari negara.
Tidak hanya memberikan reward “ilusi” berupa ucapan selamat, tapi pemerintah juga harus benar-benar memperhatikan kondisi mereka yang telah berjasa mengangkat nama Indonesia di mata dunia. Lihat saja Zohri misalnya, dengan segudang prestasi yang diperolehnya selama ini, dia “dibiarkan” berjuang sendiri untuk menjalani kehidupannya yang “memprihatinkan,” untuk tidak menyebut “menyedihkan.”
Pemerintah dan politisi di negeri ini sudah selayaknya turut berkontribusi dalam melahirkan sosok-sosok hebat dan berprestasi, bukan justru larut dalam “cekcok” tak berkesudahan antar politisi dalam memperebutkan panggung politik. Kondisi “cekcok” ini jika terus berlarut-larut tanpa disadari akan berdampak pada terabaikannya potensi anak negeri.
Tentu akan menjadi aneh, ketika pemerintah dan para politisi di negeri ini baru terkejut atau mungkin “pura-pura” terkejut ketika putra-putri terbaik kita terlihat viral di media sosial. Memberikan perhatian kepada anak negeri setelah viral sama sekali akan kehilangan makna dan terkesan hanya basa-basi belaka.
Apa yang dialami oleh Zohri bukanlah peristiwa pertama. Zohri hanya contoh terbaru yang sukses menarik perhatian publik. Kita meyakini masih banyak Zohri lain di negeri ini yang luput dari perhatian dan apresiasi. Untuk ke depan kita berharap, tidak ada lagi pahlawan “ketiduran” di Indonesia yang baru muncul ketika semuanya menjadi viral.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
Foto: bbc.com |
Bireuen, 24 Juli 2014
Beberapa waktu lalu, nama Lalu Muhammad Zohri semakin dikenal di Indonesia. Berkat bantuan media sosial, kemenangannya dalam Kejuaraan Dunia Atletik pada ajang lari 100 meter U20 di Finlandia tersebar luas dengan begitu cepat. Awalnya, informasi tentang sosok Zohri sempat viral di media sosial. Dalam video yang dishare netizen tersebut terlihat kondisi kediaman Zohri yang sama sekali “tidak layak” dan memprihatinkan. Bermula dari video inilah “emosi” warganet terpantik untuk kemudian memberi dukungan moril kepada atlet lari (sprint) ini melalui aksi share dan share di media sosial.
Setelah informasi tentang sosok yang diketahui sebagai yatim-piatu ini tersebar luas, barulah kemudian simpati demi simpati berdatangan. Dukungan demi dukungan pun tumpah ruah di media sosial. Semuanya tampak memberi semangat dan menyatakan kesedihannya terhadap kondisi Zohri yang dianggap kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Menyimak “diskusi” yang berkembang di media sosial, kurangnya perhatian terhadap prestasi yang dicapai Zohri dalam Kejuaraan Atletik Dunia ini disebabkan oleh fokus publik yang tertuju pada ajang Piala Dunia 2018. Setidaknya demikianlah informasi yang berkembang di media sosial. Namun, kita tidak tahu, apakah alasan ini menjadi relevan untuk diajukan di tengah pesatnya teknologi informasi seperti sekarang ini. Bahkan, media sebagai “pemburu” informasi, pada awalnya juga terlihat “absen” sehingga pemberitaan terhadap sang juara pun tampak luput dari pantauan. Padahal, seperti disebut sejumlah media (kemudian), di antaranya Kompas (12/07/2018) prestasi ini pertama sekali diperoleh Indonesia.
Uniknya, pasca informasi tentang Zohri menyebar, banyak pihak, khususnya dari kalangan pemerintah dan politisi yang ikut nimbrung guna menyemarakkan situasi. Mereka tampak berlomba-lomba memberikan perhatiannya kepada pemuda dari NTB ini. Mereka menyatakan bersimpati atas nasib Zohri yang hidup serba kekurangan dengan kondisi rumah yang tak layak huni. Kononnya mereka turut berbangga dengan keberhasilan Zohri dalam mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional. Namun kita tidak pernah tahu, apakah simpati dari kalangan ini dilatari oleh semangat nasionalisme, belas kasihan atau sekadar pencitraan belaka.
Seperti dikabarkan media, beberapa kalangan “mendadak” berkunjung ke kediaman Zohri yang selama ini hidup bersama kakaknya. Melihat kondisi rumah yang terbuat dari papan rapuh, mereka mengaku iba dan bahkan larut dalam kesedihan yang entah muncul dari kesadaran atau justru “dibuat-buat.”
Guna menyikapi “kesedihan” itu, beberapa kalangan, sebagaimana dikabarkan media, juga tampak berebut untuk membangun rumah yang didiami Lalu Muhammad Zohri, di antaranya Mendagri, Tjahjo Kumolo, Pemkab Lombok Utara, TNI AD dan Presiden Jokowi. Tidak hanya itu, kononnya lagi, beberapa kalangan juga menawarkan Zohri untuk menjadi anggota TNI dan PNS.
Semua pihak tentu patut mengapresiasi wujud perhatian yang coba diperlihatkan oleh beberapa kalangan di tanah air terhadap Zohri. Dalam kondisinya yang demikian, Zohri memang telah sukses menarik perhatian publik. Tidak hanya dari kalangan politisi dan pemerintah, tapi juga dari da’i semisal Adi Hidayat yang menjanjikan membiayai ibadah umrah Zohri dan keluarganya.
Namun di sebalik itu, kita sangat menyayangkan ketika kesuksesan Zohri dimanfaatkan oleh sebagian oknum politisi untuk kepentingan “panggung” mereka. Bukan tidak mungkin perhatian mereka tidak ditujukan kepada Zohri belaka, tapi sebagai bentuk show kepada publik demi kepentingan pragmatis mereka sendiri. Kita bukannya berburuk sangka kepada oknum politisi di tanah air, tapi ini adalah bentuk “kecurigaan” yang wajar di tengah kondisi politik praktis di negeri kita yang tidak menentu. Tentu, kita tidak berharap jika Zohri menjadi sasaran “eksploitasi” bagi kepentingan politik kalangan tertentu.
Terlepas dari apa yang terjadi, saya melihat ada beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari peristiwa Zohri yang viral baru-baru ini. Ke depan, pemerintah harus menaruh perhatian serius dalam pembinaan olah raga di tanah air dan tidak menjadikan ajang ini hanya sebagai medium pencitraan.
Perhatian kepada atlet juga harus diutamakan agar prestasi mereka dalam mengharumkan nama Indonesia tidak sia-sia belaka dan terkesan tidak dihargai. Siapa pun yang menoreh prestasi di negeri ini, khususnya di pentas internasional harus diapresiasi secara serius oleh pemerintah. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri tanpa dukungan konkret dari negara.
Tidak hanya memberikan reward “ilusi” berupa ucapan selamat, tapi pemerintah juga harus benar-benar memperhatikan kondisi mereka yang telah berjasa mengangkat nama Indonesia di mata dunia. Lihat saja Zohri misalnya, dengan segudang prestasi yang diperolehnya selama ini, dia “dibiarkan” berjuang sendiri untuk menjalani kehidupannya yang “memprihatinkan,” untuk tidak menyebut “menyedihkan.”
Pemerintah dan politisi di negeri ini sudah selayaknya turut berkontribusi dalam melahirkan sosok-sosok hebat dan berprestasi, bukan justru larut dalam “cekcok” tak berkesudahan antar politisi dalam memperebutkan panggung politik. Kondisi “cekcok” ini jika terus berlarut-larut tanpa disadari akan berdampak pada terabaikannya potensi anak negeri.
Tentu akan menjadi aneh, ketika pemerintah dan para politisi di negeri ini baru terkejut atau mungkin “pura-pura” terkejut ketika putra-putri terbaik kita terlihat viral di media sosial. Memberikan perhatian kepada anak negeri setelah viral sama sekali akan kehilangan makna dan terkesan hanya basa-basi belaka.
Apa yang dialami oleh Zohri bukanlah peristiwa pertama. Zohri hanya contoh terbaru yang sukses menarik perhatian publik. Kita meyakini masih banyak Zohri lain di negeri ini yang luput dari perhatian dan apresiasi. Untuk ke depan kita berharap, tidak ada lagi pahlawan “ketiduran” di Indonesia yang baru muncul ketika semuanya menjadi viral.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment