Sulu Bayung
Oleh: Tin Miswary
Aku terlahir dalam keluarga terpandang di kampungku. Ayahku seorang alim lagi masyhur dan ibuku seorang wanita terhormat yang hingga usia tuanya masih terlihat bersemangat mengajarkan anak-anak perempuan mengaji. Konon kakekku juga seorang alim besar yang namanya telah diabadikan menjadi nama masjid di kampung kami.
Sewaktu sebatang kayu bulat panjang yang diyakini jatuh dari langit itu terdampar di pantai Jangkar, kakekku adalah satu-satunya orang yang berhasil mengangkat kayu yang cukup berat itu. Kakekku mengangat sendiri batang kayu itu dan dibawanya ke kampung kami.
Menurut kesaksian ayahku, batang kayu misterius itu sudah terdampar berbulan-bulan di pantai. Bahkan tidak seorang pun mampu menggesernya ke tepi sampai akhirnya kakekku muncul.
Sejak pertama ditemukan kayu itu telah terukir dengan kaligrafi yang cukup panjang. Ukiran itu menggunakan khat unik yang tak mampu dibaca oleh orang-orang kampung kami. Tapi kakekku yakin ukiran itu adalah tulisan kalimat syahadat.
Orang-orang kampung kami, tak terkecuali kakekku meyakini kayu itu jatuh dari langit pada malam bulan Ramadan. Karenanya kayu itu pun dianggap keramat. Cerita tentang keramatnya kayu ini juga dikuatkan oleh kesaksian seorang nelayan kepada kakekku, kemudian cerita itu diwariskan pada ayahku.
“Malam itu tak seekor ikan pun masuk perangkapku. Akhirnya aku pun mengutuk laut yang tak memberiku rezeki malam itu. Kemarahanku cukup berasalan, sebab tanpa ikan-ikan itu aku tidak akan mampu membayar sewa perahu kepada Toke Min yang memang tak pernah mau mengerti nasib orang-orang macam kami. Ketika gelombang menghantam perahuku yang masih kosong, tiba-tiba aku melihat sebatang kayu terombang-ambing di tengah lautan. Aku pun mencoba mengayuh merapatkan perahuku ke sana. Entah kenapa tiba-tiba saja aku yakin di sini ada ikan. Kulempar jala. Dan, laut telah berbaik hati padaku. Setelah perahuku terasa berat aku pun menuju pantai. Aku terkejut ketika melihat kayu itu sudah terdampar di sana,” tutur ayahku mengulang cerita kakek dari si nelayan.
Setiba di kampung kayu itu pun dijadikan tiang tengah dalam bangunan masjid kecil kampung kami. Kakekku yang saat itu menjabat sebagai imam besar masjid menamai kayu itu dengan Sulu Bayung. Setelah kakekku meninggal masjid itu dinamai sebagai masjid Imum Sulu Bayung, untuk mengenang jasa kakekku yang telah membawa kayu itu ke kampung kami.
Sejak Sulu Bayung terpancang di masjid, ayahku yang saat itu telah menjadi imam menggantikan kakek, mengaku menyaksikan keajaiban-keajaiban. Menurut cerita ayahku, masjid kami selalu saja penuh oleh jamaah yang berdatangan dari kampung-kampung yang jauh.
Selepas shalat mereka duduk melingkar di hadapan Sulu Bayung dan meminta segala keberkatan. Ada yang sekadar mencium Sulu Bayung sembari berdoa dan ada pula yang menyiramkan air ke arah kayu keramat itu untuk kemudian diusap dan dibasuh pada bagian tubuh mereka yang terluka. Ajaibnya luka-luka itu sembuh!
Akibat keajaiban-keajaiban berkat Sulu Bayung akhirnya nama kampungku pun semakin masyhur. Orang-orang yang berziarah ke masjid itu semakin hari semakin ramai. Ada yang datang sendiri-sendiri dan ada pula yang mengajak kawan satu kampung untuk menguji kekeramatan Sulu Bayung yang terpancang megah di tengah-tengah masjid. Karena pengunjungnya telah semakin ramai, ayahku mengusulkan untuk memasang celengan di kayu keramat itu. Usul ayahku diterima oleh para pengurus masjid dan tokoh-tokoh kampung. Tanpa menunggu lama, Apacut Beuransah pun langsung membuat sebuah kotak kayu sebagai celengan. Apacut Beuransah adalah tukang perabot paling terkenal di kampung kami. Kononnya dia dapat bekerja dengan mata tertutup. Dan hasilnya cukup rapi. Untuk kotak celengan Sulu Bayung dia tidak meminta upah. Dia cuma meminta kepada ayahku agar namanya ditulis di kotak itu, “Untuk keberkatan agar mudah rezeki,” kata Apacut kepada ayahku. Tanpa harus berdebat ayahku pun menerima permintaan Apacut Beuransah.
***
Sejak Sulu Bayung dilengkapi celengan, pengunjung masjid semakin bertambah karena selain meminta keberkatan, mereka juga bisa bersedekah. Aku masih ingat betul, saat itu ayah selalu memintaku menghitung uang dalam celengan Sulu Bayung. Usiaku saat itu baru menginjak lima belas tahun. Pernah beberapa kali tanpa sepengetahuan ayah, aku menyembunyikan beberapa keping uang dari celengan keramat itu untuk modal membeli mie goreng di kedai Kak Rakibah yang tak jauh dari masjid.
Sebagai anak imam masjid, aku juga sering mendapat hadiah uang dan makanan seperti timphan, dodoi dan haluwa dari para pengunjung yang datang dari jauh. Sejak celengan disangkut di Sulu Bayung, aku memang sering menghabiskan waktu bermainku di masjid menunggu para pengunjung datang. Aku ditemani oleh kawan-kawan seusiaku seperti Majid, Juned dan Wandi. Sebenarnya teman-temanku itu juga ingin mengambil beberapa keping uang yang selalu penuh dalam celengan, tapi setiap mereka akan beraksi aku selalu menakuti mereka, bahwa tangan mereka akan bengkok kalau berani menyentuh celengan Sulu Bayung.
***
Hari-hari terus berlalu dengan cepat. Suasana di masjid kami masih ramai seperti puluhan tahun lalu. Ayahku Haji Mad Piyah sudah terlihat sangat tua. Selepas shalat asar ketika kami sedang menghitung hasil sedekah dari celengan Sulu Bayung, dia mewasiatkan kepadaku jika suatu saat masjid itu direnovasi, Sulu Bayung harus tetap diselamatkan dan tidak boleh dikeluarkan dari masjid. Menurut ayahku, selain sebagai pengingat jasa kakek, Sulu Bayung juga telah memberi rezeki kepada pengurus masjid dan juga masyarakat kampung selama berpuluh-puluh tahun. Mendengar wasiat ayah, aku hanya mengangguk tanda setuju. Hanya beberapa bulan setelah berwasiat, ayahku pun meninggal dunia, tepat setelah seratus tahun Sulu Bayung tegak berdiri di masjid kami.
Kematian ayahku telah melahirkan keguncangan di kampung kami. Beberapa tokoh kampung saling berebut menjadi imam. Jika saat itu tidak segera diselesaikan oleh Apacut Beuransah, bisa-bisa sudah terjadi perang saudara akibat perebutan jabatan imam. Apacut Beuransah yang namanya tertulis di celengan Sulu Bayung merasa paling berhak berbicara setelah ayahku tiada. Dia memutuskan agar aku menjadi imam menggantikan kedudukan ayahku. Mendengar keputusan Apacut Beuransah, semua tokoh masyarakat hanya bisa mengangguk dan terdiam, sebab namanya yang tertulis di Celengan Sulu Bayung adalah bentuk otoritas yang tidak bisa dibantah. Saat diangkat sebagai imam, usiaku sudah menginjak lima puluh tahun, lebih tua dari umur kakekku ketika pertama kali ia mengangkat Sulu Bayung di pundaknya.
***
Pada suatu pagi, tepatnya selepas shalat subuh, ketika udara masih begitu dingin dan kicau burung belum terdengar, Apacut Beuransah yang di masa tuanya juga merangkap sebagai bilal masjid datang menghampiriku dari arah belakang. Saat itu jamaah lain telah pulang, tinggal kami berdua di masjid yang sudah semakin sempit.
“Begini Haji Bantayan, aku lihat semakin hari masjid kita semakin ramai saja. Jamaah terus bertambah, sebab masyarakat luar kampung juga sudah mulai menjadi jamaah tetap di masjid ini. Menurutku ini adalah bentuk karamah dari Sulu Bayung. Jadi aku pikir sudah saatnya masjid ini direnovasi. Lagi pula kita sudah punya cukup uang dari hasil celengan Sulu Bayung. Bagaimana menurutmu?”
Mendengar pertanyaan Apacut aku sedikit tepekur. Sambil menggulung sajadah aku pun menatap wajah orang tua itu. Dia memang sudah cukup tua, usianya mungkin sebaya dengan almarhum ayahku. Hanya beberapa lembar rambutnya yang masih hitam. Bahkan jenggotnya yang panjang itu telah tampak seperti kapas kering. Aku pikir orang tua ini cukup bijaksana dan patut aku pertimbangkan.
“Baik Apacut, akan kucoba bicarakan dengan pengurus masjid dan tokoh-tokoh kampung.” Mendengar jawabanku, Apacut tampak tersenyum sampai gusinya yang seperti daging pucat itu terlihat keluar.
***
Setelah bulat sepakat dengan tokoh-tokoh kampung renovasi pun dimulai. Bangunan lama mulai dibongkar di bawah pengawasanku sendiri. Dinding masjid yang sebagiannya terbuat dari kayu dibongkar dan tembok-tembok dari beton dihancurkan. Hanya bagian depan dari masjid yang disisakan sedikit untuk tempat shalat dan akan dibongkar kemudian.
Pembongkaran berlangsung cepat karena melibatkan masyarakat kampung.
Ketika pembongkaran berlangsung tiba-tiba aku ingat nasib Sulu Bayung yang terpacak di tengah bangunan masjid yang dindingnya sudah diruntuhkan. Aku pandangi tiang itu dari bawah lalu ke atas, ke atap masjid. Aku meminta pekerja untuk melepaskan celengan yang tersangkut di sana.
Sore itu Sulu Bayung yang sudah berdiri tegak selama lebih seratus tahun pun dicabut dan dipindahkan ke luar masjid. Melihat Sulu Bayung diangkat ke luar, Apacut Beuransah tiba-tiba menegurku, “Mau dibawa ke mana?” tanyanya keheranan. “Dipindahkan sebentar Apacut, nanti kalau bangunan baru sudah selesai kita pindahkan lagi ke dalam,” sahutku. Apacut hanya terdiam dengan mata tertuju pada Sulu Bayung yang sudah direbahkan di luar masjid. Aku pikir dia tidak perlu heran seperti itu, bukankah dia yang memintaku merenovasi masjid?
Esoknya, beberapa pekerja mengadu padaku bahwa mereka telah dilanda mimpi buruk dan dikejar hantu karena telah memindahkan Sulu Bayung dari tempatnya. “Tidak apa-apa,” kataku, “ini hanya sementara saja.” Protes juga datang dari para pengunjung yang kecewa melihat Sulu Bayung tergeletak tak berdaya. Sebagai pemimpin di masjid tentunya aku harus siap menjawab segala pertanyaan, sebab renovasi adalah untuk kenyamanan mereka juga yang selalu mengeluh masjid sudah terlalu sempit.
***
Masjid yang dulunya setengah kayu setengah beton telah berganti dengan beton sepenuhnya. Cukup indah dan luas. Tentu aku patut berbangga sebab renovasi bersejarah ini terjadi di masa aku menjadi imam. Perasaan suka cita juga terlihat di wajah para jamaah, mereka terpesona dengan keindahan masjid yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
“Bagaimana nasib Sulu Bayung?”
Aku benar-benar terkejut dan tiba-tiba saja wasiat ayahku itu kembali terdengar.
Bukankah kemegahan masjid ini berkat Sulu Bayung? Tapi, apa mungkin kayu tua itu aku masukkan ke dalam masjid yang megah ini? Tidakkah ia akan merusak keindahan masjid?
Setelah dilanda kebingungan beberapa saat, akhirnya aku putuskan Sulu Bayung harus ditegakkan kembali. Tapi di luar, bukan di dalam masjid. Dan celengan yang dulunya telah disimpan Apacut kembali dipasang di batang kayu keramat itu.
Tahun-tahun pun terus berlalu. Anehnya celengan itu tak pernah lagi berisi. Tak ada lagi pengunjung yang datang. Masjidku yang megah telah berubah sepi dan bahkan orang-orang kampungku pun sudah mulai meninggalkan masjid. Aku tidak tahu, apakah Apacut telah memfitnahku, sebab dia pun tak lagi tampak di masjid? Tapi, bukankah dia yang beruntung dengan renovasi ini sebab dia menjadi pemimpin proyek? Atau aku telah durhaka kepada Sulu Bayung sebab sering menguras isi celengan?
***
Kisah itu aku baca dari catatan lusuh milik ayahku yang tersimpan dalam celengan Sulu Bayung. Aku menduga ayahku, Haji Bantayan, sengaja memasukkan catatan itu ke dalam celengan. Ayahku meninggal sepuluh tahun lalu. Aku adalah orang pertama yang membuka celengan Sulu Bayung setelah ia ditinggalkan pengunjung.
Bireuen, 13 Maret 2019.
Cerpen ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia.
Ilustrasi: Wikipedia |
Aku terlahir dalam keluarga terpandang di kampungku. Ayahku seorang alim lagi masyhur dan ibuku seorang wanita terhormat yang hingga usia tuanya masih terlihat bersemangat mengajarkan anak-anak perempuan mengaji. Konon kakekku juga seorang alim besar yang namanya telah diabadikan menjadi nama masjid di kampung kami.
Sewaktu sebatang kayu bulat panjang yang diyakini jatuh dari langit itu terdampar di pantai Jangkar, kakekku adalah satu-satunya orang yang berhasil mengangkat kayu yang cukup berat itu. Kakekku mengangat sendiri batang kayu itu dan dibawanya ke kampung kami.
Menurut kesaksian ayahku, batang kayu misterius itu sudah terdampar berbulan-bulan di pantai. Bahkan tidak seorang pun mampu menggesernya ke tepi sampai akhirnya kakekku muncul.
Sejak pertama ditemukan kayu itu telah terukir dengan kaligrafi yang cukup panjang. Ukiran itu menggunakan khat unik yang tak mampu dibaca oleh orang-orang kampung kami. Tapi kakekku yakin ukiran itu adalah tulisan kalimat syahadat.
Orang-orang kampung kami, tak terkecuali kakekku meyakini kayu itu jatuh dari langit pada malam bulan Ramadan. Karenanya kayu itu pun dianggap keramat. Cerita tentang keramatnya kayu ini juga dikuatkan oleh kesaksian seorang nelayan kepada kakekku, kemudian cerita itu diwariskan pada ayahku.
“Malam itu tak seekor ikan pun masuk perangkapku. Akhirnya aku pun mengutuk laut yang tak memberiku rezeki malam itu. Kemarahanku cukup berasalan, sebab tanpa ikan-ikan itu aku tidak akan mampu membayar sewa perahu kepada Toke Min yang memang tak pernah mau mengerti nasib orang-orang macam kami. Ketika gelombang menghantam perahuku yang masih kosong, tiba-tiba aku melihat sebatang kayu terombang-ambing di tengah lautan. Aku pun mencoba mengayuh merapatkan perahuku ke sana. Entah kenapa tiba-tiba saja aku yakin di sini ada ikan. Kulempar jala. Dan, laut telah berbaik hati padaku. Setelah perahuku terasa berat aku pun menuju pantai. Aku terkejut ketika melihat kayu itu sudah terdampar di sana,” tutur ayahku mengulang cerita kakek dari si nelayan.
Setiba di kampung kayu itu pun dijadikan tiang tengah dalam bangunan masjid kecil kampung kami. Kakekku yang saat itu menjabat sebagai imam besar masjid menamai kayu itu dengan Sulu Bayung. Setelah kakekku meninggal masjid itu dinamai sebagai masjid Imum Sulu Bayung, untuk mengenang jasa kakekku yang telah membawa kayu itu ke kampung kami.
Sejak Sulu Bayung terpancang di masjid, ayahku yang saat itu telah menjadi imam menggantikan kakek, mengaku menyaksikan keajaiban-keajaiban. Menurut cerita ayahku, masjid kami selalu saja penuh oleh jamaah yang berdatangan dari kampung-kampung yang jauh.
Selepas shalat mereka duduk melingkar di hadapan Sulu Bayung dan meminta segala keberkatan. Ada yang sekadar mencium Sulu Bayung sembari berdoa dan ada pula yang menyiramkan air ke arah kayu keramat itu untuk kemudian diusap dan dibasuh pada bagian tubuh mereka yang terluka. Ajaibnya luka-luka itu sembuh!
Akibat keajaiban-keajaiban berkat Sulu Bayung akhirnya nama kampungku pun semakin masyhur. Orang-orang yang berziarah ke masjid itu semakin hari semakin ramai. Ada yang datang sendiri-sendiri dan ada pula yang mengajak kawan satu kampung untuk menguji kekeramatan Sulu Bayung yang terpancang megah di tengah-tengah masjid. Karena pengunjungnya telah semakin ramai, ayahku mengusulkan untuk memasang celengan di kayu keramat itu. Usul ayahku diterima oleh para pengurus masjid dan tokoh-tokoh kampung. Tanpa menunggu lama, Apacut Beuransah pun langsung membuat sebuah kotak kayu sebagai celengan. Apacut Beuransah adalah tukang perabot paling terkenal di kampung kami. Kononnya dia dapat bekerja dengan mata tertutup. Dan hasilnya cukup rapi. Untuk kotak celengan Sulu Bayung dia tidak meminta upah. Dia cuma meminta kepada ayahku agar namanya ditulis di kotak itu, “Untuk keberkatan agar mudah rezeki,” kata Apacut kepada ayahku. Tanpa harus berdebat ayahku pun menerima permintaan Apacut Beuransah.
***
Sejak Sulu Bayung dilengkapi celengan, pengunjung masjid semakin bertambah karena selain meminta keberkatan, mereka juga bisa bersedekah. Aku masih ingat betul, saat itu ayah selalu memintaku menghitung uang dalam celengan Sulu Bayung. Usiaku saat itu baru menginjak lima belas tahun. Pernah beberapa kali tanpa sepengetahuan ayah, aku menyembunyikan beberapa keping uang dari celengan keramat itu untuk modal membeli mie goreng di kedai Kak Rakibah yang tak jauh dari masjid.
Sebagai anak imam masjid, aku juga sering mendapat hadiah uang dan makanan seperti timphan, dodoi dan haluwa dari para pengunjung yang datang dari jauh. Sejak celengan disangkut di Sulu Bayung, aku memang sering menghabiskan waktu bermainku di masjid menunggu para pengunjung datang. Aku ditemani oleh kawan-kawan seusiaku seperti Majid, Juned dan Wandi. Sebenarnya teman-temanku itu juga ingin mengambil beberapa keping uang yang selalu penuh dalam celengan, tapi setiap mereka akan beraksi aku selalu menakuti mereka, bahwa tangan mereka akan bengkok kalau berani menyentuh celengan Sulu Bayung.
***
Hari-hari terus berlalu dengan cepat. Suasana di masjid kami masih ramai seperti puluhan tahun lalu. Ayahku Haji Mad Piyah sudah terlihat sangat tua. Selepas shalat asar ketika kami sedang menghitung hasil sedekah dari celengan Sulu Bayung, dia mewasiatkan kepadaku jika suatu saat masjid itu direnovasi, Sulu Bayung harus tetap diselamatkan dan tidak boleh dikeluarkan dari masjid. Menurut ayahku, selain sebagai pengingat jasa kakek, Sulu Bayung juga telah memberi rezeki kepada pengurus masjid dan juga masyarakat kampung selama berpuluh-puluh tahun. Mendengar wasiat ayah, aku hanya mengangguk tanda setuju. Hanya beberapa bulan setelah berwasiat, ayahku pun meninggal dunia, tepat setelah seratus tahun Sulu Bayung tegak berdiri di masjid kami.
Kematian ayahku telah melahirkan keguncangan di kampung kami. Beberapa tokoh kampung saling berebut menjadi imam. Jika saat itu tidak segera diselesaikan oleh Apacut Beuransah, bisa-bisa sudah terjadi perang saudara akibat perebutan jabatan imam. Apacut Beuransah yang namanya tertulis di celengan Sulu Bayung merasa paling berhak berbicara setelah ayahku tiada. Dia memutuskan agar aku menjadi imam menggantikan kedudukan ayahku. Mendengar keputusan Apacut Beuransah, semua tokoh masyarakat hanya bisa mengangguk dan terdiam, sebab namanya yang tertulis di Celengan Sulu Bayung adalah bentuk otoritas yang tidak bisa dibantah. Saat diangkat sebagai imam, usiaku sudah menginjak lima puluh tahun, lebih tua dari umur kakekku ketika pertama kali ia mengangkat Sulu Bayung di pundaknya.
***
Pada suatu pagi, tepatnya selepas shalat subuh, ketika udara masih begitu dingin dan kicau burung belum terdengar, Apacut Beuransah yang di masa tuanya juga merangkap sebagai bilal masjid datang menghampiriku dari arah belakang. Saat itu jamaah lain telah pulang, tinggal kami berdua di masjid yang sudah semakin sempit.
“Begini Haji Bantayan, aku lihat semakin hari masjid kita semakin ramai saja. Jamaah terus bertambah, sebab masyarakat luar kampung juga sudah mulai menjadi jamaah tetap di masjid ini. Menurutku ini adalah bentuk karamah dari Sulu Bayung. Jadi aku pikir sudah saatnya masjid ini direnovasi. Lagi pula kita sudah punya cukup uang dari hasil celengan Sulu Bayung. Bagaimana menurutmu?”
Mendengar pertanyaan Apacut aku sedikit tepekur. Sambil menggulung sajadah aku pun menatap wajah orang tua itu. Dia memang sudah cukup tua, usianya mungkin sebaya dengan almarhum ayahku. Hanya beberapa lembar rambutnya yang masih hitam. Bahkan jenggotnya yang panjang itu telah tampak seperti kapas kering. Aku pikir orang tua ini cukup bijaksana dan patut aku pertimbangkan.
“Baik Apacut, akan kucoba bicarakan dengan pengurus masjid dan tokoh-tokoh kampung.” Mendengar jawabanku, Apacut tampak tersenyum sampai gusinya yang seperti daging pucat itu terlihat keluar.
***
Setelah bulat sepakat dengan tokoh-tokoh kampung renovasi pun dimulai. Bangunan lama mulai dibongkar di bawah pengawasanku sendiri. Dinding masjid yang sebagiannya terbuat dari kayu dibongkar dan tembok-tembok dari beton dihancurkan. Hanya bagian depan dari masjid yang disisakan sedikit untuk tempat shalat dan akan dibongkar kemudian.
Pembongkaran berlangsung cepat karena melibatkan masyarakat kampung.
Ketika pembongkaran berlangsung tiba-tiba aku ingat nasib Sulu Bayung yang terpacak di tengah bangunan masjid yang dindingnya sudah diruntuhkan. Aku pandangi tiang itu dari bawah lalu ke atas, ke atap masjid. Aku meminta pekerja untuk melepaskan celengan yang tersangkut di sana.
Sore itu Sulu Bayung yang sudah berdiri tegak selama lebih seratus tahun pun dicabut dan dipindahkan ke luar masjid. Melihat Sulu Bayung diangkat ke luar, Apacut Beuransah tiba-tiba menegurku, “Mau dibawa ke mana?” tanyanya keheranan. “Dipindahkan sebentar Apacut, nanti kalau bangunan baru sudah selesai kita pindahkan lagi ke dalam,” sahutku. Apacut hanya terdiam dengan mata tertuju pada Sulu Bayung yang sudah direbahkan di luar masjid. Aku pikir dia tidak perlu heran seperti itu, bukankah dia yang memintaku merenovasi masjid?
Esoknya, beberapa pekerja mengadu padaku bahwa mereka telah dilanda mimpi buruk dan dikejar hantu karena telah memindahkan Sulu Bayung dari tempatnya. “Tidak apa-apa,” kataku, “ini hanya sementara saja.” Protes juga datang dari para pengunjung yang kecewa melihat Sulu Bayung tergeletak tak berdaya. Sebagai pemimpin di masjid tentunya aku harus siap menjawab segala pertanyaan, sebab renovasi adalah untuk kenyamanan mereka juga yang selalu mengeluh masjid sudah terlalu sempit.
***
Masjid yang dulunya setengah kayu setengah beton telah berganti dengan beton sepenuhnya. Cukup indah dan luas. Tentu aku patut berbangga sebab renovasi bersejarah ini terjadi di masa aku menjadi imam. Perasaan suka cita juga terlihat di wajah para jamaah, mereka terpesona dengan keindahan masjid yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
“Bagaimana nasib Sulu Bayung?”
Aku benar-benar terkejut dan tiba-tiba saja wasiat ayahku itu kembali terdengar.
Bukankah kemegahan masjid ini berkat Sulu Bayung? Tapi, apa mungkin kayu tua itu aku masukkan ke dalam masjid yang megah ini? Tidakkah ia akan merusak keindahan masjid?
Setelah dilanda kebingungan beberapa saat, akhirnya aku putuskan Sulu Bayung harus ditegakkan kembali. Tapi di luar, bukan di dalam masjid. Dan celengan yang dulunya telah disimpan Apacut kembali dipasang di batang kayu keramat itu.
Tahun-tahun pun terus berlalu. Anehnya celengan itu tak pernah lagi berisi. Tak ada lagi pengunjung yang datang. Masjidku yang megah telah berubah sepi dan bahkan orang-orang kampungku pun sudah mulai meninggalkan masjid. Aku tidak tahu, apakah Apacut telah memfitnahku, sebab dia pun tak lagi tampak di masjid? Tapi, bukankah dia yang beruntung dengan renovasi ini sebab dia menjadi pemimpin proyek? Atau aku telah durhaka kepada Sulu Bayung sebab sering menguras isi celengan?
***
Kisah itu aku baca dari catatan lusuh milik ayahku yang tersimpan dalam celengan Sulu Bayung. Aku menduga ayahku, Haji Bantayan, sengaja memasukkan catatan itu ke dalam celengan. Ayahku meninggal sepuluh tahun lalu. Aku adalah orang pertama yang membuka celengan Sulu Bayung setelah ia ditinggalkan pengunjung.
Bireuen, 13 Maret 2019.
Cerpen ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia.
loading...
Post a Comment