Teror New Zealand dan Tragedi Kemanusiaan

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: virtualoceania



Bireuen, 16 Maret 2019

Kabar duka kembali melanda umat Islam seluruh dunia. Sebuah tragedi kemanusiaan paling mengerikan sekaligus memilukan telah mengguncang sebuah negeri yang selama ini dikenal paling aman di dunia, New Zealand, pada Jumat (15/03/2019). Puluhan muslim meninggal dunia dalam serangan brutal yang dilancarkan oleh teroris kulit putih. Penembakan membabi buta yang juga menyasar anak-anak tersebut terjadi di dua masjid Christchurch ketika para jamaah sedang melaksanakan shalat Jumat.

Informasi terkini menyebut jumlah korban meninggal di Masjid Al-Noor sebanyak 41 orang dan Masjid Linwood tujuh orang sementara sisa korban lainnya ditemukan di jalanan (kompas.com). Dari sejumlah korban, dua warga Indonesia juga terkena tembakan dan harus dirawat di rumah sakit. Bahkan seperti dirilis BBC, seorang warga Indonesia bernama Muhammad Abdul Hamid yang sebelumnya dikabarkan hilang dipastikan meninggal dunia dalam penembakan brutal di Masjid Al-Noor.

Sadisnya lagi pelaku teror juga sempat merekam aksinya yang kemudian diunggah melalui media sosial. Dia merekam perilaku bejatnya dari awal sampai tubuh-tubuh tak berdaya dalam masjid jatuh berguguran. Sebagian kalangan menduga si pelaku sengaja merekam aksinya guna menimbulkan ketakutan terhadap muslim, sebagai bentuk teror psikologis, khususnya terhadap para imigran. Aksi penyebaran video ini kemudian mendapat tanggapan dari sejumlah perusahaan teknologi internet. Mereka berusaha menghapus video tersebut sehingga tidak bisa lagi diakses. Alasan penghapusan karena video dimaksud mengandung unsur kekerasan yang mengerikan.

Imbauan untuk menghapus konten kekerasan dalam teror masjid itu juga datang dari Menteri Komunikasi dan Informatika yang meminta masyarakat Indonesia tidak menyebarkan video brutal tersebut. Di satu sisi penghapusan dan pelarangan penyebaran video kekerasan terorisme ini memang dapat dimaklumi guna menghormati para korban, menghindari tersebarnya ketakutan dan juga meredam emosi publik khususnya umat Islam agar tidak melakukan tindakan “balasan.”

Namun di sisi lain, bukan tidak mungkin penghapusan dan pelarangan penyebaran video adalah sebuah upaya untuk menghilangkan jejak brutalitas teror yang dilakukan ekstrimis non muslim dengan harapan label teroris akan selalu identik dengan Islam. Dugaan ini dilatari oleh kenyataan pada tragedi teror sebelumnya yang diklaim dilakukan muslim, di mana penyebaran video dan foto-foto korban terlihat begitu masif sehingga dalam kondisi tertentu dapat memunculkan Islamofibia bagi kalangan non muslim, khususnya di Eropa dan Amerika.

Terorisme dan Islamofobia

Menyikapi tindakan brutal yang dilakukan teroris di New Zealand, sejumlah pemimpin dunia tampak mengutuk perilaku tersebut dan menyebutnya sebagai tindakan terorisme. Perdana Menteri New Zealand, Jacinda Ardern dengan tegas menyebut aksi penembakan tersebut sebagai tindakan teroris yang telah dirancang rapi oleh pelaku. Dia juga menyebut serangan teroris tersebut sebagai sejarah paling hitam bagi New Zealand.

Piciknya, di tengah gemuruh simpati dari beberapa pemimpin dunia, salah seorang Senator Australia, Fraser Anning justru mengeluarkan statement rasis dengan menyalahkan muslim dalam insiden berdarah tersebut. Dia menyebut aksi penembakan itu dilatari oleh migrasi muslim fanatik ke New Zealand. Anning seolah melakukan legitimasi atas tindakan sadis dan brutal yang dilakukan teroris asal Australia. Namun pernyataan Anning kemudian ditentang oleh Perdana Menteri Australia, Scot Morisson. Dia menyebut pernyataan Anning sebagai menjijikkan. Dia juga menegaskan bahwa pandangan rasis tersebut tidak mendapat tempat di Australia.

Pasca mengeluarkan pernyataannya, Anning juga sempat dilempari telur oleh seorang pemuda di Australia sebagai bentuk protes atas sikapnya yang dianggap rasis. Seorang pemuda bernama Willy Connolly tampak memecahkan telur di kepala Anning. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu (16/03/19) saat Anning memberikan keterangan pers di Melbourne, Australia. Belakangan tindakan anti-rasisme yang dilakukan pemuda asal Melbourne ini mendapat apresiasi dari publik Australia.

Seperti dirilis sejumlah media, dalam manifestonya yang disiarkan di media sosial, salah seorang pelaku teror, Brenton Tarran yagng berstatus kewarganegaraan Australia itu menyebut aksinya sebagai wujud pembelaan terhadap kulit putih dari penjajah. Dia juga mengaku sudah merencanakan tindakannya sejak tiga bulan sebelumnya. Akibat tindakannya, pihak kepolisian New Zealand mengatakan akan menahan pelaku hingga 5 April mendatang untuk diajukan kepada pengadilan (CNN).

Dalam laporannya, CNN menyebut Brenton Tarrant telah terpengaruh oleh ideologi fasis selama melakukan perjalanan ke Eropa. Dengan mengutip manifestonya, Tarran mengaku terinspirasi dari para ekstrimis sayap kanan, di antaranya Anders Behring Breivik yang berhasil membunuh 77 orang di Norwegia pada 2011 lalu.

Terlepas dari kebencian Tarran terhadap imigran yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai dasar serangan, yang jelas tindakan brutal di masjid saat umat Islam sedang beribadah adalah salah satu bentuk teror yang dilatari Islamofobia. Ketakutan tak berasalan terhadap Islam dan umat muslim telah memicu tindakan-tindakan brutal dari ekstrimis non muslim.

Peristiwa penembakan di New Zealand adalah bukti paling baru bahwa terorisme sama sekali tidak identik dengan Islam. Tindakan terorisme dapat dilakukan oleh siapa pun dan dari latar belakang agama mana pun. Penyimpangan ideologi dan aksi terorisme ini muncul ketika si pelaku memosisikan etnis atau agama tertentu sebagai ancaman yang dapat membahayakan eksistensinya.

Tragedi New Zealand adalah bentuk sadisme paling vulgar yang dilakukan kelompok rasis plus Islamofobia yang mengatasnamakan supremasi kulit putih dengan dalih kebencian kepada imigran. Semoga saja tragedi berdarah New Zealand dapat mengubah persepsi publik internasional bahwa terorisme bukan saja menjadi ancaman bagi agama atau etnis tertentu, tapi terorisme juga bagian dari bencana kemanusiaan.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments