Guru Mud

 

kompas.id

Cerpen Tin Miswary

Derap langkah serdadu terdengar jelas hingga ke ruang kelas. Orang-orang berbaju loreng itu menuju ruang guru yang tak jauh dari gerbang sekolah. Dari balik jendela kaca yang sudah mulai kusam, Guru Mud melihat dengan jelas sebuah Truk Reo terparkir di pekarangan sekolah. Jantungnya berdegup kencang. Tanpa aba-aba, bulir keringat di keningnya mulai mengucur bagai titisan hujan di bawah genting. Tidak ingin murid-muridnya ketakutan, Guru Mud kembali melanjutkan pelajaran. Dia sudah berjanji pada anak-anak untuk menceritakan kisah Banta Amat, anak yang durhaka pada ibunya. Sehabis bercerita biasanya dia akan meminta satu persatu muridnya untuk menulis kembali cerita tersebut dengan bahasa sendiri. Namun, hari itu waktu berjalan sangat lambat.

Suara gaduh di ruang guru membuat Gur Mud bergidik. Dia memaksa dirinya untuk berdiri di ambang pintu, memastikan apa yang terjadi di sana. Seorang tentara yang melihat Guru Mud berdiri di tepian pintu segera menghampiri laki-laki paruh baya itu. Jantung Guru Mud berdetak kian kencang. Dia meletakkan telapak tangan kanannya tepat di dada, berjaga-jaga agar jantungnya tidak jatuh ke lantai.

Belum lagi tentara itu sempat menyapa Guru Mud yang kedua lututnya mulai bergetar, dari ruang guru terlihat beberapa tentara mengokang senapan. Mereka meminta guru-guru yang ada di ruang itu untuk keluar ke pekarangan. Beberapa guru perempuan tampak berteriak histeris; membuat murid-murid yang tadinya berada di dalam kelas berhamburan ke luar.

Pak Majid, kepala sekolah yang setahun lagi memasuki usia pensiun segera meminta murid-murid agar kembali masuk. Dia tidak ingin anak-anak belia itu melihat wajah sangar para tentara yang sebulan lalu menembaki orang-orang di kampung itu, seolah-olah kampung itu adalah lapangan tembak atau mungkin kebun kosong sehingga peluru bebas ditumpahkan begitu saja. Murid-murid berlarian memasuki kelas. Beberapa tentara menutup pintu dan mengurung anak-anak itu di dalam kelas setelah guru-guru mereka dipaksa keluar.

Guru Mud yang masih berdiri di ambang pintu segera saja digiring ke pekarangan. Semua guru dibariskan di sana. Satu persatu dihardik dengan suara keras dan tiba-tiba saja wajah tentara terlihat seperti malaikat maut di hadapan para guru yang wajahnya kehilangan darah.

“Siapa di sini yang terlibat GAM? Tunjuk tangan!” suara komandan regu terdengar garang.

Pak Majid sebagai orang yang paling bertanggung jawab di sekolah memberanikan diri mengangkat tangan. “Di sini tidak ada GAM, Pak. Bapak lihat sendiri tugas kami di sini hanya mengajar ….”

“Anjing!” Komandan regu tiba-tiba saja memotong kata-kata Pak Majid. “Jangan berlagak lugu! Kami tahu kalian semua di sini GAM. Kalian pendukung-pendukung GAM. Kami sudah punya nama orang-orang yang terlibat GAM. Jadi jangan bohong. Jujur saja, atau kami habiskan semua. Babi!”

Mendengar kata-kata itu Pak Majid memilih diam. Tidak ada gunanya bicara di depan orang-orang yang sedang diamuk amarah, pikirnya. Dari balik jendela kaca terlihat murid-murid menempelkan wajah mereka di sana. Wajah-wajah tak berdosa yang mulai cemas.

“Coba kamu ke depan! Sini, cepat!” seorang tentara menodongkan senapan ke arah Guru Mud yang berdiri di sisi kanan Pak Majid. Tiba-tiba saja wajah yang dipenuhi cambang dan kumis tebal itu berubah pucat. Guru Mud merasakan aliran darahnya seperti berhenti, urat-uratnya membeku dan tubuhnya terasa dingin.

“Cepat, Anjing!” tentara itu mengulang perintah.

Dengan langkah berat, laki-laki bertubuh jangkung itu melangkah ke depan dengan wajah menunduk. Laki-laki berusia 45 tahun itu benar-benar ketakutan. Bibirnya seputih kapas.

Sebuah tamparan segera saja melayang dan menempel di wajahnya yang lesu. Guru Mud terkesiap. Namun, dia tidak berani menoleh, apalagi mengaduh. Dia tahu betul bahwa tamparan tentara di musim-musim perang seperti ini adalah hal yang sangat biasa. Hal yang sama sekali tidak perlu dikeluhkan, apalagi diceritakan kepada orang-orang. Toh semua orang juga pernah mengalami hal yang sama.

“Di mana Apa Yan?” bentak tentara sembari menodong ujung senapan tepat di dada Guru Mud. Nama itu sama sekali tidak asing di telinganya. Dia adalah Panglima Sagoe yang paling dicari di kawasan itu. Kabarnya dia kebal senjata dan bisa menghilang.

Apa Yan, laki-laki berambut gondrong yang selalu memanggul Ak-47 adalah sosok paling ditakuti, bukan saja oleh tentara, tapi juga orang-orang kampung. Dia tidak segan-segan menembak siapa saja yang dicurigainya sebagai mata-mata tentara. Guru Mud sendiri pernah diancam tembak pasukan Apa Yan hanya gara-gara dia mengajarkan lagu Indonesia Raya kepada murid-muridnya. “Lagu itu haram! Kamu tahu, itu lagu kolonialis Jawa. Bukan lagu endatu kita!” demikian bentak Apa Yan suatu hari.

“Jangan diam saja kamu! Di mana Apa Yan? Kamu tahu, babi itu musuh negara. Jangan coba-coba bohong. Katakan cepat!” Belum sempat Guru Mud mengeluarkan suara, tubuhnya segera saja dihantam popor senapan, tepat di perutnya. Laki-laki itu tersungkur ke tanah. Seorang tentara menarik tubuhnya dan memaksa agar ia kembali berdiri.

“Saya tidak tahu, Pak. Saya tidak pernah berjumpa dia.” Suara Guru Mud bergetar hebat.

“Tum-tum-tum….” Suara dentuman senapan ke arah langit yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan murid-murid yang terkurung di ruang kelas. Mereka berteriak histeris. Murid kelas satu yang baru satu minggu di antar ke sekolah tampak menangis kencang memanggil-manggil ibu mereka. Namun, di hadapan tentara yang sedang diamuk amarah karena temannya mati ditembak pemberontak kemarin sore, suara-suara itu sama sekali tidak menggoyahkan hati mereka yang mungkin saja terbuat dari batu.

“Cepat kamu jawab, babi!” suara itu terdengar seiring dengan tamparan yang kembali melayang menimpa tengkuk Guru Mud. Hampir saja dia tersungkur ke tanah.

Di musim-musim perang panggilan anjing dan babi tidaklah aneh karena kampung-kampung yang sedang dilanda perang tak ubahnya seperti kandang yang dipenuhi binatang—yang siap dibantai kapan saja, tanpa ada perlawanan. Di mata tentara, pemberontak dan orang-orang sipil adalah sama saja, sama-sama musuh negara yang harus dibasmi.

“Kami tahu kamu ini anak buah Apa Yan. Cepat mengaku!”

“Saya benar-benar tidak tahu, Pak. Sehari-hari saya hanya di sini, mengajar anak-anak membaca, menulis dan menyanyi.”

“Kurang ajar kamu!” sebuah tendangan menghantam perut Guru Mud dengan keras. Tubuh laki-laki itu segera saja roboh. Dia mencoba bangkit. Namun, ujung sepatus lars segera menepi di pelipis matanya. Darah segar mengalir pelan. Guru Mud terlihat pasrah. Tidak ada rintihan. Dia tahu rintihan akan mengundang rintihan lainnya.

Pak Majid dan guru-guru lainnya yang berbaris di sana tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Guru Mud. Mereka hanya bisa berdoa dalam hati agar sekawanan burung ababil muncul di balik awan dan lalu melempari batu-batu neraka ke arah tentara agar serdadu-serdadu itu terbakar seperti tentara Abrahah.

Para tentara menggotong tubuh Guru Mud ke dalam truk yang kepalanya seperti moncong buaya. Pak Majid coba mencegah. Namun, popor senapan menghantam hidungnya hingga berdarah. Guru-guru lain hanya bisa melepaskan kepergian Guru Mud bersama tentara dengan tatapan cemas sembari berharap sahabat mereka segera kembali. Di balik kaca jendela, sekumpulan murid menangis kencang hingga membentuk suara gemuruh. Mereka berteriak memanggil Guru Mud, guru yang suaranya selembut embun.

Hari itu adalah hari terakhir Guru Mud mengajar di SD Simpang Lalang. Bertahun-tahun kemudian, setelah serdadu kembali ke luar pulau seiring dengan pemberontak yang turun gunung, Pak Majid tampak berjalan menuju kantor pos. Dia membawa serta istrinya yang kala itu juga sudah memasuki masa pensiun. Keduanya mengantre di sebuah tenda yang terpasang di depan kantor pos, di tepian jalan yang tak jauh dari lampu merah.

Setelah mengambil jatah gaji pensiun dari kasir, keduanya kembali berjalan di trotoar, menuju terminal di selatan kota. Di persimpangan lampu merah terlihat seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan wajah dipenuhi bulu lebat. Laki-laki berpakaian lusuh dengan rambut tak terurus itu berjalan ke arah Pak Majid sembari memanggul karung berisi botol-botol plastik bekas. Dia memelototi Pak Majid seperti burung hantu menatap tikus dan kemudian berlalu begitu saja.

“Tunggu sebentar!” seru Pak Majid sembari menoleh ke belakang. Namun laki-laki itu segera berlari meninggalkan Pak Majid dan istrinya yang masih berdiri kebingungan.

“Itu orang gila Pak,” kata seorang kernet sembari memapah orang tua itu menaiki labi-labi yang berhenti tepat di hadapan mereka.

“Sepertinya wajah itu tidak asing, tapi saya lupa,” kata Pak Majid sambil memandangi wajah istrinya yang masih kebingungan.

“Kabarnya dia dulu seorang guru. Dia ditangkap tentara saat mengajar. Dalam tahanan tentara, kepalanya sering dipukuli. Akhirnya ya begitu. Setelah perang usai dia sering mangkal di lampu merah. Kadang-kadang dia berteriak pada orang-orang bahwa dia tidak kenal Apa Yan. Begitu yang saya dengar,” bisik kernet beberapa detik sebelum angkutan itu melaju meninggalkan kota yang kian sibuk.

Catatan:

Panglima Sagoe: Panglima GAM tingkat kecamatan

Endatu: Neneng moyang

Labi-Labi: Angkutan umum sejenis Sudako

*Cerpen ini sudah terbit di kompas.id

loading...

No comments