Money Politic Empire

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: pinterest



Bireuen, 15 April 2019

Pilpres dan Pileg semakin dekat dan hanya tinggal menghitung hari. Segala trik dan juga “intrik” terus dimainkan oleh para oknum politisi guna meraih kemenangan pada 17 April nanti. Ada beragam strategi yang digunakan agar kesuksesan politis dapat tercapai sesuai rencana, sesuai harapan dan sesuai mimpi-mimpi yang telah dirancang; mulai dari menggunakan cara-cara halal sampai menghalalkan segala cara. Penggunaan cara-cara dimaksud tentunya sangat tergantung pada latar belakang, kepribadian dan mental si politisi itu sendiri.

Penggunaan cara-cara halal di pentas politik adalah manifestasi dari komitmen politisi pada kerangka dan aturan yang telah ditetapkan penyelenggara dan juga konsistensi mereka pada nilai-nilai yang mereka anut semisal nilai agama dan adat istiadat yang selama ini telah membentuk kepribadian mereka. Adapun praktik menghalalkan segala cara adalah cerminan dari kepanikan, kegusaran, ketakutan dan keterancaman akan kekalahan yang tidak hanya merugikan secara materi, tapi juga memalukan secara psikis.

Salah satu strategi menghalalkan segala cara yang lazim digunakan oleh oknum politisi adalah praktik money politics alias politik uang. Disebut lazim sebab praktik ini terus berulang dalam setiap ajang pemilu, khususnya pileg yang notabene adalah pentas politik paling “liar” dalam demokrasi kita. Disebut “liar,” sebab dibanding pilbub, pilgub dan pilpres – pileg tidak hanya menghadirkan satu, dua atau tiga pasangan dalam pertarungan, tapi melibatkan ramai kader (kandidat) yang tersebar dalam sejumlah partai politik dari seluruh Indonesia – yang dalam praktiknya dapat memainkan peran-peran otonom dan sangat personal.

Karena bukan bersifat kolektif dalam bentuk koalisi layaknya pilbub, pilgub atau pilpres, praktik money politics dalam pileg dapat tumbuh subur, menyebar, misterius dan sulit terlacak. Kondisi ini sangat didukung oleh peran-peran otonom yang dimainkan oleh para oknum caleg dengan atau tanpa harus berkonsultasi dengan partai politik yang telah mengusungnya. Selain peran, oknum caleg ini juga menggunakan pembiayaan otonom sehingga berada di luar kontrol partai politik. Kondisi ini nantinya tidak hanya melahirkan persaingan tidak sehat antar caleg dari partai politik berbeda, tapi juga memunculkan persaingan internal sesama kader dalam partai politik.

Seperti kita yakini bersama bahwa praktik money politics tidak hanya menodai tradisi demokrasi yang beradab, tapi juga merusak mental para politisi plus partai politik yang terlibat di dalamnya sekaligus meracuni kepribadian masyarakat yang seharusnya menetapkan pilihan-pilihannya secara rasional. Praktik money politics akan melahirkan wakil-wakil rakyat yang culas dan korup.

Praktik Money Politic

Baru-baru ini sesuai laporan investigasi Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (Presnas KPI) yang dirilis beberapa media ditemukan indikasi praktik money politics di Kabupaten Bireuen yang dilakukan oknum tertentu. Dilaporkan bahwa oknum tersebut menyiapkan sejumlah uang untuk dibagikan kepada calon pemilih. Beberapa waktu lalu aksi serupa juga terjadi di Jakarta dan tempat-tempat lainnya.

Merujuk pada informasi ini, istilah money politics tampaknya masih saja berkutat pada distribusi uang kes kepada calon pemilih di musim pemilu. Padahal praktik money politics tidak hanya dilakukan dalam bentuk uang tunai, tapi juga melalui instrumen lainnya semisal pembagian sembako, bantuan pembangunan, souvenir, dan juga pembagian pakaian semisal kain sarung atau jilbab. Beberapa contoh disebut terakhir cenderung dianggap sebagai bukan bagian dari money politics, sebab tidak menggunakan instrumen uang.

Jika pola pikir ini terus dipertahankan, maka akan terbuka peluang bagi oknum politisi untuk mengubah pola penyaluran dari bentuk uang tunai kepada bentuk barang sehingga praktik money politics ini akan terus bertahan. Dalam strategi yang lebih canggih, bukan tidak mungkin praktik money politics di masa depan akan dilakukan melalui metode transfer bank sehingga akan terlihat lebih senyap di permukaan sehingga luput dari pantauan.

Kemudian, pembiaran terhadap praktik money politics dalam jangka panjang akan melahirkan masyarakat yang materialistik sehingga mata rantai strategi “licik” ini akan terus menjadi epidemi yang sulit diberantas. Indikasi kemunculan masyarakat materialistik ini juga turut dilaporkan oleh Presnas KPI di Bireuen, di mana ada oknum masyarakat yang mempertanyakan imbalan untuk memilih caleg tertentu. Kondisi ini tentunya tidak muncul dengan sendirinya, tetapi merupakan efek dari masifnya money politics yang dilakukan oknum politisi sebelumnya sehingga pola pikir masyarakat yang awalnya “anti” kepada praktik tersebut akhirnya memilih “berdamai” dengan money politics.

Kondisi ini semakin diperparah dengan ceramah oknum tertentu yang “menghalalkan” mengambil uang dari caleg, tetapi melarang memilih mereka. Meskipun dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku money politics, namun dalam praktiknya “keyakinan sesat” ini akan berdampak pada rusaknya kewarasan publik sehingga money politics akan terus kekal. Strategi tersebut sama halnya seperti membersihkan kotoran dengan kotoran yang menyebabkan kotoran kian menumpuk.

Melawan Money Politic

Khususnya di Aceh, sejak 2014, MPU Aceh sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya politik uang. Meskipun sudah disosialisasikan dalam beberapa tahun terakhir, namun sejauh ini fatwa tersebut tampaknya belum efektif untuk menghilangkan praktik money politics, khususnya di Aceh. Buktinya praktik tersebut masih berlangsung sampai saat ini.

Di samping pendekatan keagamaan yang dilakukan MPU Aceh, perlawanan terhadap money politics juga sudah dilakukan secara serius oleh pengawas pemilu dan penegak hukum.

Namun sejauh ini praktik money politics sulit dihilangkan karena ada sejenis “kerjasama” antara pemberi dan penerima sehingga pembuktian di muka hukum sering kali gagal. Untuk itu dibutuhkan kesadaran masyarakat agar secara bersama-sama melakukan perlawanan terhadap money politics. Jika perlu, para pelaku money politics (pemberi dan penerima) juga harus diberikan sanksi sosial. Jangan biarkan praktik culas itu bermuara pada lahirnya Money Politics Empire di negeri kita!

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.



loading...

No comments