Blunder Mahfud MD

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: harianpijar



Bireuen, 30 April 2019

Meskipun proses penghitungan suara belum tuntas dan juga masih adanya pemilihan ulang di beberapa daerah, namun secara umum proses pemilu 2019 telah sukses dan berjalan lancar. Saat ini para kontestan, baik caleg maupun capres-cawapres sedang menunggu selesainya rekapitulasi suara di setiap jenjang untuk kemudian ditetapkan oleh KPU.

Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu kali ini berhasil menggabungkan dua pemilihan sekaligus yang meliputi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden secara serentak.

Namun di balik kesuksesan ini muncul berbagai persoalan mulai dari adanya indikasi kecurangan oleh oknum tertentu dan juga “tragedi” meninggalnya sejumlah petugas KPPS yang sampai saat ini hampir mencapai tiga ratus jiwa dan seribuan lainnya menderita sakit.

Di tengah kondisi demikian, baru-baru ini kita turut dihebohkan dengan pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD yang menyebut basis kemenangan capres/cawapres Prabowo-Sandi sebagai daerah garis keras. Dalam pernyataannya yang dikutip sejumlah media, Mahfud MD mengatakan bahwa tempat kemenangan Prabowo diidentifikasi sebagai provinsi garis keras dalam hal agama, di antaranya: Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan. Sontak saja pernyataan ini menjadi viral di media sosial yang kemudian memunculkan beragam komentar.

Beberapa pihak tampak menyayangkan statemen tersebut. Juru Bicara Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simajuntak bahkan menyebut statemen tersebut sebagai narasi yang dapat memecah belah persatuan. Sementara itu, anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Jamil selain menyangkan juga meminta Mahfud MD untuk meminta maaf kepada masyarakat Aceh. Tidak hanya dari mereka, beberapa pihak lainnya juga menyatakan protes atas pernyataan Mahfud MD yang dianggap tidak tepat dan bahkan kontroversial.

Menyikapi aksi protes tersebut, Mahfud MD sebagaimana dilansir oleh beberapa media telah melakukan klarifikasi atas pernyataannya yang telah menyita perhatian publik. Menurut Mahfud MD, garis keras yang dimaksud adalah sebutan lain dari fanatik atau sikap yang memiliki kesetiaan tinggi kepada agama sehingga sulit ditaklukkan. Dia juga berpendapat bahwa pengunaan istilah garis keras merupakan hal yang biasa dalam ilmu politik layaknya istilah garis moderat, progresif, dan konservatif. Tidak hanya itu, dia sendiri juga mengaku berasal dari daerah garis keras, Madura.

Polemik “Garis Keras”

Meskipun telah melakukan klarifikasi, namun sejauh ini Mahfud MD belum memberikan penjelasan yang memadai terkait indikator “garis keras” yang digunakannya dalam pernyataan tersebut. Jika indikator “garis keras” hanya dimaksudkan sebagai kelompok masyarakat yang setia kepada ajaran agamanya, maka kesimpulannya akan semakin bias, sebab kelompok dimaksud juga ada di daerah lainnya, bukan saja di Jabar, Sumbar, Sulsel dan Aceh.

Frasa “garis keras” yang dikaitkan dengan agama juga akan semakin liar jika hanya dihubung-kaitkan dengan loyalitas terhadap ajaran Islam, sebab loyalitas terhadap agama atau ideologi tertentu juga dengan sangat mudah dapat ditemukan dalam agama-agama lain semisal Kristen. Oleh sebab itu menjadi sangat tidak adil jika “garis keras” hanya dilekatkan pada penganut ajaran Islam semata.

Anehnya lagi, dalam pernyataannya di sebuah acara TV swasta (TV One, 30/04/19) Mahfud MD menegaskan bahwa term “garis keras” tersebut memiliki korelasi dengan sejarah masa lalu – bahwa daerah tersebut merupakan basis Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang melakukan pemberontakan kepada Republik. Dalam kenyataannya, beberapa daerah yang disebut Mahfud MD, kecuali Sumatera Barat, memang pernah menjadi basis gerakan Darul Islam di masa lalu.

Seperti diketahui, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh SM Kartosuwiryo yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan tersebut juga berkembang di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kahar Muzakar; Kalimantan Selatan di bawah kendali Ibnu Hajar dan juga di Aceh yang saat itu dipimpin Muhammad Dawud Beureueh.

Namun asumsi daerah “garis keras” sebagai bekas basis Darul Islam menjadi aneh ketika dihubungkan dengan Sumatera Barat yang pernah menjadi basis PRRI, di mana gerakannya sama sekali tidak didasarkan pada ideologi negara Islam. Seperti dicatat oleh sejarah, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamirkan Ahmad Husen dengan Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara adalah sebuah “gerakan koreksi” terhadap pemerintah pusat yang justru terbebas ideologi agama tertentu.

Pernyataan Mahfud MD juga semakin “kacau” ketika ia menghubungkan istilah “garis keras” di Aceh dengan keberadaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Padahal jika “garis keras” yang dimaksud adalah sikap “fanatik” terhadap agama, maka seharusnya Mahfud MD mengaitkannya dengan Darul Islam yang dipimpin Dawud Beureueh, bukan justru disematkan kepada GAM yang diproklamirkan Hasan Tiro, sebab gerakan disebut terakhir sama sekali tidak berlandaskan pada ideologi agama, tetapi sebuah gerakan “sekuler” yang mengusung ide “nasionalisme Aceh.”

Selain itu, Mahfud MD juga tampak tidak konsisten ketika mengaitkan “garis keras” dengan bekas wilayah Darul Islam. Sikap inkonsistensi ini terlihat pada pernyataannya yang tidak memasukkan Jawa Tengah sebagai daerah garis keras. Padahal gerakan Darul Islam juga pernah eksis di Jawa Tengah di bawah komando Amir Fatah.

Dalam konteks yang lebih luas, istilah garis keras yang dikumandangkan Mahfud MD juga akan membawa imajinasi publik pada peta politik di masa lalu, tepatnya pada Pemilu 1955 yang melibatkan Masyumi, PNI, NU dan PKI. Bukan tidak mungkin istilah “garis keras” dalam konteks masa itu akan merujuk kepada basis-basis Partai Masyumi yang meskipun memperoleh suara di Jawa, namun lebih terkonsentrasi di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Adapun di Pulau Jawa sendiri, khususnya Jawa Tengah justru menjadi basis PNI dan PKI yang berhasil meraup suara mayoritas.

Istilah Peyoratif

Terlepas dari klarifikasi yang telah dilakukan, pernyataan Mahfud MD tetap saja akan menjadi “blunder” mengingat pernyataannya tidak sepenuhnya bersifat akademis tetapi juga bernuansa politis melalui slogan rekonsiliasi. Gagasan rekonsiliasi tentunya didasari oleh adanya sejumlah persoalan di wilayah yang dianggap sebagai “garis keras.”

Selain itu, meskipun istilah “garis keras” lazim digunakan dalam kajian ilmu politik, namun istilah itu sendiri telah mengalami peyorasi sehingga berkonotasi negatif. Dalam kajian politik sendiri, frasa “garis keras” juga kerap dihubungkan dengan istilah “radikalis” dan “ekstremis.” Dengan demikian menjadi wajar jika pernyataan Mahfud MD mendapat penolakan dan kritik dari sejumlah pihak.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments