“Kerusuhan” Intelektual Menjelang Pilpres
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 03 September 2018
Jarum jam terus berdetak pelan mengiringi perjalanan bangsa ini yang terlihat kian “gaduh.” Tahun 2018 adalah tahun “terpanas” menjelang Pilpres di tahun 2019. Di hampir seluruh daerah, masyarakat terus terbelah ke dalam dua kubu politik yang saling “menantang.” Tidak ada hakim dalam “pertarungan” ini. Semua merasa benar menurut dirinya masing-masing. Perdebatan demi perdebatan pun kian menyeruak tajam tak terbendung.
Tidak ada yang bisa disalahkan dari gerak perbedaan semacam ini. Masing-masing pihak memiliki landasan pikir, logika dan keyakinan sendiri sebagai manifestasi kebebasan berpendapat dan bersikap. Mereka terus berjuang mempertahankan gagasan dan gerakannya sebagai wujud dari kebebasan politik yang dilindungi oleh konstitusi. Tidak ada yang bisa menghalangi, kecuali oleh mereka yang ingin mengkhianati demokrasi.
Di negara demokrasi, semua orang memiliki hak yang sama untuk mewujudkan kebebasannya selama ia tidak mengganggu kebebasan orang lain, sebab masing-masing memiliki kebebasan yang sama. Sikap pendukung Jokowi yang mengusung jargon “Jokowi Dua Periode” adalah kebebasan yang harus dihargai. Demikian pula dengan sikap pendukung Prabowo yang mengkampanyekan slogan “2019 Ganti Presiden” juga kebebasan yang semestinya dihormati. Dua Sikap politik ini seharusnya bisa berjalan beriringan tanpa saling mengutuk dan mengecam, apalagi sampai saling mengadang dan mengintimidasi.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini hanyalah fenomena wajar belaka pasca tumbangnya Orde Baru. Namun sayangnya ekspresi sikap politik ini telah bermuara pada munculnya “permusuhan” antarkubu sehingga aroma “kebencian” pun meletup. Kondisi semakin rumit ketika negara “tak mampu” bersikap adil terhadap dua ekspresi yang berbeda. Hal ini ditandai dengan terjadinya beberapa pembubaran aksi yang digerakkan oleh pendukung Prabowo yang notabene adalah “rival politik” dari “penguasa.”
Peran Intelektual
Kondisi yang tak kalah uniknya dalam persaingan antarpendukung capres kali ini adalah keterlibatan intelektual. Kalangan intelektual yang seharusnya menjadi penjaga kewarasan di negeri ini telah pun larut dalam pusaran pertarungan. Sadar atau pun tidak, kemampuan akademik yang mereka miliki telah menjadi “senjata” untuk saling “sikat” dan “sikut” sesamanya. Ketika satu intelektual mengajukan argumen yang tampak “memihak” pada satu kubu, intelektual dari kubu lainnya pun melakukan counter dengan argumen tandingan guna “mendukung” kubunya.
Pada prinsipnya dialektika semacam ini lumrah saja karena ia juga bagian dari kebebasan berpendapat. Bahkan beberapa televisi di tanah air telah memberi ruang kepada para intelektual untuk saling mengemukakan pendapat. Kenyataan ini tentunya berbeda dengan era Orde Baru yang sama sekali menutup ruang bagi diskusi-diskusi semacam ini.
Tapi kondisi menjadi “lucu” ketika para intelektual “bertengkar” di hadapan publik melalui media maupun di layar televisi. “Pertengkaran” intelektual ini meskipun terlihat “akademis” tetap saja tidak memberikan makna apa-apa, sebab masing-masing pihak tampak mempertahankan “egonya” masing-masing.
Parahnya lagi, “kerusuhan” antarintelektual ini juga terjadi di media sosial yang notabene adalah medium ekspresi terbesar di abad ini. Kita melihat sendiri bagaimana seorang oknum intelektual mengkritisi intelektual lain dengan pola-pola tendensius dan bahkan ad hominem sehingga bermuara pada “debat kusir” yang tak berujung.
Uniknya, argumen yang dikemukakan oleh para oknum intelektual dari kedua belah pihak ini kemudian dikonsumsi secara “liar” oleh para pendukung masing-masing kubu untuk melanjutkan “perdebatan” dalam konteks yang lebih luas, baik di medsos maupun di dunia nyata. Salah satu bentuk penyebaran argumen para oknum intelektual yang tampak mendukung capres tertentu adalah munculnya meme-meme yang memuat kalimat-kalimat mereka. Dalam kondisi ini “marwah” seorang intelektual pun memudar akibat argumen mereka yang terkadang terlalu “apologis” dan jauh dari “tradisi akademik.”
Pada prinsipnya kehadiran intelektual di pentas politik adalah keniscayaan. Melalui keterlibatan intelektual-lah “kewarasan politik” yang penuh “intrik” itu akan tetap terjaga. Tapi sayangnya beberapa oknum intelektual kita tidak mampu “menjaga diri” dalam pusaran “pertarungan” yang kian menajam.
Kita membutuhkan intelektual yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga memiliki kecerdasan emosional yang cukup. Intelektual yang dibutuhkan untuk menjaga “kewarasan” ini adalah mereka yang tetap setia pada pikiran-pikiran rasional dan gagasan-gagasan bijak, bukan intelektual yang “memaksakan” pikiran-pikiran emosional yang bertentangan dengan “nurani akademik.”
Tidak sepatutnya intelektual mengeluarkan statement yang dapat “memperkeruh” kondisi politik di tanah air. Dan tidak sepantasnya pula intelektual “mempertaruhkan” marwahnya hanya demi “kepentingan pragmatis” politik praktis yang hanya sesaat. Intelektual harus terus menjadi pengawal kewarasan agar masyarakat tidak terus terbelah dan saling “menantang.”
Kita berharap agar beberapa oknum intelektual kita yang selama ini telah “terjebak” atau “menjebakkan” diri dalam pusaran “pertarungan” dapat kembali menemukan kesadarannya. Rakyat Indonesia membutuhkan “petunjuk” bukan parade telunjuk yang saling menusuk.
Foto: doripos.com |
Bireuen, 03 September 2018
Jarum jam terus berdetak pelan mengiringi perjalanan bangsa ini yang terlihat kian “gaduh.” Tahun 2018 adalah tahun “terpanas” menjelang Pilpres di tahun 2019. Di hampir seluruh daerah, masyarakat terus terbelah ke dalam dua kubu politik yang saling “menantang.” Tidak ada hakim dalam “pertarungan” ini. Semua merasa benar menurut dirinya masing-masing. Perdebatan demi perdebatan pun kian menyeruak tajam tak terbendung.
Tidak ada yang bisa disalahkan dari gerak perbedaan semacam ini. Masing-masing pihak memiliki landasan pikir, logika dan keyakinan sendiri sebagai manifestasi kebebasan berpendapat dan bersikap. Mereka terus berjuang mempertahankan gagasan dan gerakannya sebagai wujud dari kebebasan politik yang dilindungi oleh konstitusi. Tidak ada yang bisa menghalangi, kecuali oleh mereka yang ingin mengkhianati demokrasi.
Di negara demokrasi, semua orang memiliki hak yang sama untuk mewujudkan kebebasannya selama ia tidak mengganggu kebebasan orang lain, sebab masing-masing memiliki kebebasan yang sama. Sikap pendukung Jokowi yang mengusung jargon “Jokowi Dua Periode” adalah kebebasan yang harus dihargai. Demikian pula dengan sikap pendukung Prabowo yang mengkampanyekan slogan “2019 Ganti Presiden” juga kebebasan yang semestinya dihormati. Dua Sikap politik ini seharusnya bisa berjalan beriringan tanpa saling mengutuk dan mengecam, apalagi sampai saling mengadang dan mengintimidasi.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini hanyalah fenomena wajar belaka pasca tumbangnya Orde Baru. Namun sayangnya ekspresi sikap politik ini telah bermuara pada munculnya “permusuhan” antarkubu sehingga aroma “kebencian” pun meletup. Kondisi semakin rumit ketika negara “tak mampu” bersikap adil terhadap dua ekspresi yang berbeda. Hal ini ditandai dengan terjadinya beberapa pembubaran aksi yang digerakkan oleh pendukung Prabowo yang notabene adalah “rival politik” dari “penguasa.”
Peran Intelektual
Kondisi yang tak kalah uniknya dalam persaingan antarpendukung capres kali ini adalah keterlibatan intelektual. Kalangan intelektual yang seharusnya menjadi penjaga kewarasan di negeri ini telah pun larut dalam pusaran pertarungan. Sadar atau pun tidak, kemampuan akademik yang mereka miliki telah menjadi “senjata” untuk saling “sikat” dan “sikut” sesamanya. Ketika satu intelektual mengajukan argumen yang tampak “memihak” pada satu kubu, intelektual dari kubu lainnya pun melakukan counter dengan argumen tandingan guna “mendukung” kubunya.
Pada prinsipnya dialektika semacam ini lumrah saja karena ia juga bagian dari kebebasan berpendapat. Bahkan beberapa televisi di tanah air telah memberi ruang kepada para intelektual untuk saling mengemukakan pendapat. Kenyataan ini tentunya berbeda dengan era Orde Baru yang sama sekali menutup ruang bagi diskusi-diskusi semacam ini.
Tapi kondisi menjadi “lucu” ketika para intelektual “bertengkar” di hadapan publik melalui media maupun di layar televisi. “Pertengkaran” intelektual ini meskipun terlihat “akademis” tetap saja tidak memberikan makna apa-apa, sebab masing-masing pihak tampak mempertahankan “egonya” masing-masing.
Parahnya lagi, “kerusuhan” antarintelektual ini juga terjadi di media sosial yang notabene adalah medium ekspresi terbesar di abad ini. Kita melihat sendiri bagaimana seorang oknum intelektual mengkritisi intelektual lain dengan pola-pola tendensius dan bahkan ad hominem sehingga bermuara pada “debat kusir” yang tak berujung.
Uniknya, argumen yang dikemukakan oleh para oknum intelektual dari kedua belah pihak ini kemudian dikonsumsi secara “liar” oleh para pendukung masing-masing kubu untuk melanjutkan “perdebatan” dalam konteks yang lebih luas, baik di medsos maupun di dunia nyata. Salah satu bentuk penyebaran argumen para oknum intelektual yang tampak mendukung capres tertentu adalah munculnya meme-meme yang memuat kalimat-kalimat mereka. Dalam kondisi ini “marwah” seorang intelektual pun memudar akibat argumen mereka yang terkadang terlalu “apologis” dan jauh dari “tradisi akademik.”
Pada prinsipnya kehadiran intelektual di pentas politik adalah keniscayaan. Melalui keterlibatan intelektual-lah “kewarasan politik” yang penuh “intrik” itu akan tetap terjaga. Tapi sayangnya beberapa oknum intelektual kita tidak mampu “menjaga diri” dalam pusaran “pertarungan” yang kian menajam.
Kita membutuhkan intelektual yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga memiliki kecerdasan emosional yang cukup. Intelektual yang dibutuhkan untuk menjaga “kewarasan” ini adalah mereka yang tetap setia pada pikiran-pikiran rasional dan gagasan-gagasan bijak, bukan intelektual yang “memaksakan” pikiran-pikiran emosional yang bertentangan dengan “nurani akademik.”
Tidak sepatutnya intelektual mengeluarkan statement yang dapat “memperkeruh” kondisi politik di tanah air. Dan tidak sepantasnya pula intelektual “mempertaruhkan” marwahnya hanya demi “kepentingan pragmatis” politik praktis yang hanya sesaat. Intelektual harus terus menjadi pengawal kewarasan agar masyarakat tidak terus terbelah dan saling “menantang.”
Kita berharap agar beberapa oknum intelektual kita yang selama ini telah “terjebak” atau “menjebakkan” diri dalam pusaran “pertarungan” dapat kembali menemukan kesadarannya. Rakyat Indonesia membutuhkan “petunjuk” bukan parade telunjuk yang saling menusuk.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment