Mangsa Kartu Celaka


Ilustrasi: publicdomainreview.org


Oleh: Tin Miswary

Namanya Wawan, begitu dia sering dipanggil teman-temannya. Tak jelas apakah itu nama aslinya, nama panggilan, samaran, atau mungkin nama palsu. Perawakannya sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak pula bisa disebut pendek. Kalau tidak salah tebak, mungkin tinggi badannya sekitar 165 cm. Jika lebih pun sedikit dan kalau kurang pun sedikit. Kulitnya lumayan putih untuk ukuran kulit berwarna.

Dalam lingkungan pemuda yang biasa-biasa saja, wajahnya terbilang ganteng. Dia selalu berpakaian rapi dengan baju dimasukkan ke dalam celana dan memakai sepatu ke mana pun ia pergi. Di bahunya selalu tersangkut tas kecil berwarna cokelat. Tas itu berisi pulpen, buku notes, kamera digital berukuran kecil dan sebuah kartu kecil bertuliskan pers.

Di kampungnya dia mengaku sebagai wartawan, tapi tak begitu jelas di koran mana dia bekerja. Dia memang sering menunjukkan kartu pers kepada orang-orang yang meragukan profesinya. Tapi orang kampungnya seperti kurang percaya, sebab koran yang dia sebut tidak pernah beredar di kampung itu. Wawan tidak peduli dengan semua itu. Dia tetap berkukuh di hadapan orang-orang kampungnya bahwa ia wartawan, kuli tinta yang mencatat berita.

*******

Pagi itu matahari bersinar terang. Cahayanya yang belum begitu panas tampak menyinari jambo jaga yang terbuat dari papan dan beratap rumbia. Terlihat seorang laki-laki sedang bersantai di jambo itu sembari menatap layar android. Dialah Wawan yang selama ini mengaku sebagai wartawan.

Dalam keasyikan itu, tiba-tiba android yang digenggamnya mengeluarkan suara. Wawan menerima telepon dari seseorang.

“Halo Murad!” terdengar suara Wawan sedikit keras.

Dia terus berbicara melalui android dalam posisi duduk dengan kaki lurus ke depan.

Tanganya kirinya terlihat memegang hp yang tertempel di telinga sementara tangan kanan seperti mencatat sesuatu. “Oke-oke, tunggu aku di sana.”

Setelah menutup telepon ia merebahkan badannya di jambo jaga dan membiarkan sebagian tubuhnya terkena sinaran matahari. Ujung kakinya tampak digoyang-goyang sementara tangan kanannya diletakkan di atas dahi. Dia seperti larut dalam lamuman. Entah apa yang ada di pikirannya, cuma dia dan Tuhan yang tahu.

Menjelang siang ia bangkit dari tidur dan duduk sejenak. Ternyata lamuman telah membuatnya benar-benar pulas. Jam menunjukkan pukul 12 siang. Ia melirik sepeda motornya yang terparkir di samping jambo jaga. Setelah mengucek-ngucek matanya beberapa menit, ia pun pergi ke suatu tempat menggunakan sepeda motor. Kononnya sepeda motor itu dikredit setahun lalu dan sampai sekarang belum lunas. Beberapa kali ia harus membayar denda karena telat menyetor cicilan. Ada kesalahan teknis pada saat dia mengajukan kredit sehingga dia harus menyetor setiap tanggal 27, menjelang akhir bulan. Sedangkan ia baru punya uang di awal bulan dan selalu habis menjelang tengah bulan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih enam kilo, Wawan berhenti di sebuah kantor dinas di pusat kota. Setelah memarkir sepeda motornya yang belum lunas, dia pun menelepon seseorang. “Di mana kamu, Rad?” Ternyata dia ingin bertemu Murad, nama yang tadinya ia sebut melalui telepon di jambo jaga.

Dari pintu depan kantor keluar seorang laki-laki berambut gondrong. Tubuhnya lebih pendek dari Wawan. Laki-laki itu juga membawa tas kecil yang tergantung di bahunya. Dia adalah Murad yang selama ini selalu menemani Wawan. Sama seperti Wawan, dia juga memiliki kartu bertulis pers yang tertempel di kantong bajunya yang berwarna putih.

“Bagaimana? Berhasil?” tanya Wawan.

“Gagal, Wan,” jawab Murad dengan wajah murung.

“Kenapa bisa gagal? Tidak kamu mainkan jurus yang pernah kamu ajarkan padaku?”

“Sudah, Wan. Tapi, Pak Jabat tampaknya tidak gentar dengan jurus kita.”

“Kalau begitu, ayo kita masuk ke dalam!” ucap Wawan sambil menarik tangan Murad.

Kedua laki-laki itu pun masuk ke dalam gedung bercat putih yang sedari tadi berdiri tegak di hadapan mereka. Gedung itu tak ubahnya seperti kotak persegi yang memanjang ke atas. Gedung khas pemerintah yang tidak memiliki seni sedikit pun. Tidak ada satu bagian pun yang bisa disebut indah.

Di luar gedung terlihat sepi. Jam menunjukkan pukul 12 siang. Cuaca siang itu panas menyengat. Sudah hampir dua bulan hujan tidak turun membasahi tanah yang semakin kering. Matahari bersinar dengan terangnya seolah ingin membakar seisi bumi tanpa ampun.

Suasana di dalam kantor juga sepi. Hanya beberapa pegawai yang tersisa. Sebagian sudah keluar untuk makan minum atau menjemput anak-anak mereka. Sebagian lagi mungkin pulang ke rumah untuk sekadar melepas lelah. Pukul 12 siang adalah waktu istirahat di kantor itu.

“Assalamualaikum!” Wawan mengucap salam sembari mengetuk pintu sebuah ruang.

Di pintu itu tertulis Kepala Dinas dengan tulisan balok yang tertempel di sebuah papan kecil berwarna cokelat. Ruang itu berada di lantai dua. Kantor itu sendiri berlantai tiga.

“Ya, silakan masuk,” terdengar suara dari dalam ruangan. Mungkin suara ajudan.

Wawan dan Murad pun melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam ruangan berukuran lebih kurang 5x6 meter. Lumayan luas untuk ukuran ruangan yang hanya dihuni tiga orang: kepala dinas, sekretaris dan ajudan.

“Silakan duduk!” ucap seorang laki-laki berpakaian dinas khas pegawai negeri. Usianya sekitar 50 tahun dengan tinggi badan 150 cm. Perutnya terlihat buncit. Tidak ada penjelasan apakah ia cacingan atau makan terlalu banyak. Mungkin berat badannya sekitar 70 kg. Dia menggunakan kacamata, berkumis tipis dan tidak berjenggot. Dialah Pak Jabat yang tadinya ditemui Murad.

“Begini,” Wawan memulai, “seperti sudah kita bicarakan dulu, Pak. Kami hanya minta supaya pengadaan ayam petelur itu kami yang urus. Kan dananya tidak besar. Hanya seratusan juta,” Wawan tampak berhikayat dengan raut wajah serius.

“Tidak bisa,” jawab Pak Jabat dengan suara agak tinggi. “Begini,” lanjut Pak Jabat dengan suara sedikit dilemahkan, “saya tidak mau pengadaan ini bermasalah dan tersandung hukum. Saya harus bekerja profesional dan menyerahkan pengadaan itu kepada pihak yang sudah berpengalaman. Saya tidak mau reputasi saya rusak hanya karena proyek.”

“Bapak ingat dengan pengadaan tahun lalu?” Wawan tampak memotong pembicaraan.

“Apa menurut Bapak kasus itu harus diangkat? Atau, bagaimana?” Mendengar pertanyaan Wawan, Pak Jabat tampak terkejut. Dia terlihat membetulkan letak kacamatanya yang sedari tadi menukik.

“Kami tahu betul keterlibatan Bapak,” sambung Wawan. “Ada sejumlah fee yang Bapak terima tahun lalu. Kami punya data lengkap, Pak! Apa perlu kami umumkan?”

Kata-kata Wawan terdengar seperti petir di telinga Pak Jabat. Dia mengambil sapu tangan dan menyeka mukanya. Titik-titik keringat terlihat jelas di keningnya, padahal AC ruangan itu baru saja diganti sebulan lalu. Masih cukup dingin.

“Ani, Buatkan kopi! Tiga gelas.” Pak Jabat memanggil sekretarisnya yang dari tadi bersembunyi di belakang layar komputer sambil menguping.

Seketika saja, mereka bertiga: Wawan, Murad dan Pak Jabat terlihat diam. Hanya suara napas mereka yang terdengar naik-turun. Mungkin mereka menunggu kopi dihidangkan agar otak yang tadinya beku bisa cair kembali.

Dari arah belakang tampak seorang perempuan muda berkulit putih membawa tiga gelas kopi. “Silakan, Pak!” terdengar suara lembut keluar dari mulut Ani yang kemudian kembali bersembunyi di belakang layar komputer berukuran besar. Murad tampak melirik ketika perempuan itu membelakangi mereka.

“Bagaimana, Pak?” Wawan kembali mengajukan pertanyaan sambil meletakkan kartu bertulis pers di atas meja.

“Baik, tapi kamu harus menjamin kasus tahun lalu itu tidak muncul di koran,” jawab Pak Jabat sambil terus menyeka mukanya dengan sapu tangan. “Tenang, aman, Pak.” Murad yang dari tadi diam tampak angkat suara.

Setelah tercapai kesepakatan, akhirnya Wawan dan Murad permisi dan keluar dari ruangan. Jam menunjukkan pukul 2 siang. Artinya mereka telah menghabiskan waktu di ruangan itu selama dua jam. Kondisi kantor sudah kembali ramai. Beberapa pegawai tampak sibuk di meja masing-masing.

Cuaca di luar masih panas. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Wawan dan Murad meninggalkan kantor dengan sepeda motor masing-masing. Wawan ke Barat dan Murad ke Timur. Sebelum berangkat, Wawan berpesan kepada Murad agar ia tidak lagi ke kantor itu, sebab urusan sudah beres.

******

Enam bulan kemudian.

Sebuah koran ternama di daerah itu menulis berita: “Polisi Ungkap Perselingkuhan Oknum Pejabat dan Wartawan Bodrex.”

Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata Wawan bukan wartawan. Dia mendapat kartu bertulis pers dari Murad yang ternyata palsu. Sementara Murad sendiri sudah lama dipecat dari wartawan karena sering memalak beberapa pejabat. Selama ini Murad menggunakan keberanian Wawan untuk mencari mangsa berbekal kartu pers yang dicetak di sebuah toko fotocopi.

Berita koran itu segera menimbulkan kehebohan di seluruh kabupaten. Nama Wawan dan Pak Jabat pun semakin populer. Foto mereka berdua juga viral di media sosial. Mungkin kepopuleran mereka sudah melebihi ketenaran seorang caleg yang tiba-tiba dermawan, atau calon bupati yang tiba-tiba jadi ustaz.

********

Cuaca siang itu sangat panas. Mungkin bebatuan di sungai pun berteriak mangaduh kepanasan dan pohon-pohon memprotes beberapa anak manusia yang berlindung di bawah rimbun daunnya. Cuma saja suara itu tidak kedengaran. Bisa jadi telinga manusia yang tuli atau mereka berteriak dalam diam. Entahlah.

Di sebuah warkop tampak sepasang anak manusia sedang larut dalam perbincangan. Si laki-laki terlihat menunjuk-nunjuk koran yang ada di atas meja. Sementara si perempuan tampak tersenyum membaca judul berita. Mereka adalah Murad dan Ani. Murad telah melaporkan Wawan ke polisi dan Ani melaporkan Pak Jabat.

Ternyata Wawan telah memangkas jatah Murad dengan dalih Pak Jabat meminta fee terlalu besar. Sementara Pak Jabat mempermainkan Ani tanpa memberi sepeser pun dari fee pengadaan ayam, karena Ani ternyata honorer.

******

Satu tahun kemudian.

Murad dan Ani telah menikah. Dalam satu tahun terakhir, mantra kartu celaka bertulis pers yang dulunya diajarkan kepada Wawan telah diturunkan kepada Ani. Mulai saat itu Ani memainkan peran Wawan, menemani Murad untuk bergerilya di kantor-kantor pemerintah.

Mereka mencari pejabat-pejabat korup dengan bermodal kartu bertulis pers.

Pada suatu malam, setelah memadamkan lampu kamar, Murad mencium kening Ani, bekas sekretaris Pak Jabat yang sudah menjadi istrinya. “Mari tidur sayang. Semoga besok pagi Tuhan masih menyisakan pejabat-pejabat korup untuk kita,” bisik Murad sambil menarik selimut.

Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya pertanda kemarau telah berakhir. “Tampaknya Tuhan mendengar doa kita,” desis Ani yang kemudian lelap.

Bireuen, 16 September 2018

Cerpen ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia.


loading...

No comments