Jejak Setapak Tanah Rencong; Sisi Lain Sejarah Konflik Aceh

Oleh: Khairil Miswar





Bireuen, 14 Januari 2019

Resensi Buku
Judul Buku : Jejak Setapak Tanah Rencong
Pengarang : Siti Rahmah
Penerbit : Maslamah Publishing
Cetakan : 2018
Tebal Buku : xiii + 270 halaman
Harga Buku : 50.000

Ada banyak peristiwa yang terbentang dalam rentang waktu panjang konflik Aceh. Kemunculan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976 yang diproklamirkan Hasan Tiro telah memunculkan perubahan kondisi sosial politik dan terganggunya keamanan Aceh selama hampir 30 tahun. Konflik antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia sejak 1976 sampai dengan 2005 telah menghadirkan banyak peristiwa yang tidak semuanya diketahui publik. Peristiwa-peristiwa itu terekam dengan baik di memori sebagian masyarakat yang merasakan sendiri pedihnya perjalanan konflik Aceh yang tidak hanya mengorbankan jiwa, tapi juga harta benda dan suramnya masa depan anak-anak Aceh yang lahir, hidup dan tumbuh di masa konflik dalam letusan senjata dan meriam.

Sejauh ini memang sudah banyak buku-buku yang mengulas tentang perjalanan konflik Aceh, baik yang ditulis oleh penulis dalam negeri maupun para penulis luar negeri yang menaruh minat pada “bencana kemanusiaan” dan perang yang berlangsung di Aceh masa itu.

Buku-buku itu tidak hanya ditulis oleh para peneliti yang notabene adalah outsider, tetapi telah banyak pula insider yang menulis kisah demi kisah yang dialaminya sendiri dalam masa perang.

Tidak hanya buku-buku non fiksi, beberapa novelis juga telah mengangkat kisah ketegangan Aceh-Jakarta ini dalam bentuk karya fiksi. Salah satunya adalah novel berjudul “Lampuki” yang ditulis Arafat Nur dengan latar konflik Aceh (2011).

Buku-buku sebelumnya tentang konflik Aceh cenderung berisi kisah-kisah besar yang sebagiannya menyerupai reportase perang. Buku-buku itu pada umumnya membicarakan peran-peran yang dimainkan tokoh-tokoh besar yang sudah dikenal publik. Bahkan ada yang menulis dalam bentuk biografi atau autobiografi. Buku-buku yang berkisah tentang perang dan perdamaian Aceh di antaranya: TNI dan Perdamaian di Aceh (Soleman B. Ponto, 2013), Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki (Hamid Awaluddin, 2008), Ombak Perdamaian: Inisiatif dan Peran JK Mendamaikan Aceh (Fenty Effendy, 2015) dan To See the Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh (Farid Husain).

Adapun buku yang ditulis Siti Rahmah dengan tajuk “Jejak Setapak Tanah Rencong” ini menawarkan warna lain dengan fokus pada sosok-sosok yang justru “termarjinalkan.” Dalam buku ini, kecuali Bambang Darmono dan Supiadin, Siti Rahmah memfokuskan perhatiannya pada sosok-sosok – yang oleh pandangan maenstream dianggap sebagai “orang-orang kecil.”

Meskipun dianggap sebagai “orang kecil,” namun sosok-sosok dalam buku ini juga turut memainkan peran yang tak kalah penting, baik dalam perang maupun dalam proses perdamaian Aceh yang bermuara pada ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) GAM-RI di Helsinki.

Seperti diketahui dalam penyelesaian konflik Aceh tidak hanya melibatkan tokoh-tokoh GAM, tetapi elemen masyarakat sipil juga memainkan peran yang tak kalah penting. Di antara elemen sipil yang terlibat aktif dalam penyelesaian konflik Aceh adalah para aktivis mahasiswa.

Dalam buku ini, Siti Rahmah mencatat peran seorang aktivis Aceh bernama Kautsar yang saat itu menjadi tokoh sentral Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA) yang sering melakukan demonstrasi di Banda Aceh (halaman 27). Pada 2002, Kautsar sempat hadir sebagai peninjau dalam perundingan GAM-RI di Jenewa (halaman 29).

Sosok non-militer lainnya yang secara tidak langsung juga berperan dalam proses perdamaian Aceh adalah Said Aziz, pegawai negeri Departemen Pertambangan. Aziz dikenal sebagai inisiator yang melahirkan Forum Masyarakat Aceh se-Jawa (Fomaja). Siti Rahmah meyakini bahwa organisasi ini turut berperan dalam mendesak para pihak untuk menandatangani MoU di Helsinki (halaman 51).

Dalam buku ini juga dikisahkan tentang pasukan wanita GAM yang dikenal dengan Pasukan Inong Balee. Siti Rahmah mengangkat peran sosok wanita muda bernama Marlina yang bergabung dalam pasukan wanita GAM (halaman 104). Seperti halnya pasukan laki-laki, pasukan wanita juga diberikan pendidikan militer untuk dapat bertempur dengan pasukan TNI yang dalam terminologi GAM waktu itu dinamakan sebagai si Pai.

Sosok lainnya yang menjadi saksi dalam proses perdamaian di Aceh adalah para penerjemah. Beberapa perundingan yang difasilitasi oleh lembaga asing tentunya membutuhkan peran penerjemah demi kelancaran komunikasi antarpihak. Dalam buku ini, Siti Rahmah mencatat peran Amrad yang pernah menjadi penerjemah untuk Henry Dunant Centre (HDC), organisasi kemanusiaan yang berpusat di Swiss. Selama menjadi penerjemah, Amrad menyaksikan sejumlah peristiwa penting yang melibatkan dirinya sebagai “aktor penting” dalam kelancaran komunikasi para pihak.

***

Siti Rahmah adalah salah seorang penulis yang terpilih sebagai peneliti pada program Conflict and Development di World Bank dan pernah bekerja pada Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Syiah Kuala. Buku “Jejak Setapak Tanah Rencong” adalah buku keempat yang ditulisnya. Pada 2005 ia pernah menerbitkan buku dengan tajuk “Aceh dalam Lara dan Kebangkitan.”

Tulisan-tulisan berbentuk feature yang disajikan Siti Rahmah dalam buku “Jejak Setapak Tanah Rencong” tidak hanya memberi informasi penting bagi pegiat sejarah, khususnya terkait konflik Aceh, tetapi juga cukup renyah untuk dibaca di waktu-waktu santai. Bahasa ringan yang digunakan buku ini menjadi salah satu kelebihan sehingga bisa dikonsumsi oleh setiap lapisan publik tanpa harus memandang kelas sosial, apalagi kelas pendidikan. Buku ini akan membawa memori pembaca untuk kembali sejenak pada saat konflik Aceh sedang berlangsung.

Sebagai hasil karya anak manusia, buku ini juga memiliki beberapa kekurangan – yang jika dibandingkan dengan manfaatnya tentu dapat “dimaafkan.” Kita akan menemukan ada sedikit pengulangan dalam beberapa bagian buku ini. Pada halaman 63 misalnya, artikel dengan judul “Keberanian Perempuan yang Tak Luntur” memiliki “kemiripan” dengan artikel “Perempuan di Garis Depan” (halaman 151). Kedua artikel ini membahas tentang sosok Farah, seorang aktivis perempuan Aceh. Meskipun konten yang disajikan berbeda, namun kedua artikel tersebut mengulas peran sosok yang sama. Seharusnya penulis dapat menggabungkan kedua artikel dalam sebuah tulisan yang padu dan tidak terpisah.

Terakhir, buku ini sangat direkomendasikan kepada siapa saja yang ingin mengetahui perjalanan konflik Aceh serta peran yang dimainkan oleh “orang-orang kecil” yang selama ini luput dari pengetahuan publik.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments