Etika Debat
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 20 Februari 2019
Menjelang Pilpres yang akan digelar pada April mendatang, pihak KPU selaku penyelenggara pemilu telah sukses melaksanakan debat capres dalam dua putaran. Debat pertama telah berlangsung pada 17 Januari lalu dan kemudian dilanjutkan dengan debat kedua pada 17 Februari 2019. Beberapa pengamat menyebut debat kedua yang baru saja digelar tampak lebih “berkualitas” dari debat pertama. Salah satu indikator dari penilaian ini didasarkan pada tidak adanya “bocoran” pertanyaan seperti pada debat pertama.
Selain itu, secara subjektif, para pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf juga tampak bereuforia pasca debat kedua. Menurut mereka, dalam debat kedua yang hanya menghadirkan capres tanpa cawapres, Jokowi tampak lebih menguasai panggung debat dengan kemampuannya menghadirkan data-data secara detail. Jokowi juga disebut-sebut tampil penuh percaya diri dan optimis dengan jawaban dan narasi yang ia ajukan. Sementara Prabowo, masih menurut mereka, terlihat tampil kurang maksimal. Prabowo juga disebut kurang menguasai panggung sehingga ia banyak melontarkan pernyataan “menyerah” dengan mendukung pernyataan Jokowi.
Terlepas dari penilaian subjektif tersebut, dalam kenyataannya setelah ditelusuri beberapa data yang disampaikan Jokowi di arena debat justru keliru. Di antaranya adalah persoalan impor dan statemen terkait tidak adanya kebakaran hutan. Data-data tersebut kemudian mendapat koreksi dari publik dan beberapa pengamat pasca debat. Kekeliruan data ini juga ramai diperbincangkan di media sosial.
Dalam debat putaran kedua, Prabowo juga dituding sempat “kebingunan” ketika Jokowi menanyakan soal unicorn. Kondisi ini juga pernah terjadi dalam debat capres pada 2014 lalu, di mana saat itu Prabowo tampak tidak mengetahui istilah TPID yang disebut Jokowi. Di sini kita melihat fungsi moderator tidak maksimal. Idealnya fungsi moderator tidak hanya menjaga lalulintas debat dan efisiensi waktu, tapi juga memastikan efektivitas debat agar berjalan lancar. Moderator bisa mengambil peran ketika ada salah satu capres atau cawapres yang tidak familiar dengan istilah teknis tertentu dengan cara mendeskripsikan istilah tersebut agar laju debat tidak macet. Penjelasan tentang istilah teknis ini tentunya tidak akan mengurangi esensi debat sebab istilah teknis bukan bagian dari substansi.
Etika
Salah satu aspek lainnya yang sering luput dari debat capres Pilpres 2019 adalah soal etika debat. Sebagai bagian dari kegiatan yang bernuansa akademik, para kontestan seharusnya konsisten dengan etika debat yang telah ditentukan pihak penyelenggara pemilu. Dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu terdapat sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh setiap kontestan, salah satunya tindakan menyerang personal. Larangan menyerang pribadi (ad hominem) juga disebut dalam aturan debat yang dibuat KPU.
Meskipun telah diatur dan disepakati oleh para kontestan, namun praktik penyerangan pribadi ini masih saja terjadi dalam debat capres/cawapres. Sebagai contoh, pada Debat Capres putaran pertama, capres Jokowi diduga sempat melakukan “serangan” pribadi terhadap capres Prabowo. Saat itu, Jokowi secara “tendensius” mempertanyakan sikap Prabowo yang menandatangi (menyetujui) caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra. Serangan ini terkait dengan persoalan internal Gerindra yang seharusnya berada di luar domain debat.
Dugaan serangan pribadi juga kembali berulang pada debat capres putaran kedua. Saat itu Jokowi menyebut Prabowo memiliki sejumlah lahan di Kalimantan Timur dan Aceh. Dia juga mengatakan bahwa pembagian lahan seperti itu bukan terjadi di masa kepemimpinannya.
Dari video yang beredar diketahui bahwa pernyataan Jokowi ini sempat menimbulkan “kegaduhan” di ruang debat, di mana para pendukung Prabowo merasa keberatan dengan pernyataan yang bersifat personal tersebut.
Menyikapi “serangan” soal penguasaan lahan tersebut, di akhir debat saat closing statement, Prabowo mengakui penguasaan lahan tersebut sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) dan dia mengaku siap mengembalikan jika negara meminta. Terkait keberadaan lahan ini kemudian juga dikuatkan oleh keterangan Wapres Yusuf Kalla yang menyebut Prabowo membelinya secara cash pada tahun 2004.
Terlepas dari layak tidaknya Prabowo memiliki lahan seluas itu, yang jelas “serangan” Jokowi dalam debat putaran kedua adalah bentuk argumentum ad hominem. Seperti diketahui tindakan ad hominem adalah salah satu bentuk kesesatan logika yang dilarang dalam debat.
Disadari atau pun tidak, tindakan ad hominem dalam praktiknya bertujuan menunjukkan sifat atau karakter “negatif” dari lawan debat sebagai bentuk pelemahan. Tindakan ini biasanya dilakukan pada saat si “pelaku” kehabisan argumen logis demi memenangkan perdebatan secara tidak sehat.
Seharusnya sebagai petahana Jokowi tetap menjaga etika dalam debat sehingga tindakan ad hominem tidak menjadi blunder. Seperti diketahui penguasaan lahan tidak hanya melibatkan Prabowo, tetapi juga sejumlah sosok lainnya yang sebagiannya juga menjadi pendukung Jokowi dalam Pilpres 2019. Seandainya penguasaan lahan semisal HGU dianggap melanggar hukum, Jokowi selaku presiden bisa melakukan langkah-langkah strategis untuk mengembalikan lahan tersebut kepada negara dan kemudian kepada rakyat, bukan justru dijadikan “trik” untuk melemahkan lawan di panggung debat capres.
Harapan Kepada KPU
Informasi terakhir menyebut pihak pendukung Prabowo telah melaporkan tindakan Jokowi kepada pengawas pemilu. Jokowi dianggap telah melakukan pelanggaran etika dalam debat dengan menyinggung persoalan personal. Meskipun nantinya tindakan “penyerangan” pribadi ini tidak mendapat sanksi dengan dalih tidak diatur khusus dalam UU Pemilu, namun setidaknya hal tersebut menjadi catatan bagi KPU selaku penyelenggara pemilu.
Menyikapi kejadian kurang fair tersebut, pihak KPU sudah semestinya melakukan langkah-langkah pencegahan pada debat selanjutnya. Hal ini penting diperhatikan oleh KPU agar terciptanya suasana debat yang fokus pada substansi pembangunan Indonesia ke depan, bukan sebagai ajang saling serang antarcapres.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
Ilustrasi: depositphotos.com |
Bireuen, 20 Februari 2019
Menjelang Pilpres yang akan digelar pada April mendatang, pihak KPU selaku penyelenggara pemilu telah sukses melaksanakan debat capres dalam dua putaran. Debat pertama telah berlangsung pada 17 Januari lalu dan kemudian dilanjutkan dengan debat kedua pada 17 Februari 2019. Beberapa pengamat menyebut debat kedua yang baru saja digelar tampak lebih “berkualitas” dari debat pertama. Salah satu indikator dari penilaian ini didasarkan pada tidak adanya “bocoran” pertanyaan seperti pada debat pertama.
Selain itu, secara subjektif, para pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf juga tampak bereuforia pasca debat kedua. Menurut mereka, dalam debat kedua yang hanya menghadirkan capres tanpa cawapres, Jokowi tampak lebih menguasai panggung debat dengan kemampuannya menghadirkan data-data secara detail. Jokowi juga disebut-sebut tampil penuh percaya diri dan optimis dengan jawaban dan narasi yang ia ajukan. Sementara Prabowo, masih menurut mereka, terlihat tampil kurang maksimal. Prabowo juga disebut kurang menguasai panggung sehingga ia banyak melontarkan pernyataan “menyerah” dengan mendukung pernyataan Jokowi.
Terlepas dari penilaian subjektif tersebut, dalam kenyataannya setelah ditelusuri beberapa data yang disampaikan Jokowi di arena debat justru keliru. Di antaranya adalah persoalan impor dan statemen terkait tidak adanya kebakaran hutan. Data-data tersebut kemudian mendapat koreksi dari publik dan beberapa pengamat pasca debat. Kekeliruan data ini juga ramai diperbincangkan di media sosial.
Dalam debat putaran kedua, Prabowo juga dituding sempat “kebingunan” ketika Jokowi menanyakan soal unicorn. Kondisi ini juga pernah terjadi dalam debat capres pada 2014 lalu, di mana saat itu Prabowo tampak tidak mengetahui istilah TPID yang disebut Jokowi. Di sini kita melihat fungsi moderator tidak maksimal. Idealnya fungsi moderator tidak hanya menjaga lalulintas debat dan efisiensi waktu, tapi juga memastikan efektivitas debat agar berjalan lancar. Moderator bisa mengambil peran ketika ada salah satu capres atau cawapres yang tidak familiar dengan istilah teknis tertentu dengan cara mendeskripsikan istilah tersebut agar laju debat tidak macet. Penjelasan tentang istilah teknis ini tentunya tidak akan mengurangi esensi debat sebab istilah teknis bukan bagian dari substansi.
Etika
Salah satu aspek lainnya yang sering luput dari debat capres Pilpres 2019 adalah soal etika debat. Sebagai bagian dari kegiatan yang bernuansa akademik, para kontestan seharusnya konsisten dengan etika debat yang telah ditentukan pihak penyelenggara pemilu. Dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu terdapat sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh setiap kontestan, salah satunya tindakan menyerang personal. Larangan menyerang pribadi (ad hominem) juga disebut dalam aturan debat yang dibuat KPU.
Meskipun telah diatur dan disepakati oleh para kontestan, namun praktik penyerangan pribadi ini masih saja terjadi dalam debat capres/cawapres. Sebagai contoh, pada Debat Capres putaran pertama, capres Jokowi diduga sempat melakukan “serangan” pribadi terhadap capres Prabowo. Saat itu, Jokowi secara “tendensius” mempertanyakan sikap Prabowo yang menandatangi (menyetujui) caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra. Serangan ini terkait dengan persoalan internal Gerindra yang seharusnya berada di luar domain debat.
Dugaan serangan pribadi juga kembali berulang pada debat capres putaran kedua. Saat itu Jokowi menyebut Prabowo memiliki sejumlah lahan di Kalimantan Timur dan Aceh. Dia juga mengatakan bahwa pembagian lahan seperti itu bukan terjadi di masa kepemimpinannya.
Dari video yang beredar diketahui bahwa pernyataan Jokowi ini sempat menimbulkan “kegaduhan” di ruang debat, di mana para pendukung Prabowo merasa keberatan dengan pernyataan yang bersifat personal tersebut.
Menyikapi “serangan” soal penguasaan lahan tersebut, di akhir debat saat closing statement, Prabowo mengakui penguasaan lahan tersebut sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) dan dia mengaku siap mengembalikan jika negara meminta. Terkait keberadaan lahan ini kemudian juga dikuatkan oleh keterangan Wapres Yusuf Kalla yang menyebut Prabowo membelinya secara cash pada tahun 2004.
Terlepas dari layak tidaknya Prabowo memiliki lahan seluas itu, yang jelas “serangan” Jokowi dalam debat putaran kedua adalah bentuk argumentum ad hominem. Seperti diketahui tindakan ad hominem adalah salah satu bentuk kesesatan logika yang dilarang dalam debat.
Disadari atau pun tidak, tindakan ad hominem dalam praktiknya bertujuan menunjukkan sifat atau karakter “negatif” dari lawan debat sebagai bentuk pelemahan. Tindakan ini biasanya dilakukan pada saat si “pelaku” kehabisan argumen logis demi memenangkan perdebatan secara tidak sehat.
Seharusnya sebagai petahana Jokowi tetap menjaga etika dalam debat sehingga tindakan ad hominem tidak menjadi blunder. Seperti diketahui penguasaan lahan tidak hanya melibatkan Prabowo, tetapi juga sejumlah sosok lainnya yang sebagiannya juga menjadi pendukung Jokowi dalam Pilpres 2019. Seandainya penguasaan lahan semisal HGU dianggap melanggar hukum, Jokowi selaku presiden bisa melakukan langkah-langkah strategis untuk mengembalikan lahan tersebut kepada negara dan kemudian kepada rakyat, bukan justru dijadikan “trik” untuk melemahkan lawan di panggung debat capres.
Harapan Kepada KPU
Informasi terakhir menyebut pihak pendukung Prabowo telah melaporkan tindakan Jokowi kepada pengawas pemilu. Jokowi dianggap telah melakukan pelanggaran etika dalam debat dengan menyinggung persoalan personal. Meskipun nantinya tindakan “penyerangan” pribadi ini tidak mendapat sanksi dengan dalih tidak diatur khusus dalam UU Pemilu, namun setidaknya hal tersebut menjadi catatan bagi KPU selaku penyelenggara pemilu.
Menyikapi kejadian kurang fair tersebut, pihak KPU sudah semestinya melakukan langkah-langkah pencegahan pada debat selanjutnya. Hal ini penting diperhatikan oleh KPU agar terciptanya suasana debat yang fokus pada substansi pembangunan Indonesia ke depan, bukan sebagai ajang saling serang antarcapres.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment