Aceh Serambi Hoax?

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: dreamstime


Bireuen, 21 Januari 2019

Di era media sosial seperti saat ini setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memproduksi, mendistribusi dan mengonsumsi hoax. Pada era sebelum 2000-an, penyebaran hoax masih dilakukan dengan cara-cara manual, tapi tidak sedikit juga yang kemudian viral.

Saat itu penyebaran hoax semisal wasiat Syaikh Ahmad, “si penjaga kubur Nabi” dilakukan melalui kertas fotokopian yang disebar di pusat-pusat keramaian. Uniknya setelah melalui usaha bertahun-tahun, penyebaran hoax legendaris tersebut termasuk sukses dan bahkan viral di masanya; viral dalam wujud sebenarnya, tanpa bantuan teknologi yang memadai.

Berbeda dengan era tersebut, saat ini teknis distribusi hoax sudah semakin terbantu dengan perkembangan teknologi informasi sehingga dalam hitungan detik saja sudah berpotensi viral ke seluruh pelosok dunia. Meskipun belum melalui sensus resmi, namun menurut beberapa sumber, pengguna media sosial di Indonesia terbilang cukup tinggi. Fakta ini tentunya sangat berdampak pada “masifnya” viralisasi Hoax di Indonesia.

Aceh yang sampai saat ini masih menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia juga tak luput dari viralisasi hoax di media sosial. Sebagai rakyat Aceh, sebagian kita juga berpotensi menampilkan diri sebagai produsen hoax paling produktif. Hasil produksi hoax itu kemudian disebarkan oleh oknum masyarakat tanpa atau dengan tujuan tertentu sehingga hoax tersebut akhirnya dikonsumsi mentah-mentah oleh sebagian masyarakat lainnya yang nalar kritisnya telah tumpul. Kelompok terakhir bisa disebut sebagai korban hoax, sementara kelompok pertama dan kedua adalah pelaku (produsen dan distributor).

Baru-baru ini dalam sebuah laporan, Aceh disebut sebagai salah satu provinsi yang paling banyak menerima hoax alias kabar bohong. CNN Indonesia (18/01/18) melaporkan hasil survei yang dilakukan peneliti LIPI bahwa selain Jawa Barat dan Banten, Provinsi Aceh juga masuk dalam kategori daerah dengan tingkat penerimaan hoax paling tinggi di Indonesia. Hoax dimaksud terkait dengan kebangkitan komunisme, kriminalisasi ulama dan isu masuknya jutaan tenaga kerja asing dari Cina.

Di satu sisi, tudingan ini tentunya sangat menohok, menusuk dan bahkan menjatuhkan kredibilitas Aceh yang kononnya provinsi “bersyariat.” Secara umum “tuduhan” tersebut adalah tamparan keras yang tidak hanya menoreh kepedihan, tapi juga mematahkan rahang-rahang kehormatan Aceh yang selama ini kita sanjung dan puja. Namun demikian di sisi lain penilaian ini menjadi salah satu wasilah bagi masyarakat Aceh untuk melakukan introspeksi diri, khususnya bagi oknum masyarakat yang telah menetap di dunia maya dan “ber-KTP” netizen.

Hoax di Aceh

Seperti telah disinggung di awal bahwa penyebaran kabar bohong alias hoax bukanlah “petaka” baru yang berkembang di Indonesia, khususnya di Aceh. Dalam berbagai bentuknya yang terus bermetamorfosis, penyebaran hoax telah menemani perjalan bangsa ini dari masa ke masa.

Aceh sebagai provinsi paling barat dari jengkal Indonesia sepanjang sejarahnya juga tidak terlepas dari pergerakan hoax yang bertubi-tubi. Di masa-masa revolusi sebagian kalangan di Aceh juga meyakini bahwa meletusnya Perang Cumbok pada tahun 1946 juga diawali oleh adanya hoax tentang uleebalang yang disebut-sebut ingin mengundang kembali Belanda ke Aceh. Terlepas dari layak tidaknya informasi tersebut dikategorikan sebagai hoax, yang jelas sebagian kalangan, khususnya dari kaum uleebalang percaya bahwa informasi tersebut hanya hoax belaka yang kemudian memicu terjadinya “perang saudara.”

Pada tahun-tahun selanjutnya, khususnya pasca Kudeta PKI 1965 di Jakarta, hoax juga turut memainkan perannya sehingga banyak masyarakat yang diyakini tidak bersalah kemudian menjadi korban pembantaian. Beberapa sumber menyebut pembantaian terbanyak terjadi di Aceh Tengah, di mana orang-orang yang dicurigai sebagai PKI ditangkap dan dieksekusi oleh massa dan aparat negara. Perlu ditegaskan bahwa domain hoax bukan pada peristiwa kudeta itu sendiri, tetapi pada dugaan keterlibatan beberapa sosok yang dianggap sebagai PKI.

Beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2015 Aceh juga kembali dilanda oleh hoax “terbesar” yang menyebut adanya pergerakan Wahhabi yang akan membunuh ulama Aceh dan juga menyebarkan paham sesat. Hoax ini sukses memantik emosi massa yang kemudian terlibat dalam aksi Parade Aswaja di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Terlepas adanya kepentingan politik dalam parade dimaksud, yang jelas hoax juga ikut bermain dalam aksi massa tersebut.

Saat ini, diakui atau pun tidak, peredaran hoax terkait pilpres juga terbilang cukup tinggi di Aceh, khususnya melalui media sosial. Pemandangan ini dapat kita saksikan sendiri di media sosial di mana masing-masing oknum pendukung capres saling melemparkan hoax kepada lawan politiknya. Bahkan beberapa waktu lalu salah seorang oknum masyarakat sempat mengedit foto Ma’ruf Amin yang kemudian tersebar di media sosial. Seperti disitir LIPI, isu kebangkitan PKI, kriminalisasi ulama dan TKA Cina tersebar secara lumayan di Aceh yang melibatkan para oknum netizen.

Ada banyak sebab kenapa hoax begitu mudah tersebar dan dikonsumsi oleh sebagian oknum masyarakat. Salah satunya sebagaimana disebut sebagian kalangan bahwa tradisi berpikir kritis telah memudar atau bahkan minus sama sekali di kalangan oknum netizen. Kondisi “malas berpikir” ini kemudian berdampak pada “bebalnya” pikiran seseorang sehingga informasi yang masuk tidak lagi melalui seleksi. Selain itu “rendahnya” kemampuan literasi juga turut mendorong seseorang untuk melakukan simplifikasi terhadap informasi yang diterimanya tanpa berusaha melakukan pelacakan pada sumber-sumber otoritatif.

Penyebaran hoax semakin diperparah oleh keterlibatan beberapa oknum intelektual, akademisi, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang entah sengaja atau tidak juga turut “melegitimasi” keberadaan hoax demi kepentingan politik pihak tertentu. Penyebaran hoax atau minimal aksi “pembiaran” terhadap hoax yang berkeliaran oleh pihak-pihak tersebut secara tidak langsung telah memberi energi kepada oknum “malas pikir” dan “malas baca” untuk terus membusungkan dada dengan kabar bohong.

Menyikapi penilaian peneliti LIPI yang menyebut Aceh sebagai salah satu wilayah penyebaran hoax tertinggi, netizen Aceh – tanpa perlu “memaki” riset – harus segera melakukan evaluasi terkait aktivitasnya di media sosial. Untuk menjamin tetap kukuhnya label “Serambi Makkah” bagi Aceh; pemerintah, parlemen dan tokoh-tokoh agama juga harus mengambil peran meminimalisasi penyebaran hoax agar gelar Serambi Makkah tidak dipelesetkan menjadi “Serambi Hoax.”

Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia. 


loading...

No comments