Irwandi dan Kehormatan yang Terenggut
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 11 Juli 2018
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang dikenal “nyentrik” akhirnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 5 Juli lalu, bertepatan dengan satu tahun kepemimpinannya di periode kedua. Awalnya, sebagian publik ragu dengan informasi yang sempat beredar melalui media sosial ini. Keraguan ini baru pudar pada saat KPK mengumumkan status tersangka bagi Irwandi.
Sebagian kalangan mengaku belum percaya dengan kejadian ini dan mereka tidak meyakini bahwa Irwandi telah melakukan korupsi sebagaimana “dituduhkan” KPK. Berdasarkan alasan ini mereka terus memberikan dukungan moral kepada Irwandi, tidak hanya melalui seruan di media sosial, tapi juga melalui aksi massa.
Sementara itu, sebagian kalangan lainnya menyebut penangkapan Irwandi harus menjadi awal bagi terbongkarnya seluruh praktik korupsi di Aceh. Mereka meminta agar KPK tidak hanya berhenti pada penangkapan Irwandi, tapi harus terus melakukan upaya-upaya serius guna membersihkan Aceh dari perilaku koruptif yang diduga telah “merajalela” di tanah Serambi Makkah.
Namun, terlepas dari semua itu, pasca tertangkap KPK, simpati publik kepada Irwandi memang terlihat mengalir deras. Jasa-jasa Irwandi terhadap Aceh pun kembali dimunculkan ke permukaan sebagai bentuk dukungan moral mereka kepada Irwandi yang memang dikenal dekat dengan rakyat.
Dalam kenyataannya, Irwandi memang punya kontribusi besar untuk Aceh dan Indonesia. Dia terlibat dalam pengumpulan senjata pasca konflik Aceh dalam Aceh Monitoring Mission sebagai Senior Representatif dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Irwandi juga punya peran dalam menghalau jaringan terorisme yang mengancam stabilitas nasional sehingga jaringan dimaksud gagal masuk ke Aceh. Kedekatannya dengan rakyat juga terlihat sejak dia menjabat sebagai Gubernur Aceh pada periode sebelumnya (2006-2011). Rumah pribadinya di Banda Aceh hampir tidak pernah sepi dengan kunjungan masyarakat dari beberapa kabupaten di Aceh. Di sana mereka menyampaikan keluh-kesahnya kepada mantan GAM ini. Dari sejumlah informasi yang penulis peroleh, Irwandi tidak hanya melayani mereka, tapi juga memberikan bantuan financial, minimal biaya transport untuk kembali ke daerahnya.
Di periode pertama kepemimpinannya, Irwandi juga disebut-sebut sukses melahirkan pelayanan kesehatan “terbaik” kepada seluruh masyarakat Aceh di rumah sakit pemerintah melalui program JKA (Jaminan Kesehatan Aceh). Menurut banyak kalangan, program JKA adalah salah satu bukti konkret keseriusan Irwandi dalam memperjuangkan kesehatan masyarakat Aceh.
Tidak hanya itu, masih di periode pertamanya, sebagai mantan GAM, Irwandi juga dituntut memerhatikan kesejahteraan mantan GAM, baik melalui pembiayaan prosedural (APBN/APBA), maupun melalui upaya “non prosedural” dengan bantuan pribadi. Kenyataan ini tidak hanya mitos, tapi juga diyakini dan dirasakan sendiri oleh sebagian masyarakat Aceh dan juga mantan kombatan GAM.
Kecintaan “mayoritas” masyarakat Aceh kepada sosok Irwandi juga terlihat jelas pada kemenangannya di pilkada lalu yang sama sekali tanpa money politik. Mungkin ada keyakinan terdalam dalam benak sebagian besar masyarakat Aceh bahwa Irwandi akan mampu membangun Aceh sekaligus menghadirkan kesejahteraan bagi mereka.
Hilangnya Kehormatan
Tidak ada yang menyangka bahwa tanggal 5 Juli 2018 adalah awal bagi “hilangnya” kehormatan “Sang Kapiten” (Irwandi Yusuf). Dia dijemput di Pendopo Gubernur Aceh oleh sejumlah anggota KPK dan aparat keamanan. Ironisnya lagi, orang nomor satu di Aceh ini diangkut ke bandara menggunakan Baraccuda dengan pengawalan ketat. Tidak ada penjelasan “memuaskan” dari pihak kepolisian mengapa Irwandi diangkut dengan kendaraan ini. Apa mungkin pihak di luar sana masih menganggap Aceh daerah rawan atau basis teroris?
Pasca ditetapkan sebagai tersangka bersama Bupati Bener Meriah dan dua orang lainnya, Menteri Dalam Negeri langsung menetapkan Wakil Gubernur, Nova Iriansyah sebagai Plt Gubernur Aceh. Memang tidak ada yang salah dari proses ini, tapi mengapa begitu cepat? Bahkan wacana penetapan Nova langsung bergulir hanya beberapa saat setelah Irwandi “diciduk.”
Beberapa hari setelahnya, pihak KPK juga menyegel ruang kerja gubernur. Aksi penggeledahan terus berlanjut di kediaman Irwandi Yusuf dan pendopo gubernur. Selanjutnya, KPK juga meneruskan aksinya di Dinas PUPR, Dispora dan Dinas Pendidikan Aceh. Aksi KPK yang terus sambung-menyambung ini seolah menguatkan dugaan sebagian kalangan bahwa kemungkinan Irwandi Yusuf untuk kembali ke “singgasana” Gubernur sudah semakin kecil.
Di sebalik itu, beberapa partai politik yang menjadi pengusung dan pendukung Irwandi Yusuf pada pilkada lalu, kecuali Partai Nanggro Aceh (PNA) tampak diam membisu. Tidak terdengar suara dari mereka, meskipun hanya dukungan moral, apalagi upaya bantuan hukum.
Mungkin mereka terjebak dalam “dilema” dan ketakutan akan label “ pendukung korupsi.” Sebagai partai politik, tentunya mereka harus bertindak hati-hati agar tidak berdampak pada menurunnya kepercayaan publik.
Menyimak kondisi terkini, muncul kesan bahwa Irwandi benar-benar telah ditinggalkan untuk berjuang sendiri guna membebaskan diri dari tuduhan korupsi. Jika asumsi ini benar, bukan tidak mungkin akan menambah “kesedihan” Irwandi. Setelah “kehormatannya” terenggut, dia pun “ditinggal” sendiri.
Sebagai penutup, kita semua mendukung langkah-langkah KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tanpa pandang bulu. Gerakan melawan korupsi harus terus digelorakan agar kemakmuran dan kesejahteraan segera menemukan wujudnya. Namun, sebagai masyarakat Aceh yang juga pernah melihat sendiri dampak dari program-program Irwandi selama menjadi gubernur seperti pelayanan kesehatan, biaya pendidikan untuk anak yatim dan seterusnya, saya pun mendoakan agar Irwandi tetap tegar menghadapi kenyataan ini.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
Foto: medan.tribunnews.com |
Bireuen, 11 Juli 2018
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang dikenal “nyentrik” akhirnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 5 Juli lalu, bertepatan dengan satu tahun kepemimpinannya di periode kedua. Awalnya, sebagian publik ragu dengan informasi yang sempat beredar melalui media sosial ini. Keraguan ini baru pudar pada saat KPK mengumumkan status tersangka bagi Irwandi.
Sebagian kalangan mengaku belum percaya dengan kejadian ini dan mereka tidak meyakini bahwa Irwandi telah melakukan korupsi sebagaimana “dituduhkan” KPK. Berdasarkan alasan ini mereka terus memberikan dukungan moral kepada Irwandi, tidak hanya melalui seruan di media sosial, tapi juga melalui aksi massa.
Sementara itu, sebagian kalangan lainnya menyebut penangkapan Irwandi harus menjadi awal bagi terbongkarnya seluruh praktik korupsi di Aceh. Mereka meminta agar KPK tidak hanya berhenti pada penangkapan Irwandi, tapi harus terus melakukan upaya-upaya serius guna membersihkan Aceh dari perilaku koruptif yang diduga telah “merajalela” di tanah Serambi Makkah.
Namun, terlepas dari semua itu, pasca tertangkap KPK, simpati publik kepada Irwandi memang terlihat mengalir deras. Jasa-jasa Irwandi terhadap Aceh pun kembali dimunculkan ke permukaan sebagai bentuk dukungan moral mereka kepada Irwandi yang memang dikenal dekat dengan rakyat.
Dalam kenyataannya, Irwandi memang punya kontribusi besar untuk Aceh dan Indonesia. Dia terlibat dalam pengumpulan senjata pasca konflik Aceh dalam Aceh Monitoring Mission sebagai Senior Representatif dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Irwandi juga punya peran dalam menghalau jaringan terorisme yang mengancam stabilitas nasional sehingga jaringan dimaksud gagal masuk ke Aceh. Kedekatannya dengan rakyat juga terlihat sejak dia menjabat sebagai Gubernur Aceh pada periode sebelumnya (2006-2011). Rumah pribadinya di Banda Aceh hampir tidak pernah sepi dengan kunjungan masyarakat dari beberapa kabupaten di Aceh. Di sana mereka menyampaikan keluh-kesahnya kepada mantan GAM ini. Dari sejumlah informasi yang penulis peroleh, Irwandi tidak hanya melayani mereka, tapi juga memberikan bantuan financial, minimal biaya transport untuk kembali ke daerahnya.
Di periode pertama kepemimpinannya, Irwandi juga disebut-sebut sukses melahirkan pelayanan kesehatan “terbaik” kepada seluruh masyarakat Aceh di rumah sakit pemerintah melalui program JKA (Jaminan Kesehatan Aceh). Menurut banyak kalangan, program JKA adalah salah satu bukti konkret keseriusan Irwandi dalam memperjuangkan kesehatan masyarakat Aceh.
Tidak hanya itu, masih di periode pertamanya, sebagai mantan GAM, Irwandi juga dituntut memerhatikan kesejahteraan mantan GAM, baik melalui pembiayaan prosedural (APBN/APBA), maupun melalui upaya “non prosedural” dengan bantuan pribadi. Kenyataan ini tidak hanya mitos, tapi juga diyakini dan dirasakan sendiri oleh sebagian masyarakat Aceh dan juga mantan kombatan GAM.
Kecintaan “mayoritas” masyarakat Aceh kepada sosok Irwandi juga terlihat jelas pada kemenangannya di pilkada lalu yang sama sekali tanpa money politik. Mungkin ada keyakinan terdalam dalam benak sebagian besar masyarakat Aceh bahwa Irwandi akan mampu membangun Aceh sekaligus menghadirkan kesejahteraan bagi mereka.
Hilangnya Kehormatan
Tidak ada yang menyangka bahwa tanggal 5 Juli 2018 adalah awal bagi “hilangnya” kehormatan “Sang Kapiten” (Irwandi Yusuf). Dia dijemput di Pendopo Gubernur Aceh oleh sejumlah anggota KPK dan aparat keamanan. Ironisnya lagi, orang nomor satu di Aceh ini diangkut ke bandara menggunakan Baraccuda dengan pengawalan ketat. Tidak ada penjelasan “memuaskan” dari pihak kepolisian mengapa Irwandi diangkut dengan kendaraan ini. Apa mungkin pihak di luar sana masih menganggap Aceh daerah rawan atau basis teroris?
Pasca ditetapkan sebagai tersangka bersama Bupati Bener Meriah dan dua orang lainnya, Menteri Dalam Negeri langsung menetapkan Wakil Gubernur, Nova Iriansyah sebagai Plt Gubernur Aceh. Memang tidak ada yang salah dari proses ini, tapi mengapa begitu cepat? Bahkan wacana penetapan Nova langsung bergulir hanya beberapa saat setelah Irwandi “diciduk.”
Beberapa hari setelahnya, pihak KPK juga menyegel ruang kerja gubernur. Aksi penggeledahan terus berlanjut di kediaman Irwandi Yusuf dan pendopo gubernur. Selanjutnya, KPK juga meneruskan aksinya di Dinas PUPR, Dispora dan Dinas Pendidikan Aceh. Aksi KPK yang terus sambung-menyambung ini seolah menguatkan dugaan sebagian kalangan bahwa kemungkinan Irwandi Yusuf untuk kembali ke “singgasana” Gubernur sudah semakin kecil.
Di sebalik itu, beberapa partai politik yang menjadi pengusung dan pendukung Irwandi Yusuf pada pilkada lalu, kecuali Partai Nanggro Aceh (PNA) tampak diam membisu. Tidak terdengar suara dari mereka, meskipun hanya dukungan moral, apalagi upaya bantuan hukum.
Mungkin mereka terjebak dalam “dilema” dan ketakutan akan label “ pendukung korupsi.” Sebagai partai politik, tentunya mereka harus bertindak hati-hati agar tidak berdampak pada menurunnya kepercayaan publik.
Menyimak kondisi terkini, muncul kesan bahwa Irwandi benar-benar telah ditinggalkan untuk berjuang sendiri guna membebaskan diri dari tuduhan korupsi. Jika asumsi ini benar, bukan tidak mungkin akan menambah “kesedihan” Irwandi. Setelah “kehormatannya” terenggut, dia pun “ditinggal” sendiri.
Sebagai penutup, kita semua mendukung langkah-langkah KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tanpa pandang bulu. Gerakan melawan korupsi harus terus digelorakan agar kemakmuran dan kesejahteraan segera menemukan wujudnya. Namun, sebagai masyarakat Aceh yang juga pernah melihat sendiri dampak dari program-program Irwandi selama menjadi gubernur seperti pelayanan kesehatan, biaya pendidikan untuk anak yatim dan seterusnya, saya pun mendoakan agar Irwandi tetap tegar menghadapi kenyataan ini.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment