Kunjungan CMI dan Masa Depan Aceh
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 21 September 2022
Foto: CMI |
Tim Crisis Management Initiative (CMI) Martti Ahtisaari Peace Foundation Helsinki sebagaimana dilansir Serambi Indonesia (19/9/22) kembali berkunjung ke Aceh guna melihat langsung perkembangan Aceh pasca 17 tahun damai. Kedatangan tim ini disambut oleh Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haytar. Mereka mengadakan pertemuan khusus dalam rangka membahas berbagai persoalan terkait Aceh. Pertemuan itu juga dihadiri Kapolda Aceh, Ahmad Haydar dan juga perwakilan Kodam Iskandar Muda, Aulia Fahmi Dalimunthe.
Dalam pertemuan itu, perwakilan CMI, General Jaako menyampaikan bahwa ada beberapa kasus terkait perdamaian Aceh yang belum terselesaikan dengan baik. Dia juga meyakini ekonomi Aceh akan sangat baik untuk generasi muda. Jaako juga menegaskan bahwa hasil pertemuan tersebut nantinya akan dicatat dalam laporan CMI. Sementara Wali Nanggroe dalam kesempatan itu mengaku telah menyampaikan beberapa butir MoU Helsinky yang belum terealisasikan kepada pihak CMI.
Hingga saat ini masih ada sejumlah poin MoU Helsinky yang belum direalisasikan karena terkendala dengan kebijakan Pemerintah Pusat, di antaranya soal perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara, penggunaan simbol-simbol wilayah semisal bendera dan pengadilan terhadap kejahatan oknum militer. Selain itu, upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan aparat negara di masa lalu juga belum dilakukan, khususnya terkait peristiwa Daerah Operasi Militer (DOM) dan juga tragedi Bumi Flora, Simpang KKA dan tragedi Rumoh Geudong. Dalam konteks penyelesaian kasus-kasus tersebut hingga saat ini Pemerintah Pusat masih terkesan kurang menaruh perhatian.
Koreksi Internal
Terjadinya stagnasi dalam beberapa persoalan semisal realisasi MoU Helsinky yang belum optimal dan juga macetnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh seperti disebut di atas secara politis disebabkan oleh adanya potensi “keengganan” dari pihak eksternal, dalam hal ini Pemerintah Pusat. Dalam konteks ini, peran-peran CMI tentu sangat dibutuhkan agar persoalan tersebut bisa diselesaikan melalui negosiasi dengan Pemerintah Pusat.
Namun di sebalik itu, diskursus tentang perdamaian Aceh tentunya tidak hanya berkutat pada poin-poin MoU Helsinky yang belum terealisasi dan juga kasus-kasus pelanggaran HAM, tapi juga tentang bagaimana pertumbuhan Aceh pasca konflik. Artinya, kita jangan asyik dan terlena mempersoalkan kebijakan pusat yang selama ini kurang mengakomodir kepentingan Aceh sesuai MoU Helsinky, tapi kita juga mesti melihat ke dalam, tentang bagaimana Pemerintah Aceh memperlakukan Aceh pasca konflik. Koreksi internal ini penting agar semua persoalan Aceh dapat terselesaikan dengan baik dan bermartabat tanpa melulu menyalahkan Pemerintah Pusat.
Pasca konflik, Aceh telah mengalami tiga kali pergantian kepemimpinan politik mulai dari 2007 sampai dengan 2022 yang telah menempatkan putra-putra terbaik Aceh sebagai pucuk pimpinan. Tidak hanya kursi eksekutif, panggung parlemen juga sempat beberapa kali didominasi dan dikuasai oleh partai lokal yang notabene diisi kader-kader terbaik dari “elemen perjuangan.” Dalam konteks ini, cita-cita “merdeka” yang sempat didengungkan selama hampir tiga puluh tahun semestinya telah “terwujud” dalam tiga periode kepemimpinan politik yang dikomandoi oleh orang-orang Aceh sendiri. Dengan kata lain, tiga periode kepemimpinan politik pasca konflik dapat dipandang sebagai “miniatur merdeka” yang mempertontonkan kepada kita semua tentang bagaimana orang Aceh mengurus Aceh.
Keberadaan Dana Otsus bagi Aceh dengan nilai fantastis yang belum mampu memberi dampak signifikan bagi perubahan taraf hidup masyarakat adalah contoh konkret tentang bagaimana Aceh ini diurus oleh “orang kita” sendiri. Kesejahteraan yang diharapkan masyarakat Aceh pasca konflik melalui instrumen Dana Otsus ini sama sekali masih jauh panggang dari api. Pada September 2021 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 850.260 orang (BPS) yang kemudian sukses memosisikan Aceh sebagai “juara” satu termiskin di Sumatera dan juga “juara” lima di level nasional. Di sini terlihat jelas bahwa Dana Otsus hampir-hampir tidak berkutik dalam mengentaskan kemiskinan di Aceh. Meskipun ada klaim bahwa Dana Otsus telah berhasil menurunkan angka kemiskinan, namun secara faktual alokasi Dana Otsus dalam rentang waktu 2008-2021 yang mencapai Rp. 92 triliun tentu tidak kompatibel jika hendak disandingkan dengan persentase kemiskinan saat ini.
Selain itu, program Aceh Carong yang sempat didengungkan kembali di periode kedua kepemimpinan Irwandi Yusuf yang kemudian dilanjutkan Nova Iriansyah juga terkesan tidak memberi dampak yang signifikan bagi meningkatnya kualitas pendidikan Aceh. Hal ini misalnya terkuak dalam pernyataan Rektor Unsyiah pada Juni 2021 yang menyebut kualitas pendidikan Aceh yang menang dari Maluku dan kalah dari Papua. Mirisnya lagi, beasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa Aceh sebagai salah satu medium pencerdasan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga diduga dikorup oleh tangan-tangan jahil di lingkar kekuasaan.
Demikian pula dalam soal toleransi. Meskipun pada 2020 Menteri Agama RI sempat menyebut Aceh sebagai contoh yang baik bagi toleransi dan kerukunan umat beragama, namun secara faktual, di beberapa tempat aksi-aksi intoleran ini masih dan bahkan akan terus terjadi. Sebut saja soal pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen yang sudah hampir lima tahun belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. Parahnya lagi pelarangan ini seperti mendapat legitimasi dari Pemda setempat dengan berbagai dalih yang absurd.
Masa Depan Aceh
Menyimak beberapa problem yang belum terpecahkan tersebut, lantas bagaimana kita memaknai kunjungan CMI bagi kebaikan Aceh ke depan? Apakah eksistensi perdamaian di Aceh hanya akan terkurung dalam poin-poin MoU Helsinky yang belum terealisasi, atau pada penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas? Apakah interpretasi perdamaian hanya akan berhenti di sini; pada duka masa lalu dan “poin-poin manis” MoU tanpa kita berupaya membangun peradaban yang lebih baik bagi Aceh di masa depan?
Tanpa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita berharap Penjabat Gubernur yang telah dilantik beberapa waktu lalu dapat segera melakukan langkah-langkah strategis guna menyelesaikan berbagai problem sosial yang kian menyemak agar bangunan perdamaian yang telah terbina selama 17 tahun tidak hanya sekadar menjadi periode “tanpa perang”. Dengan kata lain, perdamaian harus memiliki impak konkret dalam mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan anak bangsa, memberantas korupsi dan menumbuhkan sikap toleran sehingga cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur tidak hanya sekadar imajinasi.
Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia
Post a Comment