Lukas Enembe dan Korupsi di Wilayah Konflik

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 27 Oktober 2022

Detik. Com

Penetapan Gubernur Papua, Lukas Enembe, sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu telah menuai protes pendukungnya di Papua. Tidak hanya tuduhan korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga melaporkan transaksi tak wajar oleh Lukas, di antaranya setoran ke kasino judi senilai 560 miliar dan juga pembelian jam mewah seharga Rp. 550 juta. Mengutip Mahfud Md sejumlah media menyebut pascapenetapan tersebut kondisi Papua memanas. Bahkan salah seorang tokoh adat Papua meminta kasus Lukas dihentikan guna menghindari polemik, sebab menurutnya Lukas adalah representasi masyarakat Papua.

Tidak hanya Lukas, KPK juga menetapkan Bupati Mimika dan Bupati Mamberamo Tengah sebagai tersangka dugaan korupsi. Bahkan pada 2018 tercatat ada 97 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian pada 2021 sebanyak 33 orang juga mengalami nasib yang sama, ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi. Sebelumnya, Mahfud MD juga menyebut ada 10 kasus dugaan korupsi besar yang terjadi di Papua.

Memahami Wilayah Konflik

Melihat Papua tentu tidak bisa disamakan dengan melihat provinsi lain di tanah air. Papua adalah wilayah konflik yang memiliki problem kompleks mulai dari persoalan sumber daya alam, politik dan keamanan. Mungkin hanya Aceh satu-satunya provinsi yang bisa dipandang memiliki kesamaan historis dengan Papua, sebab Aceh pernah mengalami konflik serupa selama hampir tiga puluh tahun (1976-2005). Namun, Aceh sedikit beruntung karena konflik telah usai dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinky antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005. Sementara Papua masih terus bergolak hingga saat ini karena tidak adanya upaya dialog antara Pemerintah RI dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai dua kelompok yang bertikai di sana.

Karena kondisi politik dan keamanan yang masih bergolak, tentunya menjadi gubernur dan bupati di Papua tidaklah mudah. Kondisi ini setidaknya pernah dirasakan oleh para gubernur dan bupati di Aceh ketika konflik masih berkecamuk, di mana mereka mendapat tekanan dan gangguan keamanan dari pihak kontra NKRI sehingga tugas-tugasnya menjadi tidak maksimal. Artinya, mengharapkan kinerja yang benar-benar prosedural dari pemimpin politik dan birokrat di wilayah konflik adalah utopia. Namun demikian, bukan berarti pemerintah boleh membiarkan praktik korupsi terus terjadi dan bukan pula menegasikan ketidaktaatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan kepala daerah di sana, tapi setidaknya Pemerintah Pusat dapat menggunakan paradigma yang lebih bijak dalam melihat persoalan di wilayah yang didera konflik guna menghindari polemik.

Meskipun penetapan Lukas Enembe disinyalir tidak terkait kepentingan politik, namun suara-suara sumbang yang menyebut penetapan tersebut sebagai bersifat politis juga wajar belaka, sebab penetapan itu berlangsung tiba-tiba tanpa adanya penjelasan yang memadai. Kejadian hampir serupa pernah dialami Gubernur Aceh periode 2000-2005, Abdullah Puteh, yang kala itu juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus pembelian dua unit helikopter oleh KPK. Puteh ditetapkan sebagai tersangka pada saat konflik Aceh sedang berada di puncak. Kala itu juga muncul spekulasi bahwa penetapan Puteh sebagai tersangka sarat dengan nuansa politis. Bahkan ada rumor yang berkembang bahwa Puteh memiliki kedekatan dengan GAM. Meskipun kemudian rumor ini tidak terbukti secara meyakinkan, namun hal-hal semacam ini menjadi “wajar saja” di wilayah konflik.

Dalam konteks ini, tanpa bermaksud menuduh, hubungan Lukas Enembe dengan kelompok kontra NKRI di Papua juga mesti dilacak. Kajian ini menjadi penting dilakukan sebab hubungan kepala daerah dengan kelompok kontra NKRI di wilayah konflik kerap terjadi sebagai sebuah upaya negosiasi guna menciptakan stabilitas politik di wilayahnya, atau setidaknya sebagai strategi untuk mendapatkan jaminan keamanan. “Hubungan senyap” sebagai strategi mendapatkan jaminan keamanan ini tidak secara serta-merta dapat diterjemahkan sebagai tindakan makar, tapi harus dipandang sebagai win-win solution antara kedua pihak agar roda pemerintahan dan pembangunan bisa tetap berjalan. Untuk menjalin “hubungan senyap” ini tentunya kepala daerah di sana membutuhkan dana yang nantinya disuplai kepada kelompok kontra NKRI. Dalam kondisi inilah kemudian tindakan korupsi menjadi sangat mungkin terjadi.

Kondisi demikian pernah terjadi dalam konflik Aceh, di mana saat itu GAM mewajibkan kepada masyarakat kelas menengah, perusahaan, pegawai negeri dan juga pejabat pemerintah daerah untuk membayar upeti yang mereka istilahkan dengan pajak nanggroe (pajak negara). Dalam faktanya, penolakan terhadap upeti ini akan berkonsekuensi pada terganggunya jaminan keamanan bagi pihak bersangkutan.

Hal serupa juga dialami oleh para bupati di Aceh kala itu yang terjebak dalam dilema. Di satu sisi mereka harus setia kepada NKRI, namun di sisi lain juga harus melakukan negosiasi senyap dengan pihak kontra NKRI agar keselamatan mereka terjamin. Meskipun dalam perspektif Pemerintah RI hal ini kerap dianggap sebagai tindakan makar karena membantu kelompok kontra NKRI, namun bagi masyarakat dan tokoh politik yang hidup di sana tentu tidak ada pilihan lain, kecuali bertahan dengan caranya sendiri.

Penyelesaian Bijak

Menyikapi dugaan korupsi yang melibatkan Lukas Enembe dan dua bupati di Papua, Pemerintah RI harus melakukan langkah-langkah bijak guna meminimalisasi polemik. Hal ini penting diperhatikan sebab secara sosiologis dan politis sosok Lukas memiliki pengaruh cukup kuat di tengah masyarakat Papua. Penegakan hukum yang menafikan fakta-fakta sosiologis dan kondisi keamanan tentunya akan merusak kepercayaan masyarakat di sana sehingga kondisi Papua akan semakin memanas.

Demi kepentingan penegakan hukum, pemerintah mesti melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh adat di sana agar persoalan menjadi jernih sehingga langkah pemerintah nantinya tidak lagi dianggap sebagai kriminalisasi. Selain itu, para pejabat utama RI juga agar tidak banyak berspekulasi karena dapat menambah kegaduhan dan kemarahan masyarakat Papua. Hukum harus tetap ditegakkan, namun dengan cara-cara yang bijak dan elegan. Seperti pepatah Aceh, Uleu beumate, ranteng bek patah (membunuh ular tanpa mematahkan ranting). Artinya, hukum harus ditegakkan dengan tidak merusak stabilitas politik dan keamanan.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada
loading...

No comments