Daud Beureueh dalam Ingatan

(Mengenang 36 Tahun Wafatnya Daud Beureueh)

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 19 Juni 2023


“Daud Beureueh adalah pemberontak.” Hingga hari ini, label demikian terus saja diulang-ulang oleh segelintir anak negeri. Sepintas, memang tidak dapat disalahkan, karena Sejarah Nasional selama ini telah menempatkan Daud Beureueh dalam posisi yang sangat tidak tepat, sebagai pemberontak—hanya karena ijtihad politiknya yang kala itu memperjuangkan Negara Islam, mengikut jejak Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Sadisnya, label pemberontak kepada Daud Beureueh terus saja diwariskan dari generasi ke generasi. Akhirnya cap yang tidak adil ini terus tertancap di sanubari generasi penerus bangsa ini, khususnya di Aceh, tanah yang pernah bergetar ketika Daud memegang kendali politik di masa silam. Selalu ada upaya dari “sisa-sisa feodal” dan “kelompok konservatif” agar nama besar Daud Beureueh hilang dari panggung sejarah, bahkan hilang dalam perbincangan publik.

Dalam Sejarah Nasional, Daud Beureueh diposisikan sebagai pemberontak yang ingin menumbangkan Pancasila, sementara dalam sejarah Aceh kontemporer, Daud Beureueh dicap sebagai pengkhianat karena mempertahankan semangat Republiken ketika Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Pemberontak (versi RI) dan pengkhianat (versi sebagian masyarakat Aceh) adalah dua label antagonistis yang disematkan secara tidak sah kepada Daud Beureueh, seorang mujahid agung yang memaklumkan jihad melawan kolonial—dan bahkan menyelamatkan Indonesia ketika Belanda ingin kembali.

Daud Beureueh yang pada era 1947-1949 menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo telah memberikan kontribusi besar bagi tegaknya Republik Indonesia yang pada saat itu berada dalam keadaan “koma.” Adalah naïf, jika seorang investor republik kemudian melakukan pemberontakan tanpa didasari oleh alasan-alasan yang cukup kuat dan mendesak.

Gerakan Koreksi

Dalam beberapa perbincangan bersama Alkaf, dia menyebut tindakan Daud Beureueh sebagai sebuah koreksi terhadap Republik dan bukan pemberontakan. Namun, dengan meminjam Alkaf, saya merasa lebih tepat menyebut gerakan 1953 yang dipimpin Daud Beureueh sebagai “gerakan koreksi bersenjata.” Kenapa bersenjata? Jawabannya adalah karena kondisi yang sangat-sangat mendesak. Dan penggunaan senjata adalah salah satu simbol keseriusan, setelah sebelumnya diawali dengan berbagai macam diskusi dan upaya diplomasi yang gagal.

Gerakan koreksi yang dilakukan oleh Daud Beureueh pada 1953 bukanlah tujuan, tapi hanya salah satu bentuk bakti beliau demi kebaikan Republik Indonesia yang menurut beliau telah “melenceng” dari jalan yang benar. Jika memang pemberontakan adalah tujuan, tentu Daud Beureueh akan melakukan gerakan tersebut jauh sebelumnya, tepatnya pada 1947- 1949, bukan pada 1953. Kita tahu bahwa pada era tersebut, Daud Beureueh memegang kendali politik secara penuh di Aceh. Pada tahun-tahun itu, jangankan untuk memberontak, bahkan Daud Beureueh bisa saja memproklamirkan Aceh Raya sebagai negara yang berdaulat dan terpisah dari rangkaian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi sejarah telah membuktikan, Daud Beureueh tidak melakukan itu—walau godaan dari Sumatera Timur begitu kuat.

Sikap Politik Daud Beureueh

Tidak hanya sebagai pemimpin politik, Daud Beureueh juga seorang ulama besar di Aceh. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan terpilihnya beliau sebagai ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 5 Mei 1939. Demikian pula ketika diadakan Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia di Medan pada 1953, beliau juga terpilih sebagai pemimpinnya. Fakta-fakta sejarah ini sudah cukup membuktikan kepada kita semua bahwa Daud Beureueh adalah ulama yang punya pengaruh besar di Nusantara. Bahkan menurut Ali Hasjmi, nama Daud Beureueh juga bergetar di Asia Tenggara.

Daud Beureueh dikenal sebagai sosok yang sangat konsisten terhadap syariat Islam. Di masa mudanya, setelah menyelesaikan pendidikannnya di beberapa dayah, Daud Beureueh juga mengajar dan berdakwah di berbagai daerah di Aceh. Sebagai penganut Islam murni, Daud Beureueh dalam kesehariannya juga menolak segala bentuk kesyirikan, bid’ah dan khurafat yang tidak memiliki landasan dalam agama. Daud Beureueh juga sempat melakukan pembersihan terhadap berbagai praktik salik buta di seluruh Aceh. Menurut catatan Ali Hasjmi, berkat kerja keras dan dakwah yang dilakukan Daud Beureueh, pada tahun 1930-an tidak ada lagi praktik sulok (salik buta) di Aceh.

Daud Beureueh memimpikan agar Indonesia menerapkan syariat Islam, karena perjuangan yang dilakukan oleh Daud Beureueh adalah didorong oleh semangat jihad fi sabilillah sebagaimana digagas Teungku Chik Di Tiro. Ketika menjabat sebagai Gubernur Militer pada masa-masa revolusi, Daud Beureueh pernah mengeluarkan beberapa maklumat kepada masyarakat agar menerapkan syariat Islam dan menjauhi segala bentuk maksiat. Dan bahkan dalam maklumat tersebut Daud Beureueh mengancam akan menghukum siapa pun yang melanggar syariat Islam.

Ketika Soekarno berkunjung ke Aceh, Daud Beureueh juga meminta agar di Aceh bisa diterapkan syariat Islam, tetapi janji Soekarno ini tidak terealisasi sehingga Daud Beureueh dengan sangat terpaksa melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan tujuan syariat Islam bisa tegak di Aceh. Setelah beberapa lama berada di gunung untuk berjuang bersama Darul Islam, akhirnya Daud Beureueh bersedia kembali kepada masyarakat setelah beliau mendengar bahwa pemerintah akan mengizinkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pasca turun gunung, beliau kembali berdakwah dan memberi pengajian kepada masyarakat di Masjid Baitul A’la Lil Mujahidin.

Ketika Gerakan Aceh Merdeka diproklamirkan, Daud Beureueh juga sempat memberi restunya “secara tertutup” dengan syarat perjuangan tersebut harus didasarkan pada Islam. Namun, karena GAM mengusung dasar nasionalisme Aceh bagi perjuangannya, akhirnya Daud Beureueh tidak memberikan dukungan secara terang-terangan kepada GAM, atau mungkin saja beliau telah mencabut dukungannya kepada mereka. Di sini terdapat satu poin, bahwa Daud Beureueh hanya menginginkan Islam, bukan nasionalisme atau etno nasionalisme sebagaimana diusung oleh GAM. 

Bagi Daud Beureueh, seperti disampaikan Tan Sri Sanusi Juned dalam satu seminar di Banda Aceh (30/11/16)—syariat Islam harus diterapkan. Tan Sri menegaskan bahwa Daud Beureueh, bukanlah pemberontak, tapi pejuang Islam. Hal terpenting bagi Daud Beureueh adalah tegaknya syariat Islam dan hukum-hukum Allah. Jika syariat Islam tersebut tidak mungkin diterapkan di Indonesia, maka sekurang-kurangnya bisa diterapkan di Aceh. Jika memang di Aceh juga “terhalang” untuk menerapkan syariat Islam karena Aceh adalah bagian dari Indonesia, maka solusi terakhir adalah mendirikan negara sendiri. 

Dengan demikian, diproklamirkannya Republik Islam Aceh (RIA) pada tahun 1961 harus dipahami sebagai sebagai sebuah “ijtihad politik” Daud Beureueh guna menegakkan syariat Islam ketika penegakan syariat itu sudah tidak mungkin lagi terlaksana di bumi Indonesia. Demikian pula dengan dukungan beliau kepada GAM di awal-awal munculnya gerakan itu juga didasari oleh Islam. Artinya, gerakan Darul Islam, pendeklarasian RIA dan restu Daud Beureueh kepada GAM bukanlah tujuan, tapi hanya wasilah demi terlaksananya syariat Islam di bumi Aceh—sebagaimana itu menjadi cita-citanya sejak dahulu—sebelum Indonesia tegak berdiri.

Tentu saja, apa yang ada di pikiran dan kemudian diperjuangkan Daud Beureueh kala itu tidak lagi relevan dengan kondisi hari ini. Namun, kita tidak bisa secara serta merta menghukumi gagasan-gagasan Daud Beureueh dengan menggunakan perspektif kita hari ini. Pemikiran politik Daud Beureueh mestilah diletakkan secara tepat dalam konteks zamannya sendiri—ketika perdebatan terhadap ideologi negara masih berlangsung. 

Dan, terlepas dari berbagai kontroversi yang melingkupinya, Daud Beureueh adalah pahlawan, tidak saja bagi Aceh, tapi bagi Indonesia; sebab tanpa kehadiran laki-laki itu di gelanggang perang saat Agresi Militer Belanda, maka nama Indonesia mungkin hanya tersisa di novel-novel.

Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia 

loading...

No comments