24 Tahun Bireuen dan Harapan yang Tenggelam

Khairil Miswar


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 11 Oktober 2023

Setidaknya ada enam label yang sering disematkan orang-orang pada Kabupaten Bireuen; mulai dari Kota Juang, Kota Pendidikan, Kota Dagang, Kota Transit, Kota Industri dan terakhir Kota Santri. Label pertama dan kedua memiliki landasan historis yang cukup kuat. Demikian pula dengan label, ketiga, keempat dan kelima, juga memiliki basis argumentasi yang bisa divalidasi. “Kerancuan” hanya terdapat pada label keenam—sebagai Kota Santri—yang penetapannya cenderung politis, kurang cermat, tergesa-gesa serta menegasikan banyak aspek.

Sebagai Kota Juang, dibuktikan dengan peran besar Bireuen pada masa revolusi kemerdekaan (1947-1949): sebagai pusat konsentrasi pasukan yang akan berangkat ke Medan Area, keberadaan sekolah perwira (Komando Militer Akademi), keberadaan pemancar radio Divisi X TRI Komandemen Sumatera di Krueng Simpo (yang kemudian dikenal sebagai Radio Rimba Raya), pusat Kasyafatul Islam dan berlangsungnya sejumlah pertemuan raksasa di masa revolusi guna mengobarkan perlawanan kepada Belanda dan sekutu. Singkatnya di masa Agresi Militer Belanda, Bireuen adalah kota paling sibuk di Aceh, yang bukan saja memberangkatkan pasukan, tapi juga amunisi dan alutsista seperti tank tempur.

Sebagai Kota Pendidikan, keberadaan Normaal School (Normaal Islam Institute) pada 1939 sudah cukup menjadi alasan, mengingat lembaga tersebut adalah satu-satunya lembaga pendidikan setingkat akademi yang ada di Aceh saat itu. Normaal Islam Institute inilah yang kemudian menghasilkan para guru madrasah di Aceh. Selain itu, keberadaan Madrasah Almuslim sepuluh tahun sebelumnya, tepatnya pada 1929 juga turut memberi kontribusi bagi terselenggaranya pendidikan modern periode awal di Aceh. Di masa-masa awal tersebut di Bireuen, tepatnya di Jeunib juga pernah beridiri Perguruan Taman Siswa. Pada 1964 di Bireuen juga dibuka perkampungan pelajar yang dikenal dengan Badrussalam. Bahkan di Bireuen juga sempat berdiri Sekolah Tinggi Ilmu Hukum.

Sebagai Kota Dagang dan Kota Transit kita bisa menemukan banyak pedagang kuliner dan penganan (kudapan) di kabupaten ini. Di antara yang terkenal adalah sate matang, kripik Bireuen dan kue nagasari. Keberadaan kuliner dan penganan inilah yang kemudian mendorong para pelintas untuk transit di Bireuen, sekadar melepas lelah sembari menikmati aneka macam makanan. Bahkan dalam suasana mencekam, ketika konflik Aceh sedang memuncak, kota Bireuen tetap memberi pelayanan kepada para pelintas. Selain itu, dulunya Bireuen juga pernah menjadi arena dagang dan pusat pembelanjaan bagi masyarakat Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.

Demikian pula penyebutan Bireuen sebagai Kota Industri juga memiliki alasan yang patut dipertimbangkan. Salah satu industri yang masih berkembang sampai sekarang adalah pengolahan biji kopi CV. Arasco yang bukan saja memenuhi kebutuhan biji kopi di Aceh, tapi juga “mengekspor” produknya ke luar daerah, bahkan ke luar negeri. Selain itu ada juga pabrik kopi Indaco yang cukup legendaris. Pada tahun 1970-an di Bireuen juga berkembang industri karoseri yang memproduksi bodi bus dan minibus. Pada 1980-an Bireuen juga sempat mengalami kejayaan dalam bidang transportasi, di mana saat itu jumlah bus Bireuen Express (BE) yang beroperasi di beberapa kota di Aceh mencapai 250 unit. Industri lainnya yang tidak bisa dilupakan begitu saja adalah keberadaan dua pabrik limun besar (Limun 66 dan Limun 55).  Kejayaan Bireuen dalam bidang industri di masa lalu juga dibuktikan dengan keberadaan Pabrik Puspa yang memproduksi kawat duri, paku dan korek api.

Adapun sebagai Kota Santri, sebagaimana disinggung di awal, memang kurang memiliki alasan. Dalam konteks historis, dayah pertama di Aceh bukan muncul di Bireuen. Bireuen juga bukan pintu masuk penyebaran Islam. Secara kuantitas keberadaan pesantren di Bireuen juga tidak jauh berbeda dengan kabupaten lain. Bahkan jumlah pesantren di Aceh Utara justru lebih banyak, yaitu 211 pesantren, sementara Bireuen hanya memiliki 154 pesantren. Demikian juga dengan Ma’had ‘Aly, Bireuen kalah dengan Aceh Utara yang memiliki tiga Ma’had ‘Aly, sementara Bireuen hanya memiliki satu Ma’had ‘Aly.  Demikian pula jika merujuk pada geneologi keilmuan dayah juga bukan berasal dari Bireuen, tapi dari Labuhan Haji (Aceh Selatan).

Bireuen Hari ini

Di era kolonial Belanda Bireuen berstatus Onder Afdeeling dan dipimpin seorang wedana (countroleur). Penamaan tersebut berubah pada masa pendudukan Jepang menjadi Gun di bawah pimpinan seorang Gunco. Selanjutnya Bireuen masuk dalam wilayah administratif Aceh Utara. Untuk kelancaran pemerintahan saat itu di Bireuen ditempatkan seorang Pembantu Bupati. Pada 12 Oktober 1999 Bireuen resmi berdiri sebagai kabupaten mandiri dengan disahkannya Undang-Undang No. 48 Tahun 1999.

Saat itu ada harapan besar dari tokoh-tokoh Bireuen bahwa dengan berpisahnya Bireuen dari Aceh Utara, kabupaten ini bisa lebih maju. Hingga saat ini Bireuen telah dipimpin oleh 7 bupati: Hamdani Raden (PJ), Mustafa A. Glanggang, Nurdin Abdul Rahman, Ruslan M. Daud, Saifannur, Muzakkar A. Gani dan Aulia Sofyan (PJ). Namun, apakah harapan-harapan itu sudah terwujud?

Secara umum kita mengapresiasi keberhasilan Bireuen dalam beberapa bidang. Namun, beberapa fakta yang kita temukan membuat kita sedikit kecewa. Pada tahun 2022 jumlah penduduk miskin di Bireuen sebanyak 60,29 ribu (12, 51 persen) dengan angka kemiskinan ekstrem sebesar 2,47 persen atau sebanyak 11.890 jiwa. Selain itu, kesejahteraan pegawai dan guru di Bireuen juga masih dipertanyakan. Dibanding dengan kabupaten lain, dalam konteks kesejahteraan pegawai/ guru, Bireuen masih jauh tertinggal.

Bireuen yang dulunya didominasi oleh kalangan terdidik, saat ini juga mulai dicemarkan dengan keberadaan bandar narkoba yang kian hari kian menyemak sehingga Bireuen pun disebut-sebut sebagai wilayah merah tempat bermukimnya bandar-bandar besar. Selain itu, pada Pilkada 2017, Bireuen juga sempat tercemar dengan tudingan sebagai “kabupaten seratus ribu” akibat adanya dugaan money politik. Terlepas benar tidaknya dugaan tersebut, yang jelas hal itu sempat menjadi perbincangan umum saat itu. Pada 2023 Bireuen juga masuk dalam satu dari lima kabupaten dengan jumlah kejahatan tertinggi di Aceh.

Bireuen yang dulunya dikenal kosmpolit dan toleran juga semakin bergerak mundur dengan munculnya berbagai aksi intoleran dari pihak tertentu. Pergerakan ke arah “konservatisme akut” ini terlihat jelas dari aksi-aksi “teror” yang dilakukan pihak yang mengklaim diri sebagai mayoritas terhadap minoritas. Kasus masjid Sangso Samalanga yang terus berlarut-larut hingga saat ini mungkin bisa menjadi satu contoh tentang semakin memudarnya toleransi di Bireuen.

24 Tahun Bireuen

Berpijak pada fenomena-fenomena tersebut, sudah saatnya Bireuen kembali berbenah. Ada banyak sekali “pekerjaan rumah” yang mesti diselesaikan oleh pemimpin Bireuen ke depan. Kita berharap PJ Bupati Bireuen saat ini bisa memulai usaha-usaha ini demi Bireuen yang lebih baik. Seperti semboyan yang selalu kita ulang “Gemilang datang padamu bila tekad kukuh berpadu.” Selamat ulang tahun!

Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia pada 11 Oktober 2023.

loading...

No comments