Melawan Monopoli Bank (Berlabel) Syariah

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 30 Mei 2023

Islamiceconomics

Kehadiran Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang disahkan pada 31 Desember 2018 dan berlaku sejak 4 Januari 2019 telah berhasil mengubah wajah Aceh di sektor perbankan. Keberadaan qanun tersebut membuka babak baru bagi pertumbuhan perbankan syariah dengan mewajibkan seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh menjalankan prinsip syariah. Dampak dari pemberlakukan qanun ini semua bank konvensional harus hengkang dari Aceh.

Ironisnya, sejak awal kemunculannya bank-bank berlabel syariah yang mendapat legitimasi dari qanun ini justru tidak mampu memberikan pelayanan yang benar-benar berstandar syariah kepada para nasabah di Acehyang dalam faktanya tidak punya pilihan lain setelah bank-bank konvensional yang selama ini menjadi pilihan masyarakatkeluar dari Aceh. Dalam hal ini, qanun telah memaksa masyarakat Aceh untuk beralih menjadi nasabah bank berlabel syariah dengan cara-cara yang justru jauh dari kesan syariah.

Hal ini dapat dilihat dari proses peralihan saat awal-awal penerapan qanun, di mana para nasabah yang dulunya menggunakan bank konvensional harus melakukan penutupan rekening di bank tersebut (BRI, BNI dan Mandiri) dan kemudian membuka rekening baru di unit syariah: BRI Syariah (BRIS), BNI Syariah (BNIS) dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Tidak berhenti di sana, unit-unit syariah dari bank konvensional tersebut kemudian juga mengalami merger sehingga para nasabah kembali dipaksa beralih kepada Bank Syariah Indonesia (BSI).

Kondisi demikian hanya menyisakan dua pilihan kepada masyarakat Aceh. Pertama, menjadi nasabah BSI pasca merger BRIS, BNIS dan BSM. Kedua, menjadi nasabah bank daerah: Bank Aceh Syariah (BAS). Kedua bank inilah yang memiliki jaringan paling luas dan bisa diakses oleh seluruh masyarakat di Aceh. Sementara keberadaan beberapa unit syariah lainnya, seperti BCA Syariah dan Bank Muamalat, tidak begitu efektif mengingat jaringan mereka yang terbatas dan hanya terfokus di beberapa kota saja.

Kondisi ini membuka peluang terjadinya monopoli dalam dunia perbankan di Aceh karena kedua bank tersebutlah (BSI dan BAS) yang memiliki nasabah terbanyak. Dalam faktanya pelayanan kedua bank tersebut, khususnya BSIhingga saat ini sama sekali belum sesuai ekspektasi, untuk tidak menyebut buruk. Akibatnya sebagian nasabah kecewa. Namun, ketiadaan bank konvensional sebagai alternatif membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa sehingga pelayanan seburuk apa pun tetap saja harus diterima dengan lapang dada.

Sistem BSI Down

Beberapa waktu lalu para nasabah tidak bisa melakukan transaksi apa pun di BSI karena bank tersebut mengalami down system. Pihak BSI mengklaim bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh maintenance system. Namun, anehnya kelumpuhan sistem tersebut justru melebihi tiga hari sehingga komplain para nasabah pun terus meluas. Dalam kondisi demikian, Menteri BUMN, Eric Thohir, justru menyampaikan pernyataan mengejutkan. Dia menyebut ada serangan siber terhadap sistem BSI (kontan.co.id).

Terlepas dari apa pun yang terjadi, lumpuhnya layanan BSI telah menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat Aceh karena tidak adanya bank-bank alternatif sebagaimana di daerah lain. Ketua Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) Aceh bahkan menyebut gangguan layanan BSI tersebut sebagai sejarah terburuk dalam pelayanan perbankan di Aceh yang menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat dan pengusaha karena tidak bisa melakukan transaksi keuangan (beritasatu.com).

Akibatnya, kutukan terhadap BSI di Aceh terlihat begitu masif. Namun demikian, dalam konteks Aceh, fokus tidak hanya tertuju pada down system yang dialami BSIyang disebut-sebut sebagai serangan siber, tapi juga adanya harapan yang memberi peluang bagi hadirnya bank-bank alternatif di kemudian hari. Kehadiran bank-bank alternatif ini menjadi penting dalam menghindari terjadinya upaya monopoli perbankan” di Aceh

Revisi Qanun LKS

Secara faktual, keberadaan Qanun LKS telah membuka ruang terjadinya monopoli perbankan di Aceh. Ketiadaan bank-bank konvensional sebagai alternatif telah menutup peluang terjadinya kompetisi antarbank. Akibatnya bank-bank berlabel syariah (sebagai satu-satunya pilihan) tidak pernah termotivasi untuk memperbaiki layanannya, karena seburuk apa pun layanan mereka, toh akan tetap diterima (meskipun terpaksa).

Kondisi semakin parah ketika terjadi down system seperti dialami BSI yang menyebabkan transaksi keuangan seluruh nasabah lumpuh total. Kondisi ini menyebabkan masyarakat kelimpungan. Demikian juga dengan kerugian yang dialami nasabah, tidak ada satu pihak pun yang menyatakan bertanggung jawab membayar kompensasi.

Menyikapi problem tersebut, pemerintahdalam hal ini Menteri BUMNharus melakukan upaya-upaya strategis dan konkret untuk memperbaiki kerusakan sistem layanan bank berlabel syariah plat merah tersebut yang membuat nasabah, khususnya warga Aceh, mengalami penderitaan selama berhari-hari. Selain itu, pemerintah daerah dan DPR Aceh selaku pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi Aceh hari ini harus segera melakukan kajian ulang terhadap Qanun LKS yang sedang berjalan.

Dalam hal ini Qanun LKS harus segera direvisi agar tidak ada lagi lembaga keuangan yang seenaknya menggunakan label syariah, tapi dalam kenyataannya memberikan pelayanan yang tidak sesuai prinsip syariah. Selain itu, qanun yang direvisi nantinya juga harus memberi peluang bagi hadirnya bank-bank alternatif di Aceh, seperti bank konvensional agar terjadi kompetisi sehat antarbank sehingga layanan bank berlabel syariahsebagai bank prioritas di Acehakan semakin baik. 

Hadirnya kembali bank konvesional juga akan menutup ruang terjadinya monopoli perbankan sehingga para nasabah di Aceh bisa merasakan kenyamanan dalam bertransaksi, sebagaimana dirasakan nasabah di daerah lain. Selain itu, keberadaan bank konvensional sebagai bank alternatif akan mempermudah para wisatawan dan investor dalam melakukan transaksi keuangan Aceh.

Seandainya bank konvensional tidak memungkinkan untuk dikembalikan sebagai bank alternatif, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah mendorong bank berlabel syariah yang ada di Aceh untuk memperbaiki layanannya. Selain itu, untuk menghindari terjadinya monopoli, pemerintah juga harus melakukan upaya agar unit-unit bank syariah di Aceh diperluas dan tidak hanya terbatas di beberapa kota saja sehingga layanan perbankan kepada masyarakat Aceh menjadi lebih maksimal. Artinya, pemerintah harus membebaskan masyarakat Aceh dari ketergantungan kepada BSI dan BAS dengan mengundang bank-bank syariah alternatif.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada 


loading...

No comments