Nasib Sastra dalam Kebudayaan Aceh

ILustrasi: dmh.lacounty.gov


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 14 Novemver 2023

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VIII yang dibuka pada 4 November 2023 lalu mengusung tema “Rempahkan Bumi. Pulihkan Dunia.” Secara historis, tema ini dijelaskan sebagai wujud ingatan pada kejayaan jalur rempah masa lalu, yang memosisikan Aceh sebagai salah satu jalur perniagaan paling populer di dunia. Adapun secara filosofis, seperti termaktub dalam situs PKA (pekankebudayaanaceh.com), “Rempahkan Bumi” dimaknai sebagai upaya menyebarkan rempah ke seluruh dunia melalui aktivitas perdagangan.

Dua penjelasan tersebut menegaskan bahwa rempah yang dimaksud adalah komoditas, bukan aktivitas. Hal ini dikuatkan dengan kabar dari situs Pemerintah Aceh (acehprov.go.id), yang menyebut adanya aksi penumbukan rempah di leusong kayee. Sekali lagi, rempah yang dimaksud di sini adalah rempah sebagai komoditas bukan rempah sebagai aktivitas.

Merujuk pada KBBI kata rempah memiliki dua pemaknaan, sebagai kata benda (barang) dan juga kata kerja (aktivitas). Rempah dalam pengertian pertama persis seperti dijelaskan di situs PKA dan laman-laman berita lainnya, sementara rempah dalam makna kedua, oleh KBBI dijelaskan sebagai aktivitas menjelajah atau mengembara.

Sebenarnya, rempah dalam pengertian kedua inilah yang memiliki relevansi dengan isu jalur perdagangan (jalur rempah). Namun, sayangnya, tema “Rempahkan Bumi” yang digaungkan PKA VIII sama sekali tidak mengadopsi pemaknaan dalam pengertian kedua, tapi hanya merujuk pada makna rempah sebagai komoditas; rempah sebagai produk alam, bukan rempah sebagai aktivitas perdagangan.

Di sini, terlihat ada sedikit kekacauan bahasa. Padahal, bahasa adalah salah satu aspek penting dari kebudayaan. Muncul kesan, tema “Rempahkan Bumi” yang menjadi jargon PKA VIII—tidak berangkat dari budaya berbahasa yang lugas. Dalam hal ini, bahasa “Rempahkan Bumi” terkesan bias dan tidak mengerucut pada satu kesimpulan tegas yang ingin disasar. Sepintas, kalimat “Rempahkan Bumi” memang terdengar sastrawi. Namun, di waktu bersamaan, kalimat itu justru menyisakan debat semantik yang sulit diurai.

Hal demikian bisa saja disebabkan oleh “ketidakpedulian” kita pada bahasa yang notabene adalah salah satu aspek kebudayaan. Ketidakpedulian pada bahasa salah satunya tercermin dalam sikap “mengabaikan” sastra dalam event-event kebudayaan. Padahal, sastra sebagai khazanah bahasa juga penting untuk dilestarikan

Dalam agenda pameran yang dirilis situs resmi PKA tahun ini, tidak terlihat adanya pameran sastra di sana, khususnya sastra tulisan. Yang ada hanya pameran seni rupa, anjungan dan ekonomi rempah. Kondisi ini berbeda dengan PKA II yang digelar pada 1972 yang menyediakan satu ruangan utama untuk pameran koleksi sastra. Saat itu, selain hikayat, buku-buku sastra karya sastrawan Aceh abad 19 juga dipamerkan di stand sastra Ada juga diskusi budaya yang salah satu topiknya membicarakan peranan sastra dalam kebudayaan.

Sayangnya, pemandangan tersebut tidak terlihat dalam PKA VIII, setidaknya dalam rancangan acara yang sudah dipublis. Yang diperlombakan dan dipentaskan dalam PKA VIII hanya sastra lisan yang terbatas pada seni tutur dan baca hikayat. Padahal, di awal abad 20 sastra di Aceh juga mengalami perkembangan dan tidak lagi terbatas pada sastra lama seperti pantun dan syair-syair. Ali Hasjmy dan A. Gani Mutyara adalah dua dari sejumlah sastrawan yang pernah muncul di Aceh pada abad 20. Selain sajak-sajak, keduanya juga menelurkan karya roman.

Untuk periode setelahnya kita mengenal beberapa nama seperti Azhari Aiyub, Ayi Jufridar, Musmarwan Abdullah, Herman Rn dan Arafat Nur. Sementara di fase yang lebih baru ada nama Ida Fitri yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2023 lalu. Kemunculan nama-nama itu membuktikan bahwa sastra memiliki tempat tersendiri dalam kebudayaan Aceh modern. Namun, dalam konteks kekinian capaian-capaian itu sepertinya sedang bergerak ke belakang, mundur teratur dan bukan tidak mungkin suatu ketika akan hilang dari pelukan kebudayaan, terlebih ketika tafsir kebudayaan hanya mengerucut pada satu bidang seni saja. Merujuk pada rupa-rupa seni budaya yang dicanangkan PKA VIII, indikasi terbenamnya sastra tulisan tersebut sepertinya kian menguat.

Perkembangan Sastra Kian Redup

Di masa-masa awal terbentuknya Dewan Kesenian Aceh (DKA), perhatian organisasi ini terhadap perkembangan sastra terbilang cukup baik dengan digelarnya sejumlah sayembara dan juga promosi karya sastra. Di masa-masa selanjutnya, misalnya pada 2006, Dewan Kesenian Banda Aceh, seperti dicatat antaranews.com, pernah meluncurkan kumpulan cerpen dari para penulis Aceh. Konon hal itu dilakukan untuk menjawab kekeringan sastra di Aceh pasca tsunami. Kondisi ini memperlihatkan kepada kita bahwa perhatian pada perkembangan sastra kala itu masih cukup baik.

Namun demikian, Google sepertinya tidak mencatat ada peristiwa serupa di tahun-tahun kemudian. Pasca tahun-tahun itu, kita juga tidak pernah mendengar adanya sayembara novel atau pun sayembara cerpen yang digelar Dewan Kesenian Aceh, seperti dilakukan dewan kesenian daerah lain. Misalnya, Dewan Kesenian Jakarta yang menggelar sayembara dua tahun sekali. Bisa dikatakan gema sastra di Aceh mulai menemukan jalan menuju “kepunahan.”

Sejauh yang dapat dilacak dari mesin pencari (Google), sepertinya akhir-akhir ini, DKA tidak lagi berminat pada perkembangan sastra dalam bentuk novel/ roman atau pun cerpen. Secara umum, upaya yang dilakukan hanya terbatas pada pelestarian seni pertunjukan semisal seni suara, tari, dan teater, sementara sastra, khususnya dalam bentuk novel dan cerpen seperti kurang mendapat perhatian.

Jika kita berpikir positif, boleh jadi DKA selama ini sering melaksanakan event-event sastra dimaksud, tapi mereka tidak melakukan publikasi yang meriah sehingga momen-momen tersebut luput dari pengetahuan publik. Atau, kalau kita hendak berasumsi sedikit miring, boleh jadi ada dominasi kecenderungan dari penggawa dewan kesenian itu sendiri. Sebagai contoh, ketika “anak-anak teater” yang “menguasai” DKA, maka yang menjadi fokus adalah teater. Ketika “anak-anak musik” yang mendominasi, maka pentas musik menjadi lebih dominan. Dan, ketika “pecinta tarian” yang “berkuasa” maka seni tarilah yang melenggang. Demikian seterusnya. Asumsi liar ini muncul begitu saja karena kita kekurangan informasi tentang sejauh mana upaya DKA dalam mengembangkan sastra seulawet ini.

Melemahnya perhatian pada perkembangan sastra di Aceh juga ditunjukkan oleh Dinas Kebudayaan dan Parawisata (Disbudpar). Disebut melemah karena upaya yang dilakukan terkesan setengah hati. Seperti halnya DKA, Disbudpar juga terlihat lebih fokus pada seni pentas. Jika pun ada porsi untuk sastra, hanya sebatas pada puisi.

Hal lainnya yang membuat perkembangan sastra di Aceh kian terjerembap adalah lenyapnya kolom sastra di surat kabar. Saat ini, peminat sastra di Aceh—yang sebagian besar tumbuh dengan sendirinya—tidak lagi memiliki ruang untuk berekspresi di halaman surat kabar yang terbit di daerah sendiri. Akibatnya mereka harus mencoba peruntungan di media luar daerah atau bahkan media nasional.

Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan bagi eksistensi sastra di masa depan. Jika kita lengah, bukan tidak mungkin, suatu ketika sastra akan terpental dari kebudayaan Aceh.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada pada 21 November 2023

loading...

No comments