Kekerasan Seksual di Pesantren

Oleh: Khairil Miswar 

Foto: Media Indonesia 

Bireuen, 23 Mei  2023

Pfaus dan Scepkowski dalam The Biologic Basic for Libido (2005) mendefinisikan libido sebagai dorongan untuk melakukan aktivitas seksual. Pendefinisian ini tampak selaras dengan pemaknaan yang dibuat KBBI, di mana terma tersebut diartikan sebagai berahi yang bersifat naluri. Namun, dalam konteks psikologis, sebagaimana dikemukakan Freud, definisi libido tidak hanya terfokus pada persoalan seksualitas, tapi berdampak pada semua perilaku. 

Dalam beberapa kasus, libido yang abnormal kerap kali diasosiasikan dengan kekerasan seksual. Kuatnya libido ini sering pula disebut-sebut sebagai dampak dari pornografi. Namun secara faktual, pornografi tidak selamanya inheren dengan peningkatan libido. Seperti disebut Davy Rothbart dalam tulisannya di majalah New York sebagaimana dikutip kompas.com bahwa akses pornografi yang terlalu intens justru menyebabkan sulitnya mencapai klimaks ketika berhubungan seksual.

Seks dan Agama

Sebagai sesuatu yang naturalistik, seksualitas adalah entitas yang tidak bisa dipisahkan dari eksistensi manusia sebab secara faktual kelahiran dan perkembangan manusia berawal dari peristiwa seksual. Demikian pula dengan entitas agama juga inheren dengan kemanusiaan. Karena itu, meskipun dianggap tabu dan berada dalam dimensi yang berbeda, namun hampir semua agama mengandung ajaran tentang seksualitas. Dengan kata lain, seksualitas memiliki basis teologis dalam semua agama.

Islam sebagai agama yang menolak kerahiban juga terbilang akrab dengan ajaran seksualitas. Dalam Islam, hubungan seksual (jimak) yang sah dan mendapat legitimasi syariat dianggap sebagai bagian dari ibadah. Bahkan nilai ibadah dari aktivitas seksual ini disebut-sebut lebih tinggi dari sekadar puasa sunnah. Karena itu penjelasan tentang hubungan seksual dalam Islam terlihat begitu detail dan mendapat porsi tersendiri dalam kajian fiqh Islam.

Agama dan Kekerasan Seksual

Meskipun seksualitas memiliki basis teologis dalam setiap agama, namun hubungan seksual yang tidak sah (di luar nikah) justru mendapat penolakan dari otoritas agama. Dalam tradisi agama-agama Semit misalnya, aktivitas ini dianggap sebagai bentuk dari perzinaan di mana pelaku-pelakunya bukan saja dihukum, tapi juga dikucilkan dari pergaulan sosial. Demikian pula dengan praktik penyimpangan, pelecehan dan kekerasan seksual juga bertentangan dengan prinsip semua agama.

Lantas kenapa aksi kekerasan seksual kerap terjadi di ruang-ruang keagamaan semisal gereja dan pesantren? Dalam konteks ini mesti dibedakan antara agama sebagai doktrin teologis yang merujuk pada teks-teks suci berdimensi spiritual dan agama sebagai fenomena sosiologis yang mengacu pada perilaku penganutnya. Berdasarkan dikotomi ini, dapat diketahui bahwa kekerasan seksual berada pada domain sosiologis (realitas), bukan pada domain teologis (normatif).

Meskipun berada dalam domain sosiologis, namun dalam faktanya para pelaku kekerasan seksual ini kerap menggunakan argumen-argumen teologis semisal ketaatan dan keberkahan guna memengaruhi korbannya. Hal inilah yang kemudian memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menyalurkan libido seksualnya melalui pelecehan dan kekerasan di ruang keagamaan semisal pesantren atau gereja.

Kekerasan Seksual di Pesantren 

Pebriasisyah dkk (2022) menyebut lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren kerap dikaitkan dengan budaya patriarki, di mana laki-laki dikonstruksi sebagai subjek sementara perempuan sebagai objek. Di  pesantren juga terdapat relasi kuasa yang timpang di mana posisi seorang kiai dan gus lebih tinggi daripada santri sehingga para santriwati yang dilecehkan tidak memiliki kuasa untuk melawan sebab berada pada hierarki yang rendah.

Bruinessen (1994) menggambarkan posisi seorang kiai sebagai otoritas tunggal di pesantren yang ucapan dan tindakan-tindakannya dianggap sebagai kebenaran sehingga memungkinkan ia melakukan dominasi terhadap para santri. Faktanya, kondisi demikian tidak hanya terjadi di pesantren-pesantren di Jawa, tapi juga di lembaga pendidikan keagamaan semisal dayah di Aceh di mana seorang guru (teungku) kerap diposisikan sebagai sosok maksum (suci) yang tidak pernah berbuat salah dan dosa. Ketidakpatuhan kepada guru diyakini akan menjadi salah satu sebab masuk neraka. Dalam konteks yang lebih luas, seorang teungku (kiai) juga memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat, di mana sosok tersebut dianggap mampu mendatangkan keberkahan dan juga petaka (Shabri dkk, 2005).

Dalam konteks sosiologis, kuatnya posisi dan karisma seorang tokoh agama semisal teungku dan kiai disebabkan oleh tradisi kultus yang juga merupakan salah satu ciri khas yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan modern semisal sekolah dan madrasah. Dalam konteks psikologis, kultus ini terbentuk dari keterpesonaan santri kepada figur kiai yang didasarkan pada emosional (perasaan), bukan rasional (pikiran).

Di sisi lain, seperti dikemukakan Huda (2011), sistem pembelajaran di pesantren yang bersifat satu arah juga telah memosisikan kiai sebagai sumber primer yang secara otomatis menempatkan santri dalam heirarki paling bawah dan pasif. Kondisi ini menjadi dasar utama munculnya sikap kultus berbasis emosional kepada sosok kiai (teungku). Tradisi kultus inilah yang kemudian melahirkan relasi kuasa (power relation) yang timpang di dunia pesantren. 

Eksistensi relasi kuasa yang timpang ini membuka peluang bagi oknum-oknum tokoh agama semisal teungku, kiai dan gus untuk menyalurkan libido seksualnya kepada para santri dan santriwati yang telah larut dalam keterpesonaan dan ketundukan emosional akibat tradisi kultus. Secara psikologis, kondisi ini telah memberikan rasa nyaman kepada pelaku kekerasan seksual untuk melakukan aksinya di pesantren tanpa adanya rasa takut.

Akibat tradisi kultus dan libido seksual oknum tokoh agama yang tak terkendali, kasus pelecahan dan kekerasan seksual di pesantren tampak kian menjamur. Menurut data Komnas Perempuan seperti dikutip PMB LIPI, selama 2015-2020, kasus kekerasan seksual di pesantren menduduki posisi tertinggi kedua setelah perguruan tinggi. Beberapa waktu lalu, publik Indonesia pernah dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu pesantren di Jombang. Sebelumnya kejadian hampir serupa pernah terjadi di Bandung, Ogan Hilir, Trenggalek, Mojokerto, Lhokseumawe dan Pinrang Sulsel. Belum lama ini kejadian tersebut juga terjadi di Aceh, di mana seorang oknum guru pesantren diduga melakukan sodomi kepada sejumlah santri. Kejadian teranyar muncul di Pidie Jaya, di mana seorang oknum teungku melakukan pelecehan kepada tujuh santri laki-laki.

Menyikapi fenomena demikian, pesantren harus segera melakukan langkah-langkah strategis agar lembaga tersebut tidak ditinggalkan masyarakat. Salah satunya dengan melakukan transformasi sistem pendidikan dari pola doktrinal dan kultus (dominasi) berbasis emosionalyang menyebabkan santri menjadi pasifmenuju sistem pembelajaran kritis berbasis rasional dengan pola hubungan dinamis—agar santri dapat berpikir mandiri.

Kemandirian berpikir (tanpa adanya dominasi) dan sikap kritis dari santri akan menutup peluang bagi terulangnya kejadian ini di kemudian hari. Tidak mudah memang, tapi ini penting. 


Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia 

loading...

No comments