Pesantren Diintai Para Predator

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 12 Maret 2023

Okezone

Pesantren atau dayah adalah lembaga pendidikan pertama yang ada di Nusantara. Fakta ini selain memiliki kebenaran historis juga kerap digunakan sebagai argumen untuk mempertahankan eksistensi pesantren di tengah variasi model lembaga pendidikan modern yang terus bermunculan. Secara faktual pesantren memang masih mampu bertahan hingga saat ini – sebagai episentrum pendidikan agama paling otoritatif, setidaknya bagi mayoritas masyarakat rural. Dalam mengimbangi perkembangan zaman, pesantren juga terus beradaptasi dan melahirkan berbagai inovasi sehingga bermunculan berbagai varian pesantren akhir-akhir ini.

Dalam konteks kekinian, minat masyarakat urban terhadap lembaga pendidikan pesantren juga kian meningkat. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat kota yang tampak berlomba-lomba mengantarkan anak-anak mereka ke pesantren, meskipun harus mengeluarkan biaya yang tak kalah “mahal” dibanding sekolah-sekolah swasta yang dianggap bermutu tinggi. Kondisi ini menggambarkan bahwa pesantren tidak lagi sekadar diminati oleh masyarakat rural yang dikenal tradisional, tapi telah merambah kepada masyarakat urban yang lebih modern.

Namun sayangnya, di tengah kebangkitan dan pertumbuhan pesantren yang kian menggembirakan itu, kita disuguhkan dengan berabagai berita dan informasi yang tampak “menyudutkan” pesantren di mata publik. Ironisnya ketersudutan ini justru dipicu oleh oknum-oknum yang “bermukin” di pesantren, bukan oleh aktor luar. Artinya, ada problem internal nan pelik yang sedang dihadapi sejumlah pesantren di tanah air, termasuk Aceh, mulai dari kekerasan sampai dengan pelecehan seksual. Kasus-kasus demikian terus berulang dan bermunculan di sejumlah pesantren di tanah air sehingga memicu keresahan publik yang tentunya dapat berdampak pada turunnya kepercayaan publik kepada lembaga tersebut.

Evaluasi Internal

Untuk mengubah wajah pesantren yang kian tercoreng tentu kita tidak bisa sepenuhnya berharap pada pihak luar, tapi harus dimulai dari dalam. Artinya, pesantren mesti melakukan langkah-langkah strategis guna mempertahankan kepercayaan publik yang kini mulai tergerus akibat perilaku-perilaku oknum yang minus moral. Dalam hal ini pesantren harus berani mengambil sikap untuk melakukan evaluasi internal, tidak saja soal pola rekrutmen para pengajar, tapi juga harus bergerak lebih “radikal” dengan melakukan perubahan pada sistem pembelajaran.

Kita tahu hingga saat ini pesantren masih mempertahankan sistem pembelajaran yang terpusat pada guru. Dalam konteks kekinian, sistem ini harus diubah agar pembelajaran di pesantren tidak lagi “kaku” dan satu arah. Pola pembelajaran demikian memang sudah menjadi ciri khas pesantren di mana sosok guru menjadi pihak yang paling dominan dalam pembelajaran, Namun begitu, mempertahankan sistem tersebut tentu sudah tidak lagi relevan, sebab sistem pembelajaran yang demikian menyebabkan para santri menjadi pasif, tidak kritis, tidak kreatif dan kurang responsif.

Kita tidak mengatakan bahwa pesantren harus mengadopsi sistem pembelajaran di sekolah atau pun madrasah secara penuh yang mana hal demikian bisa menghilangkan karakteristik pesantren yang memiliki khas tersendiri, namun memosisikan para santri sebagai pihak yang aktif dalam pembelajaran tentu sangat penting dilakukan agar pembelajaran tidak hanya berjalan satu arah. 

Dalam hal ini, pola pembelajaran yang monolog sudah semestinya diperbarui dengan membuka dialog sehingga diskursus dalam pembelajaran dapat terbangun.

Dengan terciptanya diskursus dalam pembelajaran, para santri akan terlihat aktif dan tidak lagi menjadi “gelas kosong” yang menunggu “tuangan air” dari guru. Dalam hal ini, pola pembelajaran selama ini yang terkesan “doktrinal” sudah semestinya ditinggalkan karena telah terbukti “membunuh” nalar kritis para santri. Akibat tidak adanya nalar kritis, selama ini para santri tidak memiliki kesempatan untuk berpikir sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali sami’na wa atha’na (mendengar dan taat) terhadap apa pun yang dikatakan oleh guru yang kononnya tidak boleh dikritik. 

Dalam hal ini setiap penyampaian, permintaan dan perintah dari oknum guru akan dianggap sebagai sesuatu yang absolut dan final.

Secara psikologis, kondisi demikian akan menyebabkan para santri menjadi sulit mengambil keputusan terhadap berbagai problem kehidupan yang akan mereka temui di kemudian hari. Selain itu, kondisi ini juga memberi peluang bagi terjadinya kejahatan seksual di pesantren itu sendiri, di mana ketiadaan nalar kritis ditambah dengan adanya kultus terhadap sosok guru akan memosisikan santri sebagai subordinat yang sama sekali tidak memiliki daya dan sikap mandiri sehingga menjadi sangat mudah “diperalat” dan dijadikan objek kejahatan, khususnya kejahatan seksual.

Sebaliknya, dengan adanya nalar kritis pada diri santri akan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengambil sikap mandiri yang bebas dari pengaruh luar, termasuk oknum guru dan siapa pun yang ingin melakukan kejahatan. Jika pun kejahatan seksual itu tidak bisa dihindari dan kemudian terjadi, maka nalar kritis akan mendorong para santri untuk melakukan perlawanan atau setidaknya melaporkan kejahatan tersebut kepada orangtua mereka.

Nalar kritis ini tidak akan pernah bisa muncul jika pembelajaran di pesantren masih bersifat doktrinal dan berfokus pada guru. Karena itu pesantren harus segera menggagas sistem pembelajaran bersifat “egaliter” yang memosisikan santri tidak hanya sebagai objek, tapi juga sebagai subjek pembelajaran melalui diskursus sehingga santri menjadi aktif dan tidak lagi pasif.

Regulasi

Selain evaluasi internal, pemerintah juga harus mengambil peran untuk menyelamatkan pesantren dari intaian para predator seks yang terus berkeliaran. Dalam konteks Aceh, kita berharap regulasi dalam bentuk qanun yang khusus mengatur tentang pesantren (dayah) bisa segera dirancang sebagai rambu-rambu dalam menyelesaikan segala problem yang dihadapi pesantren, khususnya di Aceh. Qanun ini nantinya harus benar-benar komprehensif dan memuat segala aspek yang terkait dengan pesantren, mulai dari perizinan, sistem pembelajaran, keuangan, kompetensi guru, larangan eksploitasi santri, kejahatan seksual dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Qanun ini juga harus memastikan bahwa setiap pelanggaran memiliki konsekuensi hukum sampai dengan pencabutan izin.

Pengaturan demikian dibutuhkan agar wajah pesantren tidak lagi terkotori oleh ulah oknum yang menyaru sebagai guru, teungku atau bahkan pimpinan pesantren demi menyalurkan hasrat seksual kepada para santri yang merupakan generasi penerus bangsa di masa depan. Dalam hal ini pesantren harus dikembalikan pada posisi semula, sebagai episentrum pendidikan agama yang tetap menjaga nilai-nilai religius dan terbebas dari anasir-anasir yang ingin merusak moral generasi. Karena itu semua pihak harus bersinergi guna menyelamatkan para santri dari predator seksual yang ingin menjadikan pesantren sebagai lahan empuk memuaskan berahi. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments