Menyelamatkan Remaja dari Anarki

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 23 Februari 2023

Sumber: HjmAngle

Aksi premanisme yang dilakoni sejumlah remaja di Lhokseumawe beberapa waktu lalu telah mengejutkan semua pihak, mulai dari orangtua, lembaga pendidikan dan bahkan pihak kepolisian. Akibat aksi yang meresahkan tersebut para remaja itu pun ditangkap pihak kepolisian. Tiga dari tiga belas remaja tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka. Kabarnya para preman remaja itu berusia 14-16 tahun dan sebagiannya berstatus sebagai pelajar, sementara sebagian lainnya adalah anak-anak putus sekolah.

Dalam konteks Aceh, aksi kenakalan remaja dalam bentuk tawuran ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, pada 2022 aksi tawuran juga pernah terjadi di Aceh Tamiang yang melibatkan siswa SMA dan SMK di mana saat itu sejumlah pelajar dan masyarakat mengalami luka-luka akibat lemparan batu. Pada tahun yang sama aksi tawuran juga terjadi di Takengon, Aceh Tengah, di mana siswa MAN dan SMA terlibat bentrokan. Tawuran antarpelajar juga terjadi pada 2011 di Banda Aceh. Hanya karena hal sepele siswa dari dua sekolah terlibat aksi saling lempar batu.

Aksi tawuran yang tak kalah parah terjadi pada 2012 yang melibatkan pelajar dan mahasiswa dari dua kabupaten dalam ajang POPDA Aceh. Saat itu sejumlah 46 sepeda motor hangus dibakar oleh pelajar dan mahasiswa yang disulut amarah. Sementara di kabupaten Bireuen aksi tawuran semisal ini juga sudah sangat sering terjadi. Pada 2015 aksi tawuran antara siswa SMK dan SMA di Bireuen yang merupakan musuh bebuyutan sempat memacetkan jalan nasional sehingga aparat kepolisian terpaksa menyiagakan panser yang ternyata tidak dipedulikan oleh para pelajar. Akibatnya pihak kepolisian terpaksa menembakkan gas air mata untuk membubarkan perang antarsiswa.

Beberapa aksi tawuran tersebut hanya cuplikan dari sekian banyaknya tawuran para remaja di Aceh. Merujuk pada data-data tersebut, kita bisa berkesimpulan bahwa kondisi remaja-remaja kita masih diliputi sejumlah masalah yang kemudian berdampak pada munculnya tindakan anarki yang notabene adalah manifestasi dari kenakalan mereka. Lalu siapa yang salah dan siapa pula yang harus bertanggung jawab atas munculnya insiden-insiden tersebut?

Tentunya tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan demikian, sebab kenakalan remaja adalah problem yang kompleks. Dalam hal ini, semua pihak memiliki peran dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi, mulai dari orangtua, lembaga pendidikan, masyarakat dan bahkan negara. Jika dirinci; kelalaian orangtua, lengahnya lembaga pendidikan, abainya masyarakat dan absennya negara adalah beberapa faktor yang bisa memicu munculnya kenakalan remaja yang berbuah anarki.

Mengelola Gejolak Remaja

Dalam perspektif pendidikan, masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam hal ini, munculnya berbagai gejolak dalam jiwa remaja adalah wajar belaka, mengingat mereka juga bersentuhan dengan faktor yang berasal dari luar dirinya untuk kemudian mengalami proses pematangan. Dalam kondisi demikian dibutuhkan bimbingan yang intens dari semua pihak, khususnya orangtua dan lembaga pendidikan agar proses pematangan bisa berjalan sesuai harapan.

Pola asuh orangtua adalah hal terpenting yang tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab pembentukan karakter remaja pertama kali berasal dari orangtua melalui pendidikan dalam keluarga. Dari orangtualah para remaja pertama sekali belajar tentang kehidupan, tentang hal-hal baik dan buruk. Peran selanjutnya berada di pundak lembaga pendidikan sebagai lembaga resmi yang memiliki sistem pendidikan dan kurikulum yang lebih terstruktur dan sistematis plus tenaga profesional. Pendisiplinan dan pengenalan terhadap norma-norma yang dilakukan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter seorang remaja.

Sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya remaja juga akan bersentuhan dengan lingkungan yang lebih luas. Dalam hal ini masyarakat juga merupakan elemen penting yang mesti menaruh perhatian terhadap perkembangan karakter remaja. Kita tahu bahwa aksi-aksi kenakalan remaja kerap muncul dalam lingkungan masyarakat sebab di sanalah mereka bisa berinteraksi secara lebih bebas dengan berbagai pihak. Dalam hal ini kondisi lingkungan dan masyarakat memiliki kontribusi tersendiri dalam membentuk karakter seorang remaja. Karena itu kontrol sosial dari masyarakat sangat dibutuhkan.

Pihak lainnya yang memiliki peran yang tak kalah penting adalah negara sebagai otoritas tertinggi yang bertanggung jawab atas nasib warganya. Dalam hal ini, regulasi yang dilahirkan oleh negara mestilah kompatibel dengan pembentukan karakter remaja. Munculnya regulasi yang mengabaikan pembentukan karakter tentu akan menjadi problem tersendiri bagi orangtua, lembaga pendidikan dan masyarakat dalam membentuk karakter para remaja.

Problem Kekinian

Dalam konteks kekinian kenakalan remaja juga bisa dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi. Dalam hal ini akses terhadap berbagai tayangan kekerasan yang dilakukan para remaja dalam kondisi tertentu bisa berdampak pada perubahan perilaku mereka. Sebagai sosok yang berada pada fase transisi dari anak-anak ke dewasa, remaja sangat rentan terpengaruh dengan hal-hal yang berada di luar dirinya, termasuk tayangan dan bacaaan yang mereka peroleh dari internet. Karena itu pengawasan terhadap remaja dari orangtua, lembaga pendidikan dan masyarakat sangat dibutuhkan, terlebih lagi saat ini fasilitas wifi sudah merebak hingga ke pelosok kampung.

Hal lainnya yang menjadi problem saat ini adalah melemahnya pendisiplinan oleh lembaga pendidikan. Kita tahu, kemunculan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di satu sisi memang dibutuhkan, namun di sisi lain telah melumpuhkan tindakan penertiban terhadap para siswa yang mengalami kebandelan ekstrem. Kita tahu bahwa kebandelan ekstrem memerlukan penanganan khusus, tidak saja bimbingan tapi juga punishment. Namun sayangnya keberadaan UU tersebut telah menyebabkan para guru tidak berani menerapkan punishment sehingga kenakalan remaja pun semakin liar.

Konyolnya, ketika guru tidak melakukan apa-apa dan membiarkan siswa memamerkan ekspresi liarnya, guru justru menjadi pihak yang kerap disalahkan, bukan saja oleh publik, tetapi juga oleh oknum dinas pendidikan sendiri. Dalam kondisi inilah muncul dilema dalam dunia pendidikan, di mana di satu sisi guru dituntut untuk membentuk karakter siswa serta melakukan usaha preventif terhadap tindakan anarki para remaja, namun di sisi lain tindakan demikian terhalangi oleh pasal-pasal yang ada dalam regulasi. Jika kondisinya sudah begini, lalu siapa lagi yang bisa menyelamatkan para remaja dari kenakalan yang berbuah anarki?

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments