Kontroversi Panji Gumilang

Sumber: Disway


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 13 Juli 2023

Agama dan tafsir agama adalah dua hal berbeda. Namun, dalam masyarakat religius yang fanatik, tafsir agama kerap dianggap sebagai agama. Hal ini disebabkan oleh adanya dominasi tafsir dari golongan tertentu. Dominasi tafsir ini menyebabkan masyarakat religius yang kurang kritis cenderung memosisikan tafsir agama sebagai sesuatu yang absolut sehingga mereka akan menolak tafsir-tafsir lainnya yang tampak bertentangan dengan tafsir konvensional. Secara sosiologis, fenomena ini adalah wajar belaka. Namun, dalam kondisi tertentu hal ini berpotensi memicu munculnya sikap intoleran.

Islam sebagai agama yang mendorong kebebasan berpikir, dalam sejarahnya tidak pernah menutup ruang tafsir. Munculnya sejumlah mazhab fiqih dalam bidang hukum dan juga sejumlah sekte dalam teologi adalah bukti bahwa tafsir terhadap agama telah tumbuh dengan subur dalam Islam. Adapun konflik antarmazhab dan antarsekte yang muncul kemudian, tentunya harus dipandang sebagai fenomena sosiologis dan tidak semata-mata teologis.

Seperti dikemukan di awal bahwa agama dan tafsir berada pada dimensi berbeda, di mana yang disebut pertama bersifat sakral, sedangkan yang kedua cenderung profan karena adanya unsur-unsur manusiawi di dalamnya. Namun demikian, tafsir terhadap agama mestilah dilakukan oleh ahlinya, dalam hal ini adalah orang-orang yang memenuhi kualifikasi akademik tertentu. Artinya, kebebasan berpikir, tepatnya kebebasan tafsir tidak secara serta merta melekat pada tiap-tiap individu, kecuali jika individu tersebut memenuhi kualifikasi.

Tafsir yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memenuhi kualifikasi tentu tidak bisa disebut sebagai tafsir karena bukan dilakukan oleh ahlinya, meskipun kita masih bisa berdebat tentang indikator-indikator “keahlian” dimaksud. Prinsip ini penting, sebab tafsir yang dilakukan secara liar tanpa merujuk pada sumber-sumber otoritatif justru akan memicu keriuhan.

Kontroversi yang muncul akibat penyataan-pernyataan Panji Gumilang akhir-akhir ini mungkin bisa menjadi salah satu contoh tentang bagaimana keriuhan itu terjadi. Keriuhan yang bukan saja membenturkan orang-orang secara teologis, tapi—lebih jauh—berpotensi disusupi kepentingan yang lebih politis. Sejauh ini, kasus Panji Gumilang telah berhasil menyita perhatian publik di tanah air, di mana sejumlah kalangan “mengutuk” dan tak sedikit pula yang coba “membela” sosok dimaksud dengan berbagai argumentasi yang terkadang absurd.

Media telah merilis sejumlah kontroversi Panji Gumilang yang kini menjadi perbincangan publik. Pernyataan-pernyataan yang dikaitkan dengan Panji Gumilang ini tentunya harus dilihat dalam perspektif yang lebih kritis. Kita tahu bahwa tidak semua pandangan yang dikemukakan Panji Gumilang ini benar-benar baru, sebagiannya justru diadopsi dari pemikir-pemikir lain, di mana Panji Gumilang hanya mewacanakan ulang kontroversi yang sudah ada sebelumnya.

Pertama, perempuan boleh menjadi khatib Jumat dan imam shalat. Gagasan ini bukanlah gagasan baru dan bahkan telah dipraktikkan 18 tahun lalu oleh Amina Wadud, seorang aktivis feminis di Amerika pada 2005. Saat itu ia menjadi imam shalat plus khatib Jumat di sebuah gereja Anglikan di New York dengan jamaah bercampur antara laki-laki dan perempuan. Pada 2008 dia juga melakukan tindakan yang sama di Oxford Centre. Aksinya tersebut mendapat kecaman dari seluruh dunia Muslim. Gagasan Wadud ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan kesetaraan laki-laki dan perempuan, ditambah dengan adanya teks hadits yang menceritakan tentang kisah Ummu Waraqah memimpin shalat atas anjuran Nabi.

Kedua, shalat tanpa merapatkan saf. Hal ini juga bukan perbincangan baru, tapi telah muncul dalam diskursus ulama-ulama fiqih, di mana rapat dan tidak rapatnya saf shalat tidak melahirkan kesepakatan bulat. Namun, secara umum para fuqaha meyakini bahwa merapatkan saf shalat adalah keutamaan, kecuali dalam kondisi darurat semisal pandemi Covid beberapa waktu lalu. Ada pun pendapat Panji Gumilang tentang saf shalat berjarak yang didasarkan pada ayat 11 Surat Al-Mujadalah memang terbilang rancu dan semakin menegaskan bahwa ia sama sekali tidak memenuhi kualifikasi sebagai penafsir.

Ketiga, zina boleh asal ditebus. Jika pendapat ini benar berasal dari Panji Gumilang, maka dia adalah pelopor dalam hal ini. Seperti diketahui bab zina sama sekali tidak berada dalam wilayah debat. Dalam fiqh jinayah perilaku ini masuk dalam kategori kejahatan yang dikenakan hukum had.

Keempat, Al-Quran adalah kalam Nabi Muhammad. Dalam hal ini Panji Gumilang bukanlah orang pertama. Kita tahu bahwa keraguan terhadap orisinalitas Al-Quran sebagai kalam Allah (wahyu) sudah pernah dikemukan oleh beberapa orientalis Barat semisal Tor Andrae, Manneval, Richard Bell dan Abaraham Geiger. Tokoh disebut terakhir bahkan mengklaim bahwa Al-Quran hanyalah buatan Nabi yang diadaptasi dari tradisi kitab suci Yahudi. Dalam hal ini, bukan tidak mungkin Panji Gumilang terpengaruh dengan pemikiran tersebut.

Kelima, Mazhab Soekarno. Pernyataan ini sepertinya bisa diabaikan saja, karena bisa jadi pernyataan tersebut hanya candaan Panji Gumilang. Mungkin saja yang dimaksud Panji Gumilang adalah “mazhab” dalam konteks kebangsaan, bukan mazhab fiqih sebagaimana dipahami mayoritas Muslim. Namun, di tengah kontroversi saat ini lelucon tersebut justru menambah keriuhan publik.

Keenam, masjid di Indonesia adalah tempat orang-orang putus asa. Pernyataan ini sepertinya akan lebih tepat jika dilihat dalam konteks sosiologis, bukan teologis. Bisa jadi pernyataan ini hanyalah bentuk kritik Panji Gumilang terhadap umat Muslim Indonesia—yang mungkin oleh Panji dianggap telah kehilangan spirit untuk memakmurkan masjid—atau mungkin pula kritik terhadap pengelola masjid (pemuka agama) yang dianggap “gagal” membangun umat.

Ketujuh, penghapusan kolom agama di KTP. Gagasan ini juga bukan hal baru dan pernah menghebohkan publik beberapa tahun lalu. Isu tentang penghapusan kolom agama di KTP sempat beredar luas pada 2019. Namun, isu ini kemudian dibantah oleh pemerintah.

Kedelapan, mendirikan gereja di pondok pesantren. Jika gagasan ini dimaksud sebagai bentuk dukungan pada pluralisme agama, maka seperti sebelumnya, gagasan ini juga terbilang tidak baru dan sudah pernah dikemukan oleh sosok-sosok lainnya sebelum Panji Gumilang.

Mencermati beberapa kontroversi di atas, demi terciptanya stabilitas sosial, sudah semestinya dilakukan investigasi yang lebih serius untuk membuktikan kebenaran pernyataan-pernyataan tersebut. Jika terbukti melanggar UU Penistaan Agama, maka hukum harus ditegakkan. Sebaliknya, jika tidak terbukti, nama yang bersangkutan mesti dipulihkan.

Namun demikian, terlepas dari apa yang akan terjadi, harus diakui bahwa sosok Panji Gumilang tidak memiliki kualifikasi untuk menafsirkan agama. Lagi pula, sejauh ini terlihat jelas bahwa dia sama sekali tidak memiliki argumentasi untuk membela pemikirannya sendiri. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada pada 20 Juli 2023

loading...

No comments