Pesantren dan Pola Pendisiplinan yang Humanis

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 15 Oktober 2022

Majalah Santunan, 1980

Di tengah kegaduhan kasus Ferdy Sambo yang belum selesai dan kenaikan harga BBM yang mengejutkan, beberapa waktu lalu publik kembali dibuat heboh dengan meninggalnya seorang santri di salah satu pesantren ternama di Indonesia. Seperti dikabarkan media, seorang santri yang diduga mengalami penganiayaan dari teman-temannya meninggal dunia di Pondok Pesantren Gontor. Informasi awal menyebut pihak pesantren sempat berupaya menutupi kasus penganiayaan ini dengan pernyataan bahwa santri tersebut meninggal karena sakit.

Menyikapi kasus tersebut, kabarnya Kementerian Agama akan menyusun regulasi guna mengantisipasi berbagai bentuk kekerasan di lembaga pendidikan agama, termasuk pesantren. Sikap responsif dari Kementerian Agama ini tentunya patut diapresiasi sebagai salah satu upaya preventif agar kasus-kasus serupa tidak terulang di masa depan.

Aksi kekerasan di pesantren bukanlah fenomena baru dan telah berulang kali terjadi. Beberapa hari sebelumnya, seorang santri di Pesantren Darul Qur’an juga meninggal dunia setelah mendapat penganiayaan dari santri senior. Aksi-aksi ini terus terulang dari tahun ke tahun tanpa adanya upaya konkret dari pemangku kebijakan. Bahkan ada sebagian kalangan yang menganggap kekerasan di pesantren hanyalah bagian dari kenakalan remaja biasa. Persepsi seperti ini tentu keliru karena menegasikan prinsip-prinsip pendidikan humanis yang seharusnya dimiliki pesantren.

Akar Kekerasan di Pesantren

Kasus kekerasan fisik dan bullying di pesantren telah menjadi fenomena gunung es yang sekilas tampak sederhana, tapi hakikatnya mengandung bara yang kapan-kapan bisa meledak. Selama ini hanya beberapa kasus yang muncul ke permukaan dan berhasil terekspose media, sementara sejumlah kasus lainnya mungkin masih mengendap dan menunggu waktu untuk meledak.

Lantas apa yang melatari kekerasan di pesantren? Secara objektif tentunya pertanyaan ini sulit dijawab, namun demikian, pola pendisiplinan di sebagian pesantren yang masih menggunakan pendekatan kekerasan dapat dicurigai sebagai salah satu faktor yang membentuk “tradisi” kekerasan dan bullying di pesantren. Pola pendisiplinan dengan pendekatan kekerasan ini di antaranya terungkap dalam penelitian yang dilakukan Zulfa (2020). Dalam penelitian itu dikemukakan beberapa contoh pola pendisiplinan yang terkesan kurang humanis, di antaranya: hukuman penggundulan rambut, lari mengelilingi lapangan, mencambuk dengan rotan dan menjewer telinga. Bahkan di salah satu pesantren di Jombang ditemukan praktik hukuman cambuk sebanyak 35 kali kepada tiga orang santri yang ditutup matanya dan diikat pada sebuah pohon. Pola hukuman dan pendisiplinan semacam ini bukan saja tidak humanis, tapi juga berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Selain pola pendisiplinan melalui kekerasan, faktor lainnya yang patut diduga turut melatari aksi kekerasan di pesantren adalah relasi yang timpang antara senior-junior. Dalam konteks ini, santri senior kerap memosisikan diri sebagai superior yang memandang santri junior sebagai sosok inferior sehingga berdampak pada tindakan subordinasi. Ironisnya sebagian pesantren tampak membiarkan kondisi ini sehingga aksi bullying dan kekerasan dari santri senior kepada junior seperti mendapat legitimasi. 

Secara psikologis, pola pendisiplinan melalui pendekatan kekerasan dalam bentuk punishment yang tidak humanis dan adanya disparitas senior-junior ini akan berdampak pada munculnya ketimpangan perilaku pada santri. Dari sinilah kemudian potensi kekerasan itu muncul dan berkembang di pesantren. Pengulangan kekerasan yang dialami di pesantren, baik melalui punishment dan juga bullying dari senior akan membentuk pribadi-pribadi yang keras di kemudian hari. Bisa jadi hari ini mereka menjadi korban kekerasan dan di lain waktu justru menjadi pelaku kekerasan.

Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama tampak kurang memiliki legitimasi untuk melakukan intervensi, sebab pesantren kerap memosisikan diri sebagai lembaga otonom yang berhak mengatur dirinya sendiri. Selain itu, sifat ekslusif yang dimiliki sebagian pesantren juga menjadi problem tersendiri di mana tidak semua pelanggaran dan kekerasan di pesantren dapat diketahui publik. Sifat tertutup ini memberi peluang bagi mengendapnya kasus-kasus tersebut dan baru terkuak ketika viral.

Menuju Pesantren Humanis

Menyimak berbagai problem yang muncul di pesantren akhir-akhir ini, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama bersikap tegas dengan melahirkan regulasi yang secara khusus mengatur tentang pola pendidikan di pesantren. Regulasi ini nantinya bisa menjadi alat “pemaksa” dalam rangka menciptakan pesantren-pesantren yang humanis di masa depan sehingga berbagai bentuk aksi kekerasan tidak lagi tumbuh dan berkembang di pesantren. Ini penting agar muruah pesantren tidak tercoreng oleh sikap anarkis dan juga perilaku destruktif.

Namun demikian, hendaknya regulasi yang memuat konsep pendidikan humanis tersebut tidak dimaksudkan untuk menghilangkan otonomi pesantren, tapi hanya sebagai rambu-rambu agar kepercayaan publik terhadap pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan alternatif dapat tetap terjaga. Dalam konteks yang lebih luas, konsep pendidikan humanis ini juga diharapkan bisa menyelamatkan pesantren dari tudingan miring sebagian pihak yang kerap mengaitkan pesantren dengan radikalisme dan terorisme.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan

loading...

No comments