Kontestasi Otoritas Agama di Indonesia

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 1 Oktober 2022

Creation Ministries

Beberapa waktu lalu ini Konser Langit Hanan Attaki ditolak di sejumlah kabupaten di Jawa Timur (Jatim). Penolakan itu terjadi di Gresik, Jember, Situbondo, Semenep dan Sidoarjo. PWNU Jatim menyebut penolakan itu sebagai fenomena wajar. Di antara argumen yang diajukan adalah metode dakwah Hanan Attaki yang dianggap tidak sesuai dengan kultur Jatim dan juga keterkaitannya dengan organisasi terlarang, HTI. Namun sejauh mana kebenaran klaim ini, tidak ditemukan penjelasan yang memadai.

Sebelumnya nasib serupa juga dialami Khalid Basalamah. Dia sempat mengalami penolakan dari beberapa ormas di Kota Palu karena diindikasikan sebagai penceramah Wahabi. Selain itu, ceramah Basalamah yang sudah diagendakan di IPDN juga dibatalkan setelah mendapat sorotan dari pengguna media sosial. Alasannya paham yang berbau kekerasan tidak dibolehkan di lingkungan IPDN. Dalam konteks ini, secara tidak langsung Basalamah diidentifikasi sebagai penganjur paham kekerasan, meskipun secara faktual tidak ditemukan bukti-bukti yang menguatkan argumen tersebut.

Sementara itu, di Aceh, meskipun telah dinobatkan sebagai “Provinsi Syariat” dengan adanya formalisasi syariat Islam yang melahirkan sejumlah qanun, aksi penolakan semisal ini juga lumayan marak. Bahkan secara kuantitatif kasus-kasus ini lebih banyak terjadi di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya penolakan sosok tertentu, lebih jauh penolakan ini bahkan pernah melahirkan gerakan sosial yang mencapai puncaknya pada 2015 dengan digelarnya Parade Aswaja di Masjid Raya Baiturrahman. Aksi ini kemudian telah berdampak pada pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen.

Perseteruan yang tak kalah uniknya juga terjadi antara barisan Aswaja berhadapan dengan Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPTT). Dalam faktanya kontestasi ini telah menyebabkan munculnya tindakan-tindakan destruktif dari salah satu pihak. Bahkan pada 2020 lalu Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Selatan sempat mengeluarkan rekomendasi yang berisi penolakan terhadap ajaran MPTT. Meskipun kemudian peneliti MUI Pusat menyebut ajaran MPTT tidak menyimpang dari Islam, namun secara senyap kontestasi itu masih tetap berlangsung.

Kontestasi Otoritas

Dalam konteks sosiologis, aksi-aksi di atas secara umum dilatari oleh adanya kontestasi otoritas keagamaan antarkelompok, yaitu tentang siapa yang paling berhak menafsirkan teks-teks agama. Di sini masing-masing pihak merasa berhak mengklaim diri dan kelompoknya sebagai representasi dari Islam dan menegasikan eksistensi kelompok lain dengan menggunakan dalil-dalil teologis sehingga memunculkan label sesat, bid’ah, takfiri dan sebagainya. Melalui labeling inilah stigmatisasi terhadap kelompok yang berbeda terjadi.

Label sesat biasanya ditujukan kepada kelompok-kelompok minoritas yang memiliki pemikiran teologis berbeda dengan kelompok maenstream. Label bid’ah kerap diasosiasikan dengan praktik ritual yang argumentasi teologisnya tidak didasarkan pada teks-teks agama. Sementara label takfiri sering dikaitkan dengan gerakan politik tertentu yang mengusung ide Islamisme berbasis khilafah. Dalam kondisi inilah munculnya fragmentasi otoritas – di mana masing-masing pihak mengklaim kelompoknya sebagai paling otoritatif. Benturan klaim-klaim inilah yang kemudian membuka ruang terjadinya kontestasi otoritas keagamaan di ruang publik.

Secara historis pertentangan antarkelompok keagamaan dalam Islam bukanlah hal baru. Konflik sektarian semacam ini telah dimulai di masa-masa awal perkembangan Islam yang ditandai dengan kemunculan sekte Khawarij, Syi’ah, Murji’ah dan Mu’tazilah. Sejarah telah mencatat peristiwa ini dengan cukup baik, khususnya di era Abbasiyah – yang kala itu memosisikan paham Mu’tazilah sebagai ideologi resmi negara sehingga paham-paham lain termarjinalkan secara politis. Saat itu tokoh-tokoh agama yang menolak doktrin “Al-Qur’an makhluk” yang diajarkan Mu’tazilah mengalami diskriminasi dan dihukum.

Di masa selanjutnya, dampak dari kontestasi otoritas agama juga dialami seorang tokoh Sufi bernama Al-Hallaj yang diyakini mengajarkan konsep hulul (Tuhan menitis kepada makhluk). Karena pahamnya dianggap sesat dan bertentangan dengan paham keagamaan yang diyakini penguasa akhirnya Al-Hallaj dihukum mati. Kisah Al-Hallaj ini kemudian menjadi legenda paling populer dalam perkembangan Sufisme di dunia Islam. 

Fenomena serupa terjadi di era Kesultanan Aceh dengan munculnya benturan antara pengikut Wujudiah Hamzah Fansuri dan kelompok fuqaha yang dipimpin Nuruddin Ar-Raniry. Konflik ini berdampak pada terganggunya stabilitas negara dan munculya aksi diskriminasi terhadap pengikut Hamzah Fansuri di Aceh. Tragisnya lagi kitab-kitab yang ditulis Hamzah Fansuri dibakar di Masjid Raya Baiturrahman. Konflik baru mereda setelah Abdurrauf As-Singkili menjadi mufti Kesultanan Aceh.

Di tanah Jawa wujud kontestasi otoritas di masa lalu salah satunya terekam dalam cerita turun-temurun terkait sosok Syekh Siti Jenar yang disebut-sebut menganut paham Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya makhluk dengan Tuhan). Ajaran ini mendapat penolakan dari Wali Songo yang dianggap sebagai representasi ajaran ortodoks (maenstream). Penolakan ini dilatari oleh adanya perbedaan penafsiran keagamaan antara Syekh Siti Jenar dan Wali Songo.

Ketika arus modernisasi masuk ke Indonesia, kontestasi ini kembali meletup melalui pertentangan antara kubu tradisionalis yang berhadapan dengan kubu modernis. Pertentangan ini tidak hanya terbatas pada penolakan terhadap gagasan-gagasan pembaruan, tapi juga melahirkan diskursus teologis yang berkepanjangan. Bahkan Ahmad Dahlan yang saat itu memelopori organisasi Muhammadiyah sempat dituding sebagai kiai kafir karena pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pandangan tradisionalis.

Fenomena yang tak kalah menarik juga terjadi ketika Nurcholis Madjid (Cak Nur) mengemukakan gagasannya tentang sekularisasi dan modernisasi. Saat itu arus penolakan terhadap pemikiran-pemikiran kontemporer yang dikembangkan Cak Nur terbilang cukup masif. Penolakan pemikiran Cak Nur tidak hanya datang dari tradisionalis, tapi juga dari tokoh modernis semisal H. M. Rasyidi yang secara khusus menulis “Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi.” Namun demikian, berbeda dengan kontestasi sebelumnya, kontestasi disebut terakhir masih bisa dimaklumi karena berada dalam ruang diskursus dan tidak berdampak pada munculnya tindakan-tindakan destruktif.  

Kedewasaan Beragama

Kontestasi antarpemikiran keagamaan tentunya tidak bisa dihindari, sebab ia adalah keniscayaan. Namun hendaknya kontestasi dimaksud bisa berlangsung dengan elegan. Agar kontestasi otoritas keagamaan tidak berdampak pada tindakan-tindakan destruktif yang bisa merusak peradaban, semua pihak tentu harus berlapang dada dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Biarlah perbedaan-perbedaan itu berada dalam ruang diskursus dan tidak menyeruak dalam tindakan-tindakan diskriminasi seperti penolakan penceramah atau pun tindakan anarkis semisal pembubaran pengajian dan pelarangan pembangunan masjid. Dalam konteks ini dibutuhkan kedewasaan dalam beragama dari semua pihak agar stabilitas kehidupan sosio-religi tetap terjaga sehingga kita bisa tetap bersatu dalam bingkai kebhinekaan.

Selain itu, pemerintah selaku otoritas politik juga mesti menjalankan fungsinya secara profesional dan proporsional agar kontestasi otoritas keagamaan tidak berjalan liar sehingga merusak keutuhan negara. Dalam hal ini pemerintah juga mesti menjamin kebebasan beragama semua pihak sehingga tidak ada lagi warga negara yang terdiskriminasi.

Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia

loading...

No comments