Syariat Islam Aceh Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 24 September 2022
Sepintas tajuk tulisan ini mungkin mengingatkan kita pada buku “fenomenal” yang pernah ditulis Harun Nasution, seorang filsuf dan pemikir Muslim kontemporer di Indonesia. Meskipun ringkas dan padat, namun buku tersebut memberikan gambaran yang cukup jelas tentang bagaimana Islam itu dipahami. Di hadapan para intelektual buku itu mungkin terbilang “receh” sebab kajiannya tidak mendalam, tapi bagi mahasiswa dan masyarakat awam buku itu memberi peta jalan untuk memahami Islam secara holistik.
Nah, berdasarkan berdasarkan argumentasi itulah tulisan ini diberi tajuk demikian. Artinya, formalisasi Syariat Islam di Aceh juga tidak bisa dilihat secara parsial alias sepotong-sepotong, tapi harus dikaji secara komprehensif agar tidak melahirkan konklusi yang delusif semisal pernyataan “Implementasi Syariat Islam Gagal” sebagaimana dikampanyekan Prof. Mujiburrahman atawa “Syariat Islam belum Gagal” seperti difatwakan Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan. Dalam analisis semantik kedua pernyataan ini jelas-jelas membingungkan publik sebab bias makna, namun jika dicermati lebih jauh kedua pernyataan itu justru benar dalam konteksnya masing-masing.
Dalam pernyataannya yang dirilis media Prof. Mujib menyebut implementasi syariat Islam gagal. Penggunaan istilah implementasi inilah yang menghadirkan kebingungan. Padahal yang dimaksud dengan implementasi oleh Mujib adalah ketimpangan kronologis dalam penerapan syariat Islam di Aceh, di mana punishment lebih didahulukan daripada edukasi. Di sinilah titik kritik yang dilontarkan Mujib yang kemudian disalahpahami oleh Hasanuddin Yusuf Adan. Padahal jika dicermati dengan saksama apa yang disampaikan Mujib memang benar secara faktual di mana dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh gaung pecut cemeti lebih dominan dibanding edukasi publik.
Adapun bantahan Hasanuddin Yusuf Adan dalam opininya juga benar dalam konteksnya sendiri – bahwa implementasi Syariat Islam di Aceh memang belum gagal sebab secara faktual eksekusi demi eksekusi sudah, sedang dan akan terus berlangsung secara terbuka di hadapan publik. Dalam konteks ini argumentasi yang disampaikan Adan memang selaras dengan fenomena yang hampir saban hari kita saksikan dan bahkan dilaporkan media – tentang banyaknya punggung-punggung yang dicambuk.
Nah, untuk menghindari perdebatan-perdebatan yang tidak perlu dan agar kita mendapatkan potret utuh terkait formalisasi Syariat Islam di Aceh selama hampir 20 tahun, maka dibutuhkan kajian tentang dampak dari implementasi tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek pendidikan, politik, ekonomi dan sosio-religi.
Aspek Pendidikan
Dalam aspek ini, kita mesti sepakat dengan pernyataan yang disampaikan Mujib bahwa penghukuman terhadap pelanggar syariat Islam di Aceh masih tampak didahulukan dari edukasi. Dalam konteks ini, ramai pelanggar-pelanggar syariat yang dicambuk di muka umum belum memahami secara utuh tentang konsep syariat yang dijalankan di Aceh. Butir-butir pasal dalam qanun-qanun syariat yang telah disahkan sama sekali tidak pernah sampai kepada mereka dan hanya diketahui oleh penyelenggaran syariat itu sendiri, sementara publik masih terkurung dalam keawaman yang parah karena minimnya sosialisasi.
Menyikapi hal ini penyelenggara syariat mesti melakukan refocusing strategi implementasi syariat Islam yang terpusat pada edukasi publik dan tidak lagi terjebak dalam nafsu punishment, sebab keberhasilan formalisasi syariat Islam tidak bisa dilihat dari kuantitas eksekusi, tapi dari kualitas pemahaman publik terhadap konsep syariat yang sedang dijalankan. Dan kualitas pemahaman ini hanya akan muncul melalui edukasi yang intens. Kualitas pemahaman publik ini nantinya akan berdampak pada menurunnya angka jarimah (kejahatan) sehingga eksekusi pun akan berkurang. Dalam kondisi inilah keberhasilan implementasi syariat Islam itu dapat diukur. Semakin banyak pelanggaran maka implementasinya semakin gagal. Sebaliknya, semakin sedikit punggung yang dicambuk maka formalisasi tersebut semakin berhasil.
Aspek Politik
Secara faktual implementasi syariat Islam di Aceh dalam dua puluh tahun terakhir baru menyentuh tepi-tepi syariat dan belum masuk ke substansi. Ada banyak sekali aspek yang belum tersentuh syariat, salah satunya dalam ruang politik. Hingga saat ini ruang politik di Aceh masih sangat “sekular” dan bahkan “liberal.” Kondisi ini salah satunya disebabkan oleh adanya kekosongan hukum karena ketiadaan qanun yang berbicara terkait topik ini.
Akibat dari kondisi ini frasa “melanggar syariat” hampir-hampir tidak ditemukan di ruang politik sehingga politik teror, politik uang, politisasi agama dan penipuan publik melalui “aksi prank” alias janji bohong masih terus saja berlangsung dengan aman sentosa. Pelaku-pelakunya bisa berlenggak-lenggok tanpa harus khawatir punggungnya terkena cemeti. Jika kondisi ini terus berlarut-larut maka frasa “syariat gagal” akan terus abadi, sebab gubernur, bupati, walikota dan parlemen yang terpilih dalam proses yang “tidak sesuai syariat” tidak mungkin bisa melahirkan regulasi yang pro syariat.
Aspek Ekonomi
Benar bahwa di Aceh telah berlaku Qanun Lembaga Keuangan Syariah, tapi apakah perekonomian masyarakat Aceh selama dua puluh terakhir ini sudah membaik? Apakah implementasi syariat Islam di Aceh memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat? Jika menyimak berbagai fenomena yang terjadi, maka pertanyaan serupa ini menjadi sulit dijawab, sebab implementasi yang salah kaprah justru bisa mematikan potensi perekonomian masyarakat.
Aksi penutupan dan pembatasan beberapa tempat wisata, khususnya wilayah pantai dengan dalih syariat Islam dalam faktanya justru merugikan warga sekitar yang mencari penghidupan di sana. Di sini muncul kesan bahwa tempat wisata identik dengan pelanggaran syariat. Meskipun aksi penutupan ini bukan dilakukan oleh pemerintah, tapi pemerintah seharusnya mampu menawarkan konsep strategis agar kebutuhan publik akan wisata bisa terpenuhi dan dalam waktu bersamaan ekonomi masyarakat bisa tumbuh tanpa adanya pelanggaran syariat di sana. Dengan demikian formalisasi syariat Islam tidak tidak hanya sukses dalam menghukum tapi juga sukses dalam memberdayakan.
Aspek Sosio-Religi
Dengan adanya formalisasi syariat Islam seharusnya ketertiban dan stabilitas sosial dapat semakin tumbuh. Namun faktanya kericuhan, diskriminasi, dominasi dan pertentangan antar kelompok agama dalam ruang sosio-religi di Aceh masih saja terjadi. Dalam konteks ini Pemerintah Aceh sendiri sering melakukan blunder. Salah satunya adalah Surat Edaran yang mengatur pengajian di Aceh mesti merujuk pada satu mazhab tertentu. Demikian pula dengan pemerintah Kabupaten Bireuen yang tampak menjustifikasi aksi pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di Samalanga.
Kebijakan-kebijakan absurd ini tentunya akan berdampak pada tercorengnya wibawa formalisasi syariat Islam di Aceh, di mana syariat terkesan tidak mampu melindungi keragaman yang ada. Dalam konteks ini pemerintah dan penyelenggara syariat telah benar-benar gagal menciptakan kehidupan sosio-religi yang toleran, humanis dan harmonis.
Nah, berkiblat pada fakta-fakta itu, kesimpulan Rektor UIN Ar-Raniry yang menyebut syariat Islam di Aceh gagal sepertinya benar-benar masuk gawang. Dengan demikian, evaluasi terhadap formalisasi syariat Islam di Aceh adalah agenda mendesak yang mesti mendapat perhatian dari Penjabat Gubernur Aceh.
Post a Comment