Melawan “Pemangsa” Dana Desa
Foto: UNWTO |
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 8 September 2022
Sejauh ini keberadaan Dana Desa memang telah memberikan dampak yang lumayan signifikan dalam pembangunan desa seperti pembangunan jalan desa, irigasi, pasar desa, tambatan perahu, embung dan infrastruktur lainnya. Keberadaan BUMDes dan pengembangan objek wisata melalui Dana Desa juga telah membuka peluang bagi meningkatnya pendapatan desa dan perekonomian masyarakat. Selain itu, realisasi Dana Desa melalui kegiatan swakelola juga telah turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Namun demikian, buruknya tata kelola dan pengawasan di sebagian daerah telah pula memberi peluang kepada sebagian oknum untuk melakukan tindakan korupsi. Dalam konteks ini, Dana Desa telah menjadi objek yang sangat menggiurkan sehingga sangat mudah menjadi sasaran korupsi. Tindakan korupsi ini bisa melibatkan kalangan internal seperti aparatur desa dan juga kalangan eksternal seperti oknum pemerintah daerah dan oknum penegak hukum.
Salah satu penelitian menyebut korupsi Dana Desa mengalami peningkatan setiap tahun dengan rata-rata 61 kasus pertahun di mana selama 2015-2019 kerugian negara telah mencapai 1,28 Triliun. Korupsi Dana Desa ini sendiri akan berdampak pada langgengnya kemiskinan, hilangnya potensi ekonomi desa, hancurnya modal swadaya masyarakat dan terhambatnya demokratisasi partisipasi desa (Zakariya, 2020).
Korupsi Internal
Korupsi internal adalah korupsi yang dilakukan oleh aparatur itu sendiri, dalam hal ini kepala desa. Namun demikian harus diakui bahwa praktik korupsi yang melibatkan aparatur desa seperti kepala desa tidak selamanya dilandasi oleh keinginan jahat, tapi dalam banyak kasus justru disebabkan oleh ketidakpahaman mereka dalam tata kelola keuangan dan aturan hukum. Hal ini menyebabkan terjadinya kerentanan dalam pengelolaan dana sehingga terjebak dalam tindakan koruptif yang tidak disengaja. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh kurangnya literasi aparatur desa tentang tata kelola Dana Desa yang baik dan akuntabel serta minimnya pengetahuan mereka terkait administrasi keuangan. Jika dicermati, hal ini tentu wajar belaka, sebab mayoritas kepala desa hanya lulusan SMA yang kualitas pengetahuannya tidak bisa disamakan dengan lulusan sarjana. Dalam hal ini dibutuhkan bimbingan dari pihak-pihak terkait agar tidak ada lagi kepala desa yang terjerat korupsi karena ketidaktahuan mereka.
Selain faktor ketidaktahuan, tak jarang pula kasus korupsi yang melibatkan kepala desa justru dilandasi oleh niat jahat dan keinginan untuk memperkaya diri atau pun memperkaya orang lain. Dalam hal ini secara sengaja mereka melakukan pelanggaran terhadap aturan dan regulasi keuangan yang telah diatur pemerintah untuk kepentingan pribadi. Indonesian Corruption Watch (dalam Zakariya, 2020) menyebut beberapa modus korupsi Dana Desa yang melibatkan kepala desa adalah penggelembungan anggaran, proyek fiktif, laporan fiktif, penggelapan dan penyalahgunaan anggaran.
Langgengnya praktik ini di antaranya disebabkan oleh tidak transparannya sebagian oknum aparatur desa dalam pengelolaan dana sehingga segala bentuk pelanggaran seperti markup tidak secara jelas diketahui masyarakat. Sikap apatis dari masyarakat juga memberi peluang tersendiri bagi suburnya praktik ini dengan munculnya anggapan bahwa pengelolaan dana desa bukan urusan mereka, tapi urusan aparatur desa.
Korupsi Eksternal
Korupsi eksternal adalah korupsi yang melibatkan pihak-pihak di luar pemerintahan desa seperti oknum kecamatan, dinas kabupaten atau bahkan oknum penegak hukum. Dalam hal ini tindakan korupsi tidak dilandasi oleh niat jahat atau pun keinginan aparatur desa, tapi disebabkan oleh adanya tekanan secara struktural dari pihak eksternal yang meminta setoran dengan jumlah tertentu atau pun “memaksa” agar program titipan mereka dimasukkan dalam APBDes. Di antara kasus yang sempat terekam media terjadi di Mandailing Natal. Saat itu oknum camat Natal memerintahkan kepada kepala desa agar memuat beberapa kegiatan dalam APBDes, namun ditolak oleh kepala desa sehingga oknum camat menolak menandatangani APBDes tersebut. Oknum camat juga meminta uang kepada kepala desa untuk pembelian barang yang kemudian terbukti fiktif.
Selain tekanan struktural secara langsung, potensi korupsi Dana Desa juga kerap terjadi melalui kegiatan Bimtek yang melibatkan aparatur desa dan oknum Muspida/ Muspika dan juga lembaga eksternal. Di antara kasus yang sempat mengemuka terjadi di Lampung Utara, di mana saat itu oknum dinas PMD diduga menerima fee dari kegiatan Bimtek yang bersumber dari Dana Desa. Kejadian serupa juga terjadi di Bireuen, Aceh – di mana ada sejumlah oknum yang kononnya “meminta jatah” melalui kegiatan Bimtek dan pelatihan. Uniknya lagi “pemangsaan” Dana Desa di Bireuen ini konon juga melibatkan oknum penegak hukum.
Dalam banyak kasus, berbagai bentuk tekanan struktural dari pihak eksternal ini berhasil membuat aparatur desa menjadi kecut dan akhirnya terjebak dalam korupsi yang tidak pernah mereka inginkan. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa kepala desa, mereka mengaku tidak berani menolak setiap “intervensi” yang datang dari luar apalagi yang melibatkan oknum penegak hukum. Ada ketakutan jika mereka tidak menampung permintaan-permintaan tersebut nantinya akan berdampak pada persoalan hukum karena pihak bersangkutan akan mencari-cari kesalahan kepala desa.
Menghalau Pemangsa
Agar Dana Desa bisa terserap secara efektif dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta tidak lagi menjadi “mangsa” para oknum, dibutuhkan langkah serius dari semua pihak, mulai dari Kemendes PDTT, Kemenkeu, Kemendagri, pemerintah daerah, penegak hukum dan aparatur desa itu sendiri. Dalam hal ini aparatur desa mesti dibekali dengan pengetahuan administratif, anggaran dan regulasi agar mereka tidak terjebak dalam korupsi internal, baik disengaja atau pun tidak. Demikian pula dengan korupsi yang melibatkan pihak eksternal juga mesti mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah dan juga aparat penegak hukum sehingga Pemerintah Desa benar-benar otonom dan bebas dari intervensi para “pemangsa.” Selain itu, keseriusan dan keberanian aparatur desa plus dukungan masyarakat luas juga menjadi faktor penting dalam menyelamatkan Dana Desa agar tidak terkuras dalam program-program titipan yang notabene tidak memberi dampak apa pun bagi kemandirian desa di masa depan.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada
Post a Comment