Menjaga Muruah Dayah
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 24 Juli 2022
Dayah adalah institusi Pendidikan Islam tertua di Aceh dan bahkan di Nusantara. Pada era pra-kolonial, tepatnya di masa kesultanan, dayah merupakan satu-satunya institusi pendidikan resmi yang melahirkan sarjana-sarjana Muslim periode awal di Nusantara. Lembaga ini didirikan dan dikelola secara otonom oleh tokoh-tokoh agama karismatik. Pada umumnya dayah didirikan di tanah-tanah wakaf dan juga tanah pribadi milik seorang teungku. Di masa-masa awal, selain melakukan usaha mandiri, eksistensi dayah juga turut ditopang melalui donasi sukarela dari masyarakat yang peduli terhadap pendidikan.
Keberadaan dayah juga tidak terlepas dari figur seorang teungku yang menjadi sosok sentral dan panutan bagi umat. Dalam sejarahnya, seorang teungku yang memimpin dayah juga tampil sebagai pemimpin sosial politik di Aceh. Bahkan di era kolonial, para pemimpin dayah ini juga aktif dalam barisan perjuangan untuk melawan kolonialisme. Ramai pemimpin-pemimpin dayah ini yang kemudian gugur di medan perang.
Realitas historis yang demikian telah memosisikan dayah sebagai episentrum keagamaan paling kuat dan menghegemonik di Aceh, baik di masa kesultanan maupun era kolonial. Hegemoni dayah juga masih terasa begitu kuat di awal-awal kemerdekaan, meskipun saat itu telah bermunculan madrasah sebagai poros pendidikan modern di Aceh. Dalam faktanya, kemunculan lembaga-lembaga pendidikan modern tersebut tidak secara otomatis berdampak pada termarjinalnya dayah sebagai institusi pendidikan tertua di Aceh. Namun demikian, dalam konteks kekinian, seiring dengan semakin pesatnya madrasah dan perguruan tinggi agama tentunya kedudukan dayah dalam dunia pendidikan di Aceh tidak lagi sekuat dulu.
Selain itu, di masa lalu, perbincangan tentang dayah hanyalah perbincangan positif: sebagai pusat pendidikan dan pusat keagamaan. Fakta tersebut berbeda dengan realitas kekinian, di mana perbincangan terhadap dayah tidak lagi melulu pada hal-hal yang bernuansa positif, tapi juga telah merambah pada hal-hal negatif dengan bermunculannya berbagai “skandal” dan insiden yang secara sosiologis telah mencemarkan nama dayah di mata publik. Di antara kasus yang sempat mengemuka adalah pelecehan seksual yang terjadi di Aceh Utara dan Gayo Lues beberapa waktu lalu.
Muruah Dayah
Meskipun tidak semua dayah di Aceh – dan bahkan hanya sebagian kecil yang tersandung “skandal” pelecehan seksual, namun mata publik tetap saja tertuju pada insiden tersebut. Artinya insiden-insiden tersebut telah berdampak pada munculnya generalisasi dari sebagian publik, bahwa dayah hari ini bukanlah dayah yang dulu. Menyikapi kondisi ini, pihak dayah mesti melakukan langkah-langkah strategis agar muruah (kehormatan) dayah tetap terjaga dan tidak tercemari oleh ulah oknum tertentu. Dengan kata lain, dayah harus membersihkan institusinya dari oknum-oknum catat moral.
Dalam hal ini, proses rekrutmen tenaga pengajar di dayah harus lebih selektif dan tidak terbatas pada pertimbangan keilmuan, tapi juga harus mempertimbangkan aspek kepribadian dan moralitas. Jika perlu, sosok yang akan direkrut mesti mendapatkan rekomendasi dari tokoh agama dan masyarakat di wilayahnya. Meskipun pola demikian tidak menjamin baiknya moralitas seseorang, namun setidaknya langkah tersebut bisa meminimalisasi menyusupnya sosok-sosok catat moral dalam institusi dayah. Dengan demikian dihaapkan kredibilitas dan muruah dayah dapat tetap terjaga.
Selain persoalan pelecehan seksual, problem lainnya yang membelit dayah saat ini adalah soal “eksploitasi” santri. Meskipun tidak semua dayah terlibat – dan tidak serta-merta tudingan ini bisa disematkan atau pun digeneralisasi kepada dayah secara umum, namun secara faktual kesan “eksploitasi” ini dapat dilihat dari aksi “pengerahan” santri oleh sebagian dayah untuk mencari sumbangan di berbagai tempat di Aceh. Bahkan pemandangan ini sudah sangat lazim dan bisa ditemui hampir di semua kabupaten/ kota di Aceh. Kondisi demikian tentunya akan menjatuhkan harkat dan martabat dayah di mata publik.
Menyikapi fenomena tersebut, Badan Dayah selaku instansi yang menaungi dayah-dayah di Aceh diharapkan mampu memberikan solusi konkret. Dalam hal ini, dayah harus dikembalikan posisinya sebagai lembaga pendidikan yang dibangun sesuai kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan pribadi sosok tertentu. Selain berbasis kebutuhan, perizinan pendirian dayah juga mesti selektif agar tidak melahirkan masalah di kemudian hari. Hal ini juga penting guna menghindari “surplus” dayah di daerah tertentu sehingga keberadaannya menjadi tidak efektif. Pembatasan perizinan ini nantinya juga bisa meminimalisasi kemunculan dayah-dayah fiktif.
Selain itu, Badan Dayah juga diharapkan melahirkan program-program yang dapat memberdayakan perekonomian dayah. Hal ini penting dan bahkan mendesak agar dayah bisa tampil sebagai institusi yang mandiri secara ekonomi. Dayah-dayah yang sudah mandiri secara ekonomi ini nantinya akan terhindar dari praktik-praktik “eksploitasi” yang merugikan santri seperti pengerahan santri untuk mencari sumbangan.
Kemandirian ini di antaranya telah dipraktikkan oleh Dayah Mudi Mesra Samalanga. Fakhrurradhi (2022) dalam penelitiannya menyebut bahwa unit-unit ekonomi yang dibangun Dayah Mudi saat ini sudah mampu membiayai operasional dayah. Keberhasilan Dayah Mudi ini mestinya bisa menjadi inspirasi bagi dayah-dayah lain di Aceh sehingga tidak ada lagi santri yang bekeliaran mencari sumbangan.
Praktik mencari sumbangan yang dilakoni para santri ini tentunya sangat merugikan pendidikan mereka. Selain itu, fenomena ini juga bisa membuka peluang bagi menyusupnya oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan santri untuk mencari keuntungan yang pada akhirnya akan berdampak pada tercemarnya muruah dayah. Dalam hal ini, Badan Dayah dan para pimpinan dayah mesti sesegera mungkin menghentikan aksi-aksi “eksploitasi” semacam ini. Penghentian “eksploitasi” ini hanya bisa dilakukan jika dayah sudah benar-benar mandiri secara ekonomi. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan perhatian penuh kepada dayah-dayah yang sedang berkembang. Secara teknis perhatian ini bisa berbentuk fasilitas infrastruktur atau pun honorarium yang layak kepada para guru di dayah. Dengan demikian pemerintah telah turut menjaga murah dayah dari ancaman degradasi.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada
Post a Comment