Tradisi Kultus dan Pelecehan Seksual

Ilustrasi: Daily Titan

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 17 Juli 2022


Harus diakui bahwa topik tulisan ini mungkin kurang populis karena mencoba mengkritisi sebuah tradisi yang telah berlangsung lama di dunia pesantren – dan bahkan telah dianggap sebagai bagian dari ciri khas pesantren itu sendiri. Seperti diketahui tradisi kultus adalah fenomena wajar yang terjadi di hampir semua pesantren. Bukan tanpa maksud, secara sosiologis, tradisi kultus ini adalah bagian dari strategi menumbuhkan kepercayaan sejati kepada sosok tertentu, dalam hal ini para guru dan pemimpin pesantren.


Menurut Dhofier (1983), tidak ada seorang pun santri yang dapat melawan kekuasaan kiai dalam pesantrennya, kecuali oleh kiai lain yang memiliki pengaruh lebih besar. Dalam tradisi pesantren, masih menurut Dhofier, seorang murid wajib menghormati gurunya sampai kapan pun. Rasa hormat ini harus ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupannya. Seorang santri yang memutuskan ikatan dengan guru akan dianggap sebagai aib dan menjadikan ilmu yang diperolehnya tidak berkah. Sejurus itu, dalam pesantren, menurut Maarif (2006: 57-58), kiai (pemimpin pesantren) memiliki otoritas dominan dan sangat dihormati. Santri wajib taat dan tunduk kepada kiai hampir pada batas mutlak. Selain itu, para santri juga kurang memiliki kesempatan untuk berbeda dengan para gurunya.


Ulasan Dhofier dan Maarif tersebut semakin menguatkan kesimpulan kita bahwa kultus adalah tradisi penting dalam dunia pesantren, di mana tradisi ini telah berlangsung lama dan turun-temurun. Tidak hanya pesantren di tanah jawa, tradisi ini juga berlangsung di dayah-dayah yang ada di Aceh, di mana para teungku dan pimpinan dayah kerap kali dikultuskan oleh para santrinya dan juga oleh sebagian masyarakat.


Tanpa bermaksud menafikan nilai-nilai positif dari kultus seperti halnya penghormatan dan adab kepada guru, namun dalam realitasnya kultus ini juga kerap kali menghadirkan efek-efek negatif dan bahkan destruktif. Bahkan lebih jauh, tradisi kultus itu sendiri juga memiliki kaitan erat dengan fanatisme, di mana fanatisme berlebihan tersebut dalam banyak kasus bisa saja memicu ekstremisme dan bahkan terorisme.


Sementara itu, dalam konteks pendidikan, tradisi kultus, dalam praktiknya telah turut mematikan “nalar kritis” yang semestinya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu agar validitas dan autentisitas keilmuan dapat diuji  dan tidak sekadar menjadi teks-teks beku yang selalu saja harus diamini. Kultus telah membuat para penuntut ilmu menjadi terpenjara dalam ruang beku nan gelap sehingga terjebak pada sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran tunggal yang harus diterima tanpa reserve. Kondisi ini tentunya akan membuat perkembangan pendidikan menjadi mandek dan bahkan mundur.


Dalam konteks sosial keagamaan, sikap kultus terhadap figur tertentu juga dapat merusak tatanan kehidupan di mana kondisi ini akan memberi peluang bagi hadirnya penyimpangan-penyimpangan terselubung oleh oknum-oknum tokoh agama yang dianggap tabu untuk digugat namun akhirnya menjadi bara api yang bisa meledak kapan saja. Jika dicermati, kultus terhadap tokoh agama ini tidak saja terjadi dalam Islam, tetapi juga tumbuh dan berkembang dalam agama-agama lainnya. Bahkan secara historis, tradisi kultus justru bukan berasal dari Islam, tetapi merupakan tradisi yang diadopsi dan diadaptasi dari tradisi agama non Muslim.


Meskipun kerap ditemui dalam tradisi keagamaan, namun dalam faktanya, praktik kultus tidak saja terjadi dalam ruang kehidupan sosial keagamaan, tetapi praktik ini juga kerap kita jumpai dalam pentas sosial politik, di mana kultus dan fanatisme kepada kelompok politik tertentu tak jarang telah memicu ketegangan-ketegangan di ruang publik. Fenomena “dua kali Pilpres” di Indonesia adalah contoh konkret yang relevan untuk diajukan tentang bagaimana kultus dan fanatisme membelah publik dalam dua kutub yang saling bertentangan.


Pelecehan Seksual

Kita tentu sepakat bahwa pelecehan seksual adalah sebuah kejahatan. Pelecehan seksual ini bisa terjadi di mana saja, baik di jalanan, sekolah, pesantren atau bahkan di rumah. Demikian juga dengan pelaku juga bisa siapa saja tanpa peduli apa profesi dan latar belakang pendidikan. Lantas apa hubungannya kultus dengan pelecehan seksual?


Kultus sendiri adalah sebuah bentuk penghormatan berlebihan kepada sosok tertentu yang diiringi kekaguman dengan alasan-alasan tertentu yang terkadang tidak masuk akal. Sosok yang telah dikultuskan akan dianggap suci dan terbebas dari kesalahan sehingga setiap gerak-geriknya akan diterima begitu saja oleh khalayak. Kondisi ini memungkinkan sosok yang dikultuskan tersebut terbebas dari kritik yang dilandasi oleh keyakinan bahwa sosok tersebut pasti benar dan tidak mungkin salah. Dalam kondisi inilah fanatisme buta itu hadir.


Khususnya di dunia pesantren, kultus ini menyebabkan para santri menjadi “tidak berdaya” di hadapan para gurunya – yang telah dianggap sebagai sosok suci. Akibatnya segala tindak-tanduk guru harus diterima dengan penuh ketundukan. Dalam kondisi ini tak jarang oknum guru menggunakan kesempatan untuk melakukan berbagai penyimpangan, khususnya pelecehan seksual terhadap para santri tanpa rasa takut.


Kejahatan seksual yang menimpa dua belas santri di Bandung dan Jombang beberapa waktu lalu adalah contoh di mana kultus telah memberi ruang bagi terjadinya penyimpangan terselubung yang berlangsung dalam waktu yang lama di mana para korban memilih diam sehingga kasus tersebut baru terbogkar kemudian. Kasus Bandung dan Jombang bukanlah satu-satunya kasus pelecehan seksual di pesantren, tapi aksi serupa telah sering terjadi di berbagai pesantren di Indonesia, tak terkecuali Aceh, yang pernah melibatkan seorang oknum teungku di Aceh Utara dalam aksi sodomi beberapa waktu lalu.


Meskipun, kultus tidak menjadi satu-satunya penyebab bagi terbukanya peluang pelecehan seksual di pesantren, namun tradisi ini bisa menjadi salah satu jalan yang mempermudah oknum tertentu melakukan aksinya. Dalam hal ini, bisa saja oknum tersebut memanfaatkan kepercayaan dan penghormatan yang diberikan para santri kepada mereka, di mana ketundukan para santri akan menjadi modal sehingga aksi pelecehan dapat berlangsung aman dalam rentang waktu yang lama.


Secara psikologis, seorang santri yang telah memosisikan gurunya pada posisi kultus akan tampak tidak berdaya ketika dihadapkan pada permintaan oknum gurunya. Ketidakberdayaan ini akan memberi peluang bagi oknum guru tersebut untuk melakukan pelecehan yang disertai rayuan, tipuan atau pun ancaman. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan para santri menolak permintaan dari sosok yang telah dikultuskan tersebut. Hal serupa juga bisa terjadi pada orangtua santri, di mana mereka juga tak kuasa melawan sosok yang mereka kultuskan. Dengan demikian pelecehan demi pelecehan pun terus terjadi dan baru terkuak ketika secara tak sengaja kejadian itu terendus publik.


Namun demikian, seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa kultus bukanlah satu-satunya sebab terjadinya pelecehan seksual di pesantren, di mana aksi tersebut juga bisa dilandasi oleh buruknya moralitas dan adanya kesempatan yang dimiliki oleh para pelaku. Wallahul Musta’an.


Artikel ini sudah terbit di Harian Analisa


loading...

No comments