Bireuen dan Utopisme Kota Santri

Terminal Bus Bireuen 1970
 @khairilmiswar

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 28 Juli 2022

Pada 2020 Pemerintah Aceh dan Kanwil Kemenag Aceh menetapkan Bireuen sebagai pusat pelaksanaan Hari Santri Nasional di Aceh. Saat itu, Bupati Bireuen, Muzakkar A. Gani menggunakan momentum tersebut untuk mendeklarasikan Bireuen sebagai Kota Santri dengan alasan daerah tersebut memiliki 154 pesantren dan jumlah santri yang mencapai 51 ribu orang. Deklarasi ini kemudian mendapat sambutan yang lumayan meriah dari sejumlah pihak.

Konsekuensi dari penetapan Bireuen sebagai Kota Santri yang direstui Pemerintah Aceh tersebut telah mendorong Bupati Bireuen untuk mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tenaga honorer di wilayah itu untuk memakai kain sarung, baju koko putih, peci hitam untuk pria dan baju kurung putih, jilbab putih untuk wanita pada setiap Hari Jumat. Seruan yang secara resmi tertuang dalam Surat Edaran Bupati ini juga meminta setiap dinas menggelar pengajian di hari Jumat. Program lainnya yang dikaitkan dengan eksistensi Kota Santri adalah kunjungan safari Subuh ke masjid-masjid yang ada di Bireuen.

Baru-baru ini, identitas Bireuen sebagai Kota Santri juga kembali dipertegas dengan dipasangnya Asmaul Husna pada tiang lampu ruas jalan dua jalur Simpang Empat menuju arah Takengon, Banda Aceh dan Medan. Pembuatan antribut untuk 104 tiang ini sendiri menghabiskan anggaran senilai 400 Juta. Sebelumnya pada 2021, ketua DPRK Bireuen sempat mengusulkan pengalokasian dana sejumlah lima persen kepada Dinas Syariat Islam sebagai upaya mendukung “santrinisasi” Kota Bireuen.

Dalam konteks Indonesia, selain Bireuen, beberapa kota juga sempat dijuluki sebagai Kota Santri di antaranya Kudus, Kendal, Gresik, Tuban, Banten, Kediri, Jombang dan Ponorogo. Sama halnya dengan Bireuen, hampir semua branding Kota Santri yang dilekatkan pada kota-kota dimaksud hanya mengacu pada satu indikator, yaitu kuantitas pesantren dan santri.

Tidak Memiliki Landasan

Meskipun telah ditetapkan sebagai Kota Santri, namun sejauh ini belum diketahui secara jelas apa yang menjadi visi Kota Santri ke depan; apa yang ingin dicapai dan bagaimana grand designnya. Semuanya tampak tidak jelas, kabur dan mengambang. Secara faktual hingga saat ini implementasi Bireuen sebagai Kota Santri masih sebatas pada aksi-aksi simbolik yang sama sekali tidak substantif dan bahkan cenderung politis. Selain itu, penetapan Bireuen sebagai Kota Santri juga tidak didasarkan pada indikator yang autentik, tapi hanya mengacu pada kuantitas pesantren dan santri. 

Selain Kota Santri, sebelumnya Bireuen juga sempat menggunakan branding sebagai Kota Dagang, Kota Transit, Kota Industri dan Kota Juang. Keberadaan branding tersebut adalah untuk mengungkapkan identitas Bireuen kepada publik. Namun dari sejumlah branding yang dilekatkan kepada Bireuen, julukan Kota Juang adalah yang paling faktual dan memiliki landasan sosio-historis yang cukup kuat karena didukung oleh bukti-bukti autentik.

Dalam konteks sosio-historis, branding Kota Santri untuk Bireuen sama sekali tidak memiliki landasan yang kuat mengingat dayah (pesantren) pertama di Aceh tidak muncul di Bireuen, tapi di Perlak (Dayah Cot Kala) dan Aceh Besar (Dayah Tanoh Abee). Historiografi masuknya Islam ke Aceh juga tidak menyebut Bireuen sebagai pintu masuk penyebaran Islam. Dalam konteks sosio-religi, kegiatan keagamaan di Bireuen juga tidak terlalu masif dan fenomenal, tapi hanya terpusat di lingkungan dayah. Secara kuantitas keberadaan pesantren di Bireuen juga tidak jauh berbeda dengan jumlah pesantren yang ada di kabupaten lain di Aceh. Bahkan jika merujuk pada data Kemenag, jumlah pesantren di Aceh Utara justru lebih banyak, yaitu 211 pesantren, sementara Bireuen hanya memiliki 154 pesantren. Jika pun merujuk pada keberadaan Ma’had ‘Aly, Bireuen juga masih kalah dengan Aceh Utara yang memiliki tiga Ma’had ‘Aly, sementara Bireuen hanya memiliki satu Ma’had ‘Aly.  Jika merujuk pada geneologi keilmuan, maka Dayah Labuhan Haji (Aceh Selatan) yang lebih tepat disebut sebagai Kota Santri, sebab hampir seluruh pimpinan dayah yang ada di Aceh hari ini berasal dari alumni Labuhan Haji. Demikian pula dalam konteks budaya berpakaian juga tidak ada perbedaan khas antara Bireuen dengan kabupaten lain di mana pemakaian sarung, baju koko dan peci juga bisa ditemukan di daerah lain.

Beberapa Problem

Kabupaten Bireuen juga menyimpan sejumlah problem yang membuatnya tak layak menyandang gelar Kota Santri. Beberapa waktu lalu, tepatnya 12 Mei 2022, tim Satpol PP Kabupaten Bireuen dikabarkan telah menghentikan kegiatan pembangunan masjid Muhammadiyah di Sangso Samalanga. Laporan sejumlah media menyebut pelarangan pembangunan masjid ormas besar di Indonesia itu telah berlangsung hampir satu dekade. Kononnya keberadaan masjid tersebut mendapat penolakan dari sejumlah pimpinan pesantren.

Jika penolakan itu benar adanya, maka penetapan Bireuen sebagai Kota Santri justru akan semakin memperlebar “konflik sektarian” di mana branding Kota Santri nantinya akan dijadikan sebagai justifikasi guna menutup ruang kebebasan beragama. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin praktik-praktik intoleransi seperti penolakan masjid Muhammadiyah di Juli dan Samalanga akan terus terulang.

Selain itu, dalam konteks prestasi di bidang keagamaan, Bireuen hampir tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan. Sebagai contoh pada ajang MTQ yang diselenggarakan di Bener Meriah baru-baru ini, prestasi Bireuen justru berada pada posisi 20 dari 23 peserta seluruh Aceh. Kondisi ini tentunya tidak selaras dengan branding Kota Santri – di mana Kota Santri semestinya memiliki keunggulan-keunggulan di bidang keagamaan, tapi kenyataannya nihil.

Dua problem di atas hanya sekadar contoh dari sejumlah problem lainnya seperti korupsi, pungli dan narkoba yang juga tak kalah marak di Bireuen. Problem-problem demikian tentunya sangat antagonistis dengan branding Kota Santri. Tegasnya, sejauh ini tidak ada sesuatu yang khas atau pun istimewa yang menjadikan Bireuen layak menyandang branding Kota Santri. Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa penetapan Bireuen sebagai Kota Santri sama sekali tidak memiliki landasan yang jelas. Ketiadaan visi dan blue print dari pemerintah setempat terkait Kota Santri juga semakin mempertegas bahwa branding Bireuen sebagai Kota Santri adalah utopia.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments