Komersialisasi Keimanan dan Eksploitasi Perasaan
Bireuen, 07 Juli 2022
Oleh: Khairil Miswar
Foto: marketingstrategy.com |
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan komersialisasi sebagai sebuah tindakan yang berupaya menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Dalam hal ini, setiap objek yang akan dikomersialisasikan tentunya harus memiliki nilai niaga yang tinggi agar laku di pasar dagang. Jelasnya lagi komoditas yang akan diperdagangkan itu mestilah memiliki daya tarik bagi konsumen guna bisa tetap eksis dalam dinamika pasar. Dalam konteks sosiologis, komersialisasi ini nantinya akan bermanifestasi dalam aksi komodifikasi dengan adanya transformasi barang dan jasa atau pun gagasan menjadi sebuah komoditas (objek dagang) yang memiliki nilai ekonomi dan layak jual. Strategi ini biasanya melibatkan para kapitalis yang melakukan transformasi ‘nilai guna’ menjadi ‘nilai tukar’ demi mencapai keuntungan.
Ada pun eksploitasi dimaknai oleh KBBI sebagai tindakan pengusahaan atau pendayagunaan untuk mendapatkan keuntungan. Sementara Wikipedia menafsirkan eksploitasi dalam konteks yang lebih luas, yaitu politik pemanfaatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara sewenang-wenang terhadap suatu objek demi kepentingan ekonomi dengan tidak mempertimbangkan azas kepatutan dan keadilan.
Meskipun kedua istilah di atas memiliki perbedaan makna secara etimologis dan terminologis, namun keduanya memiliki relevansi secara substansial dalam hal mencari keuntungan, baik secara material maupun non material.
Komersialiasi Keimanan
Secara umum komersialisasi kerap terjadi dalam sektor perdagangan yang berwujud dalam komoditas barang dan jasa. Namun secara faktual, aksi komersialisasi juga bisa ditemukan dalam aspek religiusitas yang memanfaatkan unsur-unsur keagamaan dan ketaatan seseorang sebagai komoditas ‘dagang’ yang kemudian populer dengan istilah komersialisasi agama. Salah satu unsur agama yang kerap dijadikan sebagai komoditas untuk dikomersilkan adalah keimanan.
Dalam konteks Indonesia, komersialisasi keimanan ini acap kali melibatkan oknum-oknum ‘ustaz selebritis’ yang ‘memanfaatkan’ keimanan jamaah terhadap aktivitas atau ritual tertentu dalam agama demi mencapai keuntungan secara ekonomi. Salah satu kasus yang dapat diajukan adalah gagasan ‘sedekah’ yang dipopulerkan oleh seorang oknum ustaz. Dalam konteks religi, sedekah memang merupakan salah satu ajaran penting, khususnya dalam Islam, di mana ritual sedekah ini memiliki landasan yuridis yang cukup kuat dalam al-Quran dan Hadits yang merupakan sumber utama ajaran Islam.
Ironisnya oleh oknum ‘ustaz selebiritis’ konsep keimanan akan kekuatan sedekah ini kemudian dikomersialisasikan melalui narasi-narasi hiperbolik yang dibumbui dengan cerita-cerita imajinatif yang sulit diverifikasi. ‘Sedekah Avanza akan berganti Alphard’ adalah satu dari sekian banyak sugesti imajinatif yang kerap melenakan para jamaah yang beragama secara pragmatis. Uniknya, meskipun tampak tidak rasional, namun sugesti imajinatif ini kerap diterima tanpa reserve dengan alasan bahwa kebenaran konsep itu berada dalam wilayah iman. Dalam kondisi inilah kemudian oknum ustaz selebritis bisa lebih leluasa melakukan aksi komersialisasi keimanan para jamaah dengan mengarahkan mereka agar bersedekah kepada dirinya sebagai manifestasi dari ibadah.
Eksploitasi Perasaan
Sama halnya dengan komersialisasi yang tidak hanya berada dalam wilayah perdagangan, tapi juga dalam aspek keimanan – eksploitasi pun demikian, di mana ia tidak saja berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia, tapi juga kerap digunakan sebagai strategi psikologis dalam memainkan perasaan kemanusiaan. Eksploitasi perasaan ini seringkali dimainkan oleh oknum tertentu dalam tragedi kemanusiaan seperti bencana alam, korban perang dan pasien penyakit kronis, di mana mereka melakukan aksi penggalangan donasi dengan dalih kemanusiaan.
Secara sosiologis keberadaan lembaga-lembaga pengumpul donasi ini memang penting dan dapat membantu menyelesaikan berbagai problem kemanusiaan yang ada di tanah air. Di satu sisi keberadaan lembaga ini juga bisa membantu meringankan beban pemerintah dalam mengatasi problem kemanusiaan seperti bencana alam. Dengan kata lain, eksistensi lembaga ini memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Namun persoalan menjadi lain ketika ada oknum-oknum tertentu yang kemudian memanfaatkan keberadaan lembaga donasi tersebut untuk mencari keuntungan pribadi.
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan laporan sebuah media yang menyebut gaji para petinggi sebuah lembaga donasi di Indonesia berada pada level yang tidak wajar, di mana persentase potongan dana donasi untuk operasional mereka mencapai 13 persen lebih. Keterkejutan publik semakin bertambah ketika media menyuguhkan informasi terkait fasilitas-fasilitas mewah yang diduga digunakan lembaga tersebut. Temuan-temuan ini dianggap sebagai sesuatu yang miris sebab tidak sesuai dengan slogan kemanusiaan yang mereka usung sehingga kekecewaan publik menjadi tidak terbendung.
Jika nantinya tudingan-tudingan terhadap lembaga donasi dimaksud bisa dibuktikan secara meyakinkan di depan hukum, maka secara jelas tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari eksploitasi perasaan, di mana mereka telah memanfaatkan kesedihan dan rasa iba para donatur untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan cara yang tidak etis.
Membangun Sikap Kritis dan Rasional
Ulasan di atas setidaknya bisa memberikan sedikit gambaran kepada kita semua tentang betapa pentingnya sikap kritis dan rasional dalam menyikapi sesuatu. Dalam konteks agama, sikap kritis dan rasional ini dibutuhkan untuk menganilisis tindakan-tindakan oknum tokoh agama yang melakukan komersialisasi keimanan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Demikian pula dalam konteks kemanusiaan, sikap kritis dan rasional ini bisa membantu kita semua untuk mengidentifikasi oknum-oknum tertentu yang melakukan eksploitasi perasaan di tengah bencana yang menimpa orang lain.
Komersialisasi keimanan dan eksploitasi perasaan adalah dua tindakan destruktif dan memalukan yang sengaja memanfaatkan ‘kelemahan’ orang lain menggunakan trik-trik yang tak terbaca oleh awam. Jika komersialisasi keimanan adalah manifestasi dari menjual ayat-ayat Tuhan, maka eksploitasi perasaan adalah wujud dari menari-nari di atas luka orang lain. Wallahul Musta’an.
Artikel ini sudah terbit di Harian Analisa
Post a Comment